25

41 7 0
                                    

"Assalamu'alaikum!"

Nayaka lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya. Sosok Nayaka, Orane, dan Fagan langsung menyambutnya. "Wa'alaikumussalam."

"Ma, Ayah," kata Nayaka mendekat dan mencium punggung kedua orang tuanya bergantian, lalu duduk bersama di ruang tamu.

"Kondisi Jasmine gimana, Bang?" Nayaka menjadi orang pertama yang bertanya.

Nayaka menipiskan bibir. "Ya begitulah. Dia masih sedih dan terpukul banget karena Julia udah nggak ada."

Orane menghembuskan napas. "Kesehatan mental memang hal yang jadi perhatian akhir-akhir ini. Kasus bunuh diri marak sekali terjadi. Mama khawatir sekali. Apalagi salah satu teman kamu sudah ada yang ambil jalan pintas itu."

Nayaka memijat pelipisnya. "Yaka juga penasaran apa yang bikin Julia nekat ngelakuin ini. Tapi pas di pemakaman tadi Jasmine sempat bilang ke Yaka soal gimana punya orang tua yang adil? Jasmine bahkan sempat bilang Julia nggak dapat perlakuan baik dari kedua orang tuanya. Tapi Yaka yang cuma orang luar juga nggak bisa menduga-duga, kan? Kalau benar Julia mendapat perlakuan buruk, kenapa orang tuanya begitu terpukul?"

"Kamuflase aja, kali." Kanaka terlihat serius. "Biar mereka nggak jadi pihak yang disalahkan kalau Julia meninggal karena perilaku mereka yang buruk."

Fagan memperhatikan kedua putranya, lalu menghela napas. "Jenazah Julia sudah divisum?"

"Yaka nggak tahu, Ayah. Meninggalnya Julia ini belum ngasih titik terang yang begitu jelas. Biasanya orang yang meninggal bunuh diri biasanya ninggalin catatan kematian. Tapi sampai saat ini Yaka belum tahu bagaimana kronologi ataupun belum dapat info soal catatan kematian Julia." Nayaka mengerutkan kening. "Karena dari berita yang ada, bungsu keluarga Maheswara itu meninggal karena gantung diri di kamar asramanya."

***

Jasmine lupa berapa lama ia tertidur di kamarnya. Kepalanya pening, dan tubuhnya terasa lelah dan juga remuk. Dadanya masih terasa sesak. Bukan mimpi, Jasmine memang sudah tidak bisa bertemu Julia karena sudah berbeda alam.

Gadis itu memutuskan untuk ke dapur untuk mengambil segelas air putih. Kerongkongannya terasa sangat kering. Langkahnya terarah perlahan, demi segera mencapai dapur.

Setibanya di dapur Jasmine lansung mengambil gelas ukuran sedang dan segera mengisinya dengan air. Jasmine menduduki kursi di ruang makan dan ia merasa luar biasa lega. Cukup lama Jasmine duduk diam di ruang makan untuk menenangkan pikirannya yang berkecamuk.

Jasmine bangkit kembali dan meletakkan gelas itu di wastafel. Ia akan mencucinya besok sebelum berangkat ke sekolah. Tubuhnya masih membutuhkan istirahat saat ini.

Baru saja hendak ke kamarnya, Jasmine melihat kedua orang tuanya berdiri berhadapan. Mungkin membahas hal yang penting, pikir Jasmine. Jasmine memutuskan untuk ke kamarnya.

"Tinggal beberapa bulan lagi. Bersabarlah sedikit lagi. Aku mohon."

Suara Nuri terdengar pelan namun cukup jelas bagi Jasmine. Jasmine urung kembali ke kamarnya. Ia malah bersembunyi dan mengamati Nino dan Nuri dalam diam.

"Ya, demi Jenna saya akan sabar. Kamu memang harus membayar kesalahan kamu, Nuri. Kalau bukan karena saya masih membutuhkan kamu, saya mungkin sudah lama menjatuhkan talak cerai!" Nino menunjuk-nunjuk wajah Nuri dengan telunjuknya.

Jasmine mengerjap. Selama ini ia melihat kedua orang tuanya baik-baik saja. Walau Jasmine sempat menjadi pihak yang diasingkan, namun kedua orang tuanya begitu kompak dan selalu memastikan kedua kakaknya, Jella dan Jenna untuk bahagia.

Batas RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang