"Tukang cuci piring, bangun woy!!!! Nggak banget sih Bang habis salat subuh langsung bobo lagi. Gue aduin Ayah, yah?"
Cowok itu--Nayaka, mengucek pelan matanya ketika saudara kembarnya sudah bertingkah rusuh di kamar. Terlebih lagi, saudaranya itu sudah membawa panci milik Mama dan memukul-mukulnya dengan sodet. Ia menyerah, berusaha mengalahkan rasa kantuknya ia sudah dalam posisi duduk di atas tempat tidurnya.
"Buruan cuci muka, Mama sama Ayah udah di bawah. Habis sarapan jadwal Lo buat cuci piring." Kanaka--saudara kembarnya sudah bersungut rusuh di sana.
"Iya, iya. Bawel banget astaghfirullah," gumam Nayaka yang baru saja bangun itu. Dengan wajah masih setengah mengantuk ia ke kamar mandi dan mencuci mukanya. Tak lama, ia bersama kembarannya turun ke lantai bawah dan akan sarapan bersama kedua orang tua mereka.
"Masih ngantuk nih kayaknya si Abang," ucap Fagan--melihat salah satu anak kembarnya turun dengan wajah mengantuk.
"Iya, Yah. Semalam aku ngegambar di kamar, jadi aku tidurnya telat."
"Sekali-kali nggak papa, mumpung masih suasana libur sekolah juga," balas Fagan.
"Untung dia bangun, kalau nggak tugas cucian aku dobel hari ini. Cuci baju, cuci piring juga," keluh Kanaka yang langsung dihadiahi tawa oleh Fagan.
"Nanti biar aja Mama yang cuci baju sama cuci piring. Hari ini 'kan kalian mau temenin Gwen sama Adisti jalan-jalan," kata Orane--mama Nayaka dan Kanaka yang baru saja keluar membawa piring berisi nasi goreng yang aromanya menggugah selera.
"Aduh, siap-siap aja ini kaki pulang-pulang keriting. Mereka berdua kalau ditemenin jalan-jalan tuh ribet. Apalagi dua-duanya itu nggak mau kalah," kata Nayaka dengan wajah membayangkan dua gadis itu begitu rusuh saat akan berbelanja nanti.
"Pantas aja Mbak Mindy ogah nemenin. Ryuga juga udah malas banget negur mereka berdua. Ujung-ujungnya kita berdua yang bakal ngawasin tuh dua bocah puber," keluh Kanaka. "Mama sama Ayah tahu, nggak, alasan Adisti mau daftar di SMA tempat kami sekolah karena dia naksir sama teman sekelas aku."
Fagan dan Orane saling pandang.
"Serius kamu?", tanya Fagan.
"Serius, Ayah. Saking sukanya, dia minta aku buat ngasih nomor temanku ini."
"Terus respon teman kamu itu gimana?", tanya Orane dengan wajah penasaran.
"Adisti nomornya sampai diblokir," jawab Kanaka, sampai membuat Nayaka yang sibuk mencicipi nasi goreng buatan Orane batuk pelan. "Astaga, diblokir beneran ternyata," gumam Nayaka dengan wajah tidak menyangka.
Orane tertawa pelan. "Tapi emang diblokir nomor tuh bikin agak sakit hati, sih. Mama pernah rasain soalnya."
Fagan yang sibuk minum air ikut tersedak. Orane panik dan mengusap punggung suaminya. "Minumnya pelan-pelan aja dong, Mas."
Wajah Fagan memerah. "Habisnya kamu bahas blokir-blokir. Aku kaget."
Nayaka dan Kanaka mengerutkan kening. Mereka heran dengan sikap Fagan sampai ayah mereka itu tersedak. Orane sendiri yang paham langsung meringis. "Maaf, Mas. Aku bahkan nggak maksud buat bahas itu lagi. Kejadiannya juga udah bertahun-tahun lalu."
"Wah, jangan-jangan Ayah pernah blokir nomornya Mama, yah?", tukas Nayaka dengan wajah polos.
"Ayah ternyata bisa tega banget sama Mama," timpal Kanaka membuat Fagan sampai menghela napas.
"Itu kejadiannya udah lama." Fagan berdehem pelan. "Dulu Ayah memang melakukan kesalahan, tapi sekarang kan Ayah sudah sama Mama."
Nayaka dan Kanaka saling melempar pandang dan tertawa pelan. "CIEEEEEE," seru keduanya bersamaan membuat Orane berdecak pelan.
![](https://img.wattpad.com/cover/316516935-288-k25387.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas Rasa
Ficção Adolescente"Hidup dengan orang tua yang bersikap adil itu, bagaimana rasanya?" Nayaka Akhilendra bingung ketika seseorang itu menanyakan hal itu padanya. Yang ada di dalam kepalanya hanyalah, 'apakah orang itu hidup dengan baik, atau justru ia bertemu dengan h...