"Allahumma syaiban nafi'an," gumam Nayaka ketika telapak tangannya merasakan rintik hujan mulai jatuh dari langit.
Sore ini Nayaka keluar seorang diri untuk berjalan-jalan. Kanaka pasti masih bergelung di dalam selimutnya. Terakhir Nayaka cek jika saudara kembarnya itu berencana tidur kembali setelah salat asar. Walau Nayaka tahu, sang mama pasti akan membangunkan Kanaka sebab tidur setelah salat asar tidak diperbolehkan.
Cuaca saat ini sedang dingin, tidak terlalu dingin juga. Nayaka yang hanya memakai kaos abu-abu polos dengan celana pendek selutut tidak begitu kedinginan. Pemuda itu malah sibuk menengadahkan kedua tangannya ketika air hujan itu turun.
Jika orang-orang mengingat banyak kenangan saat hujan turun, Nayaka malah tidak merasakan hal demikian. Yang Nayaka rasakan hanyalah bagaimana dinginnya air hujan membasahi telapak tangannya. Membiarkan air hujan yang tertampung di telapak tangannya terkumpul dan akhirnya kembali terjatuh di tanah. Nayaka sesuka itu menampung hujan dengan kedua telapak tangannya.
Nayaka merasa tidak memiliki beban ketika hujan datang. Sebagai orang yang cukup jarang bermain di luar rumah, hujan deras ataupun tidak membawa masalah apapun bagi Nayaka. Malah Nayaka senang sebab ia selalu menemukan zona bermain ketika hujan turun.
Kepala Nayaka sedikit menengadah ke langit. Tempat itu sudah terlihat abu-abu dengan beberapa titik sedikit lebih gelap. Dulu Nayaka pernah berpikir jika di langit ada seseorang yang membawa selang raksasa untuk disemprotkan ke bumi. Nayaka di waktu kecil juga pernah dengar jika hujan turun karena orang-orang di langit sedang menangis karena tidak bisa bertemu keluarga mereka di bumi. Tentunya itu sebelum Nayaka tahu jika hujan memang salah satu kuasa Tuhan yang terjadi akibat siklus daur ulang air.
Kedua tangan Nayaka sudah sedikit pegal menampung aliran air hujan. Ia akhirnya sedikit memundurkan posisinya dan duduk di kursi halte. Sembari bersedekap, Nayaka melihat ke arah hujan. Ketika air hujan itu turun melewati atap halte, Nayaka melihatnya sebagai sebuah tirai transparan yang sangat menakjubkan.
Nayaka akan tetap di sana. Ia tidak akan bertanya kapan hujan ini akan berhenti. Ia menikmati setiap detik waktu yang ia lewati dalam kesendiriannya. Walau setibanya di rumah, mama akan bertanya dan pasti akan sangat khawatir pada Nayaka.
"Nayaka?"
"Eh, Lo?"
Nayaka bangkit dari duduknya kala sosok Irish tiba mendekat padanya.
"Kok Lo sendirian di sini? Ngapain?", tanya Irish sembari tersenyum kecil.
"Kanaka di rumah." Nayaka menjawab tenang. Ia tahu pasti Irish akan mencari Kanaka. Nayaka bisa melihat Irish terkejut dengan ucapannya, gadis itu terlihat sedikit kikuk.
"Ah, gitu? Tapi Lo kenapa di sini? Nggak bawa payung makanya nggak balik?"
Nayaka menggeleng. "Lagian gue juga senang di sini."
Irish tertawa pelan. "Iya, yah. Lo sesuka itu sama hujan. Eh, mau balik bareng, nggak? Mumpung gue bawa payung, nih."
"Lo nggak papa duluan aja. Gue masih pengen di sini."
Irish menggeleng. "Nggak mau. Gue bakal di sini juga kalau Lo belum mau pulang. Mana mungkin gue ninggalin Lo sendirian di sini?" Irish mendekat. Ia meletakkan payungnya di sebelah kursi halte. Ia tidak peduli jika payung itu akan terbang karena hembusan angin yang akan kencang nantinya.
Nayaka membuang pandang ke arah lain. Asal tidak bersitatap dengan Irish. Berada di halte dan duduk bersebelahan dengan Irish adalah situasi paling tidak terduga yang Nayaka alami hari ini.
"Nayaka," panggil Irish melirik Nayaka yang menatap lurus ke depan.
"Kenapa?", balas Nayaka tanpa mengalihkan pandangan. Entahlah, suara hujan lebih menarik perhatian Nayaka dibanding suara Irish ketika memanggilnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Batas Rasa
Fiksi Remaja"Hidup dengan orang tua yang bersikap adil itu, bagaimana rasanya?" Nayaka Akhilendra bingung ketika seseorang itu menanyakan hal itu padanya. Yang ada di dalam kepalanya hanyalah, 'apakah orang itu hidup dengan baik, atau justru ia bertemu dengan h...