18

36 8 0
                                    

Setiap pertemuan, pasti akan dihadapkan pula dengan perpisahan.

Jasmine tentu gagal memahami rentetan kalimat itu. Melakukan tidak akan semudah kala diucapkan. Jasmine rasa, ia gagal mengamini jika pertemuan akan tetap mengantarkannya pada perpisahan.

Sama halnya dengan ia dan Juli. Persahabatannya dengan gadis berwajah dingin itu baru saja terjalin saat mereka masih sama-sama di kelas sepuluh. Jasmine terus mengusahakan ada di sekitar Juli.

Jasmine yang selalu merasa cukup jika Juli tidak merasa terganggu. Juli yang pada dasarnya memang pendiam dan juga kalem, tidak mempermasalahkan tingkah Jasmine yang kadang tidak bisa diam. Jasmine yang sering cerita soal hal sesepele apapun pada Juli.

Maka dengan semua pikiran itu, Jasmine berakhir sendirian di teras kelasnya. Kepalanya menunduk. Disaat teman sekelasnya yang lain sudah pulang atau sibuk berkumpul dengan rekan satu ekstrakurikuler mereka, Jasmine sama sekali tidak beranjak dari posisinya.

Ia tidak berani melangkah ke manapun. Semenjak dihantam kenyataan jika Juli sudah tidak ada di sini, semuanya terasa sulit. Hanya Juli yang selama ini bisa menerima sosok Jasmine yang seperti ini.

Karena terlalu sibuk dengan isi pikirannya sendiri, Jasmine bahkan tidak mendengar jika ada suara derap sepatu yang tertuju ke arahnya. Ia terlalu sibuk memikirkan Juli. Jasmine terlalu takut jika Juli tidak bahagia di sekolah barunya.

"Kenapa belum pulang?"

Jasmine tergugu di tempatnya kala matanya bertemu mata Nayaka. Tak hanya Nayaka. Bahkan ada dua orang lain yang tidak begitu dikenalnya.

Tak ada jawaban yang Jasmine berikan meski Nayaka sudah bertanya padanya beberapa detik lalu. Ia malah mengalihkan wajah ke arah lain. Ia merasa sedikit malu dipergoki tengah menangis sendirian di teras depan kelas.

"Sebelum pergi, Juli ngomong sesuatu sama gue. Lo mau dengar?"

Nayaka bisa melihat jika kedua tangan Jasmine bergerak mengusap pipinya dengan gerakan cepat. Gadis dengan panjang rambut melewati baju itu menoleh dengan tatapan nanar. "Mau," jawabnya.

Nayaka duduk tak jauh dari Jasmine, bersama kedua temannya yang mengambil jarak sedikit lebih jauh dari Nayaka dan Jasmine. Mereka membiarkan Nayaka mengatakan semua yang perlu dikatakannya kepada Jasmine, berdasarkan permintaan dari Juli. Sesekali Nayaka melirik kedua temannya, dan keduanya memberis gestur jika Nayaka memang harus berbicara tanpa gangguan kepada Jasmine.

"Juli minta gue jagain lo." Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Nayaka ketika ia menatap Jasmine.

Tentu Jasmine kaget dengan perkataan Nayaka itu, apalagi sampai Juli yang mengatakannya. Jasmine ingin menyangkalnya, sebab ia rasa tidak mungkin Juli meminta Nayaka menjaganya. Karena Jasmine tahu, Juli dan Nayaka tidak seakrab itu dalam penglihatannya.

"Nayaka," lirih Jasmine sembari menelan ludahnya. "Untuk apa yang Juli bilang ke lo, nggak usah lo lakuin. Gue nggak papa, kok. Mungkin dia ngomong begitu ke lo karena dia cuma khawatir gue terlalu sedih karena dia pindah sekolah. Lama gue bakal terbiasa, cuma butuh waktu doang."

Ada senyum memaklumi yang terpancar dari wajah Nayaka. Ia paham betapa membingungkannya posisi Jasmine saat ini. Terlebih, saat tahu Juli memintanya, dan mudahnya Nayaka menebak jika Jasmine keheranan dengan permintaan Juli pada Nayaka, yang notabene keduanya tidaklah seakrab itu.

"Tapi dibanding jagain lo, mungkin lebih baik gue ngajak lo jadi salah satu teman baik gue?" Ada nada geli ketika Nayaka mengutarakan hal itu pada Jasmine.

"Kenapa?" Lagi, Jasmine melontarkan pertanyaan untuk mengetahui alasan Nayaka.

"Gue udah tahu gimana bentuk persahabatan lo sama Juli. Juli cerita soal lo lumayan banyak ke gue. Tentang dia yang merasa terlalu cuek ke lo, atau dia yang terlalu mengabaikan lo. Dia juga cerita kalau dibanding dia, lo yang lebih berperan dalam persahabatan kalian." Nayaka tersenyum kecil melihat raut Jasmine yang masih berusaha mencerna tiap kata yang Nayaka ucapkan dari mulutnya.

Batas RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang