Entah bagaimana awal mulanya, Jasmine sudah dipersilakan duduk oleh ibunya Julia. Sikap yang sangat bertolak belakang dari terakhir mereka bertatap muka. Hanya ada gurat kesedihan di wajah wanita itu.
"Julia selama ini tidak pernah cerita jika dia punya sahabat sebaik kamu, sebelum akhirnya sikap kami yang keterlaluan waktu itu sungguh menghancurkan perasaannya, bahkan hidupnya."
Jasmine bisa mendengar jika tiap kata yang dilontarkan ibunya Julia mengandung kesedihan dan penyesalan yang sudah tidak bisa ditakar lagi kadarnya. "Kenapa Tante berpikir seperti itu?"
"Karena saya yang memang terlalu abai dengan perasaan anak perempuan saya sendiri Jasmine. Saya ibu yang jahat." Ibu Julia berusaha mengatur napasnya ketika mengatakan itu. "Saya malah sempat berpikir, Julia sedih karena saya dan juga papanya terlalu maksa dia buat pindah ke jurusan IPA. Kesedihannya tidak sesederhana yang kami pikir. Dia sedih karena takut kamu tidak bisa menjadi sahabatnya. Dia takut dibuat merasa sendiri karena sebagai keluarganya, kami yang membuat dia kesepian sepanjang hidupnya."
Tidak ada yang bisa Jasmine katakan ketika kenyataan itu kembali diberitahu padanya. Rasanya pasti sangat menyiksa bagi Julia, dan Jasmine memahami itu. Disituasi ketika Julia bahkan tidak punya siapapun untuk bersandar dan berkeluh kesah ketika sedang membutuhkan. Dada Jasmine merasa ada yang mengimpit.
"Kamu mau dengar cerita masa kecil Julia?" Ibunya Julia bertanya lagi pada Jasmine, yang dibalas dengan anggukan pelan oleh gadis itu. "Sejak kecil kami bahkan tidak pernah memperlakukan dia dengan baik, dan adil."
Kali ini Jasmine tidak bisa menyembunyikan reaksi terkejut yang ditunjukkan oleh anggota tubuhnya.
"Julia kecil benar-benar kami perlakukan dengan sangat buruk. Memaksanya mengikuti semua les, memaksanya harus ikut semua lomba, memaksa agar dia selalu dapat nilai yang bagus, bahkan kami tidak segan memaki atau memukul Julia kalau dia dapat hasil yang tidak sesuai dengan keinginan kami."
Di titik ini Jasmine merasa jika kehidupan Julia sungguh melelahkan. Dalam hati kecil Jasmine, ia tidak akan pernah membenarkan alasan Julia untuk mengambil jalan untuk mati. Namun tidak bisa ditampik, kehidupan Julia memang terlalu sakit dan melelahkan jika dibayangkan.
"Kenapa? Juli anggota keluarga kalian, kan? Kenapa harus seperti itu? Kalian tidak menyayangi Juli?" Jasmine menelan ludahnya yang terasa begitu pahit sekarang. Ia memang lancang mengatakan hal semacam ini pada seorang ibu yang baru saja berduka setelah kehilangan salah satu anaknya dengan cara yang mengenaskan.
Kepala ibunya Julia menggeleng keras. "Saya sangat sayang sama Julia. Saya mamanya, saya yang melahirkan dia. Nyawa saya dipertaruhkan untuk membawa dia hadir ke dunia ini. Tapi saya lupa, tugas seorang ibu bahkan tidak berhenti di sana. Tidak sebatas mengandung, melahirkan, menyusui, atau sekadar memberi makan minum agar fisiknya tumbuh dengan baik dengan gizi yang terjamin. Tugas seorang ibu kompleks daripada itu. Hanya seorang ibu yang bisa melakukan hal dari yang sekadar saya katakan."
"Tante tahu dan paham apa yang harus dilakukan oleh seorang Ibu," kata Jasmine dengan tenggorokan yang terasa kering. "Lantas kenapa Tante nggak ngelakuin hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang ibu?", sambung Jasmine dengan suara bergetar.
Ibunya Julia terkekeh dengan wajah miris. Wajah miris itu seolah memberi gambaran mengejek jika ada yang salah dari apa yang terlihat selama ini. "Jawaban sederhananya, karena saya bukan sosok mama yang baik buat Julia. Ketika makian dan pukulan dia dapat dari papanya, saya melakukan hal yang sama. Harusnya sebagai seorang ibu saya melindungi dia, sama seperti ketika saya berjuang ketika melahirkan dia. Saya bukan sosok ibu yang mengayomi anaknya."
Kepala Jasmine tertunduk lesu. Ia sudah meyakinkan diri untuk melapangkan dada dengan kenyataan jika Julia memang sudah tiada. Tapi, mendengar bagaimana ibunya Julia menceritakan perlakuan buruk yang Julia dapatkan semasa hidup, Jasmine kesulitan menghalau rasa sesak tak berkesudahan dalam dadanya. Jasmine turut merasakan sakitnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Batas Rasa
Fiksi Remaja"Hidup dengan orang tua yang bersikap adil itu, bagaimana rasanya?" Nayaka Akhilendra bingung ketika seseorang itu menanyakan hal itu padanya. Yang ada di dalam kepalanya hanyalah, 'apakah orang itu hidup dengan baik, atau justru ia bertemu dengan h...