"Gue nggak ada niatan buat bikin diri gue celaka," lirih Jasmine. "Gue cuma mau ngambil sepatu gue... "
"Jasmine!" Nayaka sudah sulit menahan emosinya. "Apa sepatu itu lebih berharga dari nyawa lo sendiri? Tadi lo diteriakin dan dimaki sama orang-orang!"
Jasmine menggigit bibir bawahnya dengan dada berkecamuk. "Ini bukan cuma soal sepatu, Nayaka. Lebih dari sepatu, cuma itu barang satu-satunya yang Mama kasih langsung ke gue. Bahkan untuk sepatu itu, gue gagal menjaganya."
"Jasmine... maaf gue... "
"Nggak papa, Nayaka. Lo cuma sekhawatir itu sama gue. Makanya lo marah banget. Maaf nyusahin lo sejak awal lo ketemu sama gue. Pantas Mama nggak suka sama gue. Gue ternyata... "
Nayaka langsung membalikkan badannya ketika suara Jasmine mulai gemetar. "Lo nggak papa nangis lagi. Gue nggak bakal liat. Gue nggak bakal ngomong apa-apa sebelum lo ngerasa lebih baik."
Jasmine mengerjap, menatap punggung Nayaka di depannya. Jasmine menggeser duduknya sedikit, lalu ia menempelkan keningnya tepat dipunggung Nayaka. Nayaka mengerjap dan menoleh mendapati Jasmine menyandarkan kening ke punggungnya.
"Gue numpang nyender ke lo, yah? Gue udah kehabisan energi buat ngadepin masalah gue. Gue mau istirahat sebentar."
Tak ada respons dari Nayaka. Ia membiarkan Jasmine berada dalam posisi itu selama apapun yang gadis itu perlukan. Nayaka pribadi bisa merasakan jika energi Jasmine terkuras melawan masalahnya beberapa waktu ke belakang ini.
"Nayaka, pasti lo senang banget punya keluarga yang baik, kan?"
Kali ini Nayaka menunggu kalimat yang akan dilontarkan Jasmine dengan nada sarat keputus-asaan itu.
"Orang tua dan saudara kembar lo sayang banget sama lo. Ada teman-teman yang bakalan selalu mendukung lo. Hah... gue boleh iri nggak sama lo?" Jasmine mengusap air matanya diam-diam dibalik punggung Nayaka.
"Jahat kan kalau gue bilang lo nggak boleh iri sama gue? Jelas gue senang karena punya keluarga baik dan teman-teman yang selalu mendukung gue. Iri itu wajar, Jasmine. Tapi lo harus tahu gue ini juga teman lo. Selagi langkah lo baik buat kepentingan diri lo sendiri, gue bakal selalu mendukung dan kalau perlu membantu usaha-usaha lo itu."
Jasmine kali ini tidak kuasa menahan tangisnya. "Nayaka, terima kasih sudah baik sama gue. Terima kasih..."
Jasmine tanpa sadar melingkarkan tangannya pada pinggang Nayaka. Nayaka tersentak karena tindakan Jasmine. Napasnya memburu dengan jantung berdebar tidak karuan. Perlahan ia melepas pelukan Jasmine dari pinggangnya.
"Ma-maafin gue Nayaka! Gue...," kata Jasmine gelagapan.
Nayaka tersenyum kecil. Tangannya terangkat sedikit dan merentang perlahan. "Nggak papa. Sini." Nayaka bahkan tidak mengerti mengapa ia menawarkan pelukan pada Jasmine, namun ia merasa perlu melakukannya.
"Boleh?", tanya Jasmine memastikannya sekali lagi.
"Hm, boleh," balas Nayaka dengan suara lirih.
Jasmine menggeser tubuhnya agar semakin dekat dengan Nayaka. Ia tahu apa yang ia lakukan ini tidak benar, hanya saja ia merasa butuh sandaran dari semua hal yang terjadi padanya hari ini. Tangan Jasmine sudah melingkari pinggang Nayaka, dan wajahnya ia sembunyikan didada Nayaka.
Dipeluk cukup erat oleh Jasmine membuat tubuh Nayaka seperti membeku. Untuk pertama kalinya dalam hidup ia memeluk seorang perempuan yang tidak dalam hubungan yang sangat dekat dengannya. Selama ini, Nayaka hanya berani memeluk mama, nenek, tante, sepupu-sepupunya, serta orang yang memang dekat dengannya sejak lama.

KAMU SEDANG MEMBACA
Batas Rasa
Teen Fiction"Hidup dengan orang tua yang bersikap adil itu, bagaimana rasanya?" Nayaka Akhilendra bingung ketika seseorang itu menanyakan hal itu padanya. Yang ada di dalam kepalanya hanyalah, 'apakah orang itu hidup dengan baik, atau justru ia bertemu dengan h...