3

86 16 4
                                    

Suasana kelas baru ini tidak semudah itu membuat Nayaka cepat beradaptasi. Tapi Nayaka harus tetap berusaha, agar ke depannya ia bisa menambah teman lagi.

Nayaka sudah memutuskan untuk duduk di bangku bagian tengah. Sejak dulu ia enggan duduk di bangku depan. Ia mudah terintimidasi pada guru yang mengajarnya. Padahal baik mama dan ayahnya sudah mengatakan jika duduk di depan itu akan lebih baik bagi Nayaka, sebab kondisi mata Nayaka yang rabun.

Tapi Nayaka tetap berdalih jika ia tidak harus duduk di depan selama ia membawa kacamatanya.

Harus diakui, di kelas ini ia bisa melihat citra anak IPS yang bebas dan lepas.

Tidak, Nayaka tidak melihat itu sebagai konotasi yang negatif.

Yang Nayaka tahu, dari kakak kelas yang pernah mengobrol dengannya, anak IPS itu punya sisi unik. Sama halnya anak IPA yang punya label jurusan teladan dengan kumpulan siswa jenius di bidang ilmu pasti, IPS itu adalah gambaran kumpulan siswa yang punya jiwa bebas, tapi kadang punya sisi pemberontak.

Mereka tidak semuanya nakal, hanya saja sepak terjang yang mereka lakukan semata-mata untuk mencari jati diri, dan masa remaja mereka juga ingin mencari pengakuan.

Pengakuan jika mereka akan dewasa dan bisa melakukan apapun sendiri tanpa harus dilarang ini dan itu.

Di sana Nayaka sebenarnya kebingungan ingin melakukan apa. Ia sendiri belum mendapat satupun teman yang bisa ia ajak mengobrol. Tapi ia yakin, dalam kurun waktu tiga hari ia bisa berbaur dengan teman sekelasnya.

"Hm?" Nayaka menggumam dengan kening berkerut ketika salah satu siswi memasuki kelasnya dengan wajah ditekuk dan matanya memerah. "Dia habis nangis?", tanyanya entah kepada siapa.

Ibarat di kelas ini adalah festival kebahagiaan, siswi itu terlihat seperti seorang anak kecil yang sedih ditinggal ibunya. Ia sendirian.

Siswi itu membanting asal tasnya ke atas meja yang belum diduduki siapapun. Setelahnya ia duduk dan menyembunyikan wajahnya di atas meja.

"Dia kenapa?"

Nayaka menoleh ketika beberapa siswa dan siswi mulai membicarakan soal siswi yang tingkahnya lumayan aneh itu.

Suara tawa salah satu dari mereka terdengar. "Julia Maheswari. Gue dulu kelasnya deketan sama dia. Di kelasnya dia terkenal lumayan ambis. Dia gagal masuk jurusan IPA. Jangan heran kalau sekarang dia kayak orang putus asa."

Kedua mata Nayaka mengerjap lambat.

Apakah tidak masuk jurusan IPA begitu menghancurkan gadis dengan nama Julia Maheswari itu?

Kepala Nayaka menggeleng. Ia hampir lupa jika ia selalu diberitahu oleh mama, jika ia tidak boleh bebas menghakimi siapapun jika ia tidak pernah ada di dalam situasi yang orang itu alami.

Pada akhirnya, Nayaka memutuskan tidak memedulikan. Ia tidak mau menghakimi sikap gadis itu di dalam kepalanya.

***

Berada di kelas IPA-1 tidak seburuk itu rupanya. Semenjak sebangku dengan Natalie, Jasmine resmi menemukan teman barunya itu. Tapi ia tetap kepikiran bagaimana dengan Juli.

"Nih," kata Natalie menyodorkan sebotol teh dingin pada Jasmine, yang diterima dengan senyum lebar oleh gadis itu. "Makasih, yah."

"Lo mikirin apa, sih? Padahal pelajaran matematika wajib, matematika peminatan, fisika, kimia, sama biologi belum datang menyerang."

"Gue mikirin Juli, teman sekelas gue yang ada di XI.IPS-2 sekarang."

"Hm? Kenapa? Teman Lo sakit?", tanya Natalie kemudian menyedot susu vanila kotaknya.

Batas RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang