5

73 12 2
                                    

"Makasih yah, Nat."

"Sama-sama. Gue duluan!", katanya lalu berlalu dari depan rumah Jasmine.

Senyum Jasmine mengembang lebar. Hari ini ada saja kebaikan yang ia terima.

Salah satunya dari mama Nayaka.

"Hadeuh, gue jadi malu sendiri ngomong kayak gitu ke mamanya dia. Nanti kalau Nayaka tahu dia bakal mikir apa?" Rasanya Jasmine ingin membenturkan kepalanya di tembok sebab tidak bisa menahan mulutnya dalam berucap.

Kalau kata orang kaya disinetron yang dia tonton, 'mau ditaruh mana muka saya?'

Jasmine berdecak. Pada akhirnya berusaha melupakan tingkahnya saat ada di toko kue milik mama Nayaka. Ia kini menyengir lebar, sebab ia akan memberikan kue keju itu pada Jella.

Langkah Jasmine terayun riang, tangannya baru saja hendak meraih gagang pintu rumah yang sudah sedikit terbuka.

Namun ia urung sebab percakapan Nuri dan Nino membuatnya berdiam diri di depan pintu rumahnya.

"Aku takut Jenna tidak bisa diselamatkan," kata Nuri yang membuat Nino mendengus.

"Ini semua salah kamu! Kamu tidak pernah becus menjadi seorang ibu. Saya tidak mau tahu, lakukan apa saja agar Jenna dapat disembuhkan. Saya tidak peduli dengan biaya yang saya gelontorkan demi kesembuhan Jenna."

"Apa kita bisa ngelakuin itu, Mas?"

"Kamu harus usahakan! Karena kalau tidak, kamu tanggung sendiri akibatnya!"

Jasmine bisa melihat Nino bergerak masuk ke dalam kamarnya, sementara Nuri terlihat frustrasi. Gadis itu menelan saliva susah payah. Ia jadi mengurungkan niatnya untuk masuk ke rumah melalui pintu depan.

Alternatif lain, Jasmine akan masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Lagipula kamarnya yang berada tak jauh dari sana lebih mudah Jasmine jangkau.

"Kak Jenna sakit apa?" Jasmine menggumam dengan mata menerawang. "Apa sakitnya parah sampai mama dan papa sekhawatir itu?"

Sekali lagi Jasmine memperhatikan sekitarnya. Tak lama dengan cepat Jasmine menaiki tangga dan segera ke kamarnya. Ia juga sempat melewati kamar Jenna yang sedikit terbuka, menampilkan sosok Jenna dan Jella yang mengobrol dengan wajah serius.

Samar-samar Jasmine mendengar percakapan mereka.

"Kalian nggak perlu usaha terlalu keras buat menyelamatkan hidup gue. Bentar lagi gue juga bakalan mati."

"Lo diam, yah! Mama sama papa selalu ngusahain yang terbaik demi kesembuhan lo. Jadi nggak usah ngomong yang ngelantur."

"Kenyataannya memang gitu, kan? Mau seberapapun kalian berusaha, nyawa gue tinggal tunggu waktu buat dicabut."

Jasmine menelan saliva susah payah mendengar suara Jenna yang berujar dengan selingan tawa keputusasaan di dalamnya. Sampai detik ini pun Jasmine tidak pernah mengetahui sakit apa yang Jenna alami. Seberapa banyak usaha mama dan papa demi menyelamatkan hidup Jenna.

Setibanya di dalam kamar, Jasmine segera menutup pintu. Tubuhnya sedikit gemetar. Ia juga takut kehilangan Jenna, meski kenyataannya mereka sedari kecil tidak punya waktu banyak untuk saling berbicara. Jenna tetaplah kakak perempuannya.

Dengan hati-hati Jasmine meletakkan tas sekolahnya di atas meja belajar, mengeluarkan kue keju yang diberikan mama Nayaka padanya. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. "Gue nggak mau keluarga gue luka, atau bahkan pergi dengan cara yang nggak baik." Suara Jasmine gemetar.

Membayangkan jika satu persatu keluarganya pergi dari hidup ini, dan menyisakan ia seorang diri saja kadang bisa membuat Jasmine stres karena terlalu memikirkannya. Ia tidak suka sendirian sebenarnya, ada rasa takut yang tidak bisa Jasmine jelaskan jika ia sendiri.

Batas RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang