Jasmine mengerutkan kening saat Nino menanyakan usianya. Di sisi lain ia merasa sedikit sedih, sebab sang ayah tidak tahu usia Jasmine. Namun Jasmine tetap tersenyum sembari menatap Nino. "Umur Jasmine enam belas tahun, Pa."
Wajah Nino tidak menunjukkan ekspresi apapun. Kepalanya hanya mengangguk kecil mendengar jawaban dari Jasmine. "Enam Januari. Itu tanggal lahir kamu, kan?"
Jasmine membulatkan kedua matanya saat Nino menyebutkan tanggal lahirnya. Harusnya hal itu menjadi perkara yang wajar, bukan? Kadang, baik seorang ayah ataupun ibu lupa dengan tanggal lahir anak mereka entah karena satu dan lain hal.
Sosok Jasmine yang menjadi anak bungsu dari Nino dan Nuri tidaklah demikian. Jasmine cenderung menganggap jika sikap kedua orang tuanya yang cenderung abai dan dingin padanya adalah hal yang biasa dan sudah bisa dia maklumi selama enam belas tahun hidupnya ini. Semacam hal remeh perkara tanggal ulang tahun yang dilupakan adalah hal yang biasa, walau fakta ulang tahun Jenna dan Jella adalah hal yang tiap tahun selalu dirayakan.
Apakah salah jika saat ini Jasmine bisa tersenyum dan merasa mendapat limpahan kasih sayang dengan cara berbeda dari kedua orang tuanya? Meskipun pikirannya juga mempertanyakan sikap semacam ini yang terlihat dari kedua orang tuanya. Semuanya terasa ada kontradiksi.
"Sepertinya kami harus ingat tanggal ulang tahun kamu juga. Agar bisa dirayakan seperti Jenna ataupun Jella." Suara Nuri terdengar datar, namun hal itu mampu membuat ekspresi berbeda diwajah ketiga putrinya. Jasmine dengan wajah terkejutnya, Jella dengan senyum tipisnya, dan Jenna dengan wajah herannya.
"Ah, nggak usah, Ma, Pa. Lagipula Jasmine udah gede juga. Ini aja ulang tahunnya masih diingat juga sudah senang banget." Jasmine menyengir kecil.
"Kami tidak ada masalah." Nino kembali buka suara. "Kami sedang berusaha adil sama kamu. Ulang tahun kamu tersisa beberapa bulan lagi. Kami ingin merayakannya."
Jasmine jelas tidak bisa menolak apa yang sudah diputuskan oleh Nino. Jika papanya itu ingin merayakan ulang tahunnya, Jasmine tidak masalah. Jika umurnya panjang, tahun depan adalah kali pertama hari ulang tahunnya dirayakan. Di kepalanya saat ini bermunculan pertanyaan yang ingin ditanyakan jika ia memiliki keberanian.
Ia hanya ingin tahu, kenapa kedua orang tuanya sempat memperlakukannya dengan pilih kasih? Apakah Jasmine bukan anak kandung mereka? Lalu sekarang mereka mulai sedikit memperhatikan Jasmine, membuat dada Jasmine merasa hangat sekaligus mengganjal disaat yang bersamaan. Mengganjal sebab pertanyaan itu tidak berani ia sampaikan hingga saat ini.
"Jasmine," panggil Nuri. "Ini makanan kesukaan kamu semua, kan?", tanya Nuri sembari menunjuk menu-menu yang sudah tersaji dengan asap yang masih mengepul di depan mereka. Ada udang asam manis, ayam goreng, capcay, dan beberapa masakan lain.
" Iya, Ma." Jasmine mengerjap.
"Yasudah, nikmati makanan kamu. Semoga suka." Nuri berujar kembali, lalu mulai meminum minumannya.
Jasmine menarik kedua sudut bibirnya. Rasanya seperti mimpi duduk ditengah keluarganya seperti ini. Tidak ada obrolan ringan, tidak ada senyum diwajah mereka. Namun diakui dan dianggap ada sudah cukup bagi Jasmine selama ini. Orang tuanya baru saja belajar adil padanya, jadi ini sudah cukup. Ucapan terima kasih tidak henti Jasmine kirimkan kepada Tuhan.
"Kenapa diam saja? Makan," kata Jella.
"Eh, iya Kak. Ini Jasmine mau makan. Hehe."
***
Nayaka dan Kanaka baru saja tiba di sekolah. Kanaka turun lebih dulu dari motor, sembari menunggu Nayaka memarkirkan motor di tempat yang masih kosong. Keduanya melangkah bersama untuk ke kelas masing-masing. Sudah jadi hal biasa sebenarnya bagi mereka pergi atau pulang sekolah bersama, dan mereka tidak merasa malu akan hal itu walau sudah sama-sama remaja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Batas Rasa
Teen Fiction"Hidup dengan orang tua yang bersikap adil itu, bagaimana rasanya?" Nayaka Akhilendra bingung ketika seseorang itu menanyakan hal itu padanya. Yang ada di dalam kepalanya hanyalah, 'apakah orang itu hidup dengan baik, atau justru ia bertemu dengan h...