Untuk beberapa saat Jasmine dan Nayaka diam. Bisma memutuskan untuk pergi, membiarkan keduanya berbicara empat mata. Jasmine yang sibuk mengatur napasnya, dan Nayaka yang sibuk dengan pikirannya.
"Kalau surat itu emang buat lo, lo harus ke rumah Julia. Kapanpun lo punya waktu." Nayaka membuka perbincangan untuk pertama kali, setelah mereka yang sempat dikungkung situasi hening beberapa saat lalu.
"Iya. Gue harus ke rumah Juli. Gue harus tahu kenapa dia ngelakuin ini. Gue nggak mau berasumsi lagi. Gue cuma pengen kejelasan untuk semua tindakan yang Juli lakuin ini." Jasmine menghela napas.
Jasmine rasa, hari ini ia bisa sedikit lebih tabah dibanding hari-hari yang telah berlalu. Ia bisa sedikit lapang dada jika Julia memang sudah tidak ada. Ia tidak akan sibuk menduga alasan Julia pergi setelah adanya surat yang ditinggalkan itu.
Nayaka mengerjap. "Jasmine, lo nggak papa?"
"Nggak, kok." Jasmine mengulas senyum tipis. "Gue udah ikhlasin Juli, kok."
"Syukurlah," gumam Nayaka.
Dibanding sebelumnya, senyum Jasmine kali ini merekah lebih lebar. "Nayaka, makasih yah. Selama masa berkabung, ah nggak-nggak, di luar masa berkabung gue karena kehilangan Juli, gue pengen bilang makasih sama lo. Lo selalu mengusahakan dan menjamin gue baik-baik aja. Gue nggak ngerasa sendiri ngehadapin ini."
Nayaka tidak langsung menanggapi. Ia tahu, jika Jasmine kembali akan mengatakan sesuatu padanya. Jadi ia akan menunggu dan mendengar dengan sabar sampai Jasmine selesai berbicara.
"Gue paham, kenapa Juli percaya sama lo. Gue sendiri udah ngerasa, lo adalah teman yang sangat baik. Gue selalu dapat dukungan dan kekuatan buat ngelewati hal-hal berat karena lo. Sekali lagi makasih, Nayaka." Jasmine tersenyum tulus kala ia sudah mengatakan hal itu pada Nayaka.
"Lo nggak perlu bilang terima kasih. Gue senang kalau sekiranya apa yang gue lakuin bisa berarti buat bangkitin semangat lo. Karena itu artinya, gue nggak bakal sebut diri gue sebagai 'teman' yang gagal." Nayaka menghembuskan napas. "Gue baru sadar, setiap kejadian yang terjadi dalam kehidupan kita pasti akan membawa dampak dan pelajaran. Ketika semasa hidupnya Julia nggak akrab sama gue, tapi dia yang menghadirkan teman baru buat gue, yaitu lo."
Jasmine kini menoleh sepenuhnya pada Nayaka. Gadis itu terkejut mendengar Nayaka mengatakan hal demikian. Ada rasa hangat menjalari dirinya.
"Orang-orang yang tahu Julia kasih pesan terakhir ke gue buat jagain lo, mereka sempat pikir apa gue bakal bisa ngelakuin ini? Apa permintaan Julia itu akan membebani gue? Gue sendiri pun meragukan kemampuan gue buat ngelakuin permintaan itu. Tapi gue sadar, menjaga seseorang itu bukan cuma sekadar menjaga aja. Yang lebih penting dari cuma sekadar menjaga adalah bagaimana membuat orang itu aman, nyaman, dan nggak dilimpahi beban. Dengan cara berteman sama lo, gue bisa jaga lo sesuai permintaan Julia, kan? Baik lo ataupun gue nggak ada yang merasa diberatkan karena itu."
Jasmine tertegun mendengar tuturan panjang Nayaka. "Dan itu alasan lo sanggup ngelakuinnya?"
Nayaka tertawa. "Gue bahkan nggak bilang gue sanggup atau nggak, Jasmine. Gue cuma nggak ngerasa terbebani dengan permintaan Julia ke gue. Lagipula, lo orang yang baik dan tulus. Julia aja yang ngerasa mengabaikan lo begitu peduli sama lo. Gue mau di masa muda gue, gue punya banyak teman. Gue pengen buat banyak cerita berteman dengan orang berbeda karakter."
Kali ini kepala Jasmine mengangguk semangat. Ia menggeser tubuhnya agar sedikit lebih dekat dengan Nayaka. Tangannya terangkat begitu saja tak jauh dari wajah Nayaka. "Tos?", gumam Jasmine dengan nada ragu, saat telapak tangannya mengarah kepada Nayaka.
Nayaka malah mengerutkan kening.
" Ah, nggak mau, yah?" Jasmine salah tingkah, sebab perbuatannya tidak bersambut. Ia perlahan menarik turun tangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Batas Rasa
Novela Juvenil"Hidup dengan orang tua yang bersikap adil itu, bagaimana rasanya?" Nayaka Akhilendra bingung ketika seseorang itu menanyakan hal itu padanya. Yang ada di dalam kepalanya hanyalah, 'apakah orang itu hidup dengan baik, atau justru ia bertemu dengan h...