12

57 11 4
                                    

Jasmine akhirnya memahami sesuatu sekarang.

Ia dan Julia hampir merasakan dan mengalami hal serupa.

Kasih sayang tebang pilih.

Hal menyesakkan itu kembali memenuhi rongga dada Jasmine. Walau berbeda kasus dengan Julia, tetap saja rasa tidak adil itu turut Jasmine rasakan. Ditambah lagi bagaimana kedua orang tua Julia menatap temannya itu dengan tatapan marah, seolah kecewa, dan tentunya dengan tatapan menuntut yang begitu kentara.

"Ma, pa, sekolah ada aturannya. Julia nggak bisa minta ini-itu semaunya Julia." Julia berusaha memberi ketenangan di situasi gugupnya sekarang. "Kalau bisa milih Julia juga maunya di jurusan IPA."

"Dan kamu memang harus di jurusan IPA, Julia!" Papa Julia berujar dengan nada tegas. Seolah tidak ingin dibantah, tatapan intimidasi itu seolah ikut menguliti Jasmine saat itu juga.

"Bagaimanapun caranya kamu harus di jurusan IPA! Kalau perlu mama dan papa akan turun tangan supaya kamu bisa pindah jurusan!", tekan mama Julia dengan wajah tidak mau dibantahnya.

"Om, tante," Jasmine angkat bicara dengan suara bergetar. "Ini nggak adil buat Juli."

Julia membulatkan kedua matanya ketika Jasmine mengatakan itu pada kedua orang tuanya. Tak sampai di sana, Jasmine kembali melontarkan ucapan yang membuat Julia ingin meminta Jasmine berhenti bicara.

"Kenapa harus Juli yang paham? Kenapa harus Juli yang dipersulit? Kenapa Julia diberi standar yang kelampau tinggi?" Kedua mata Jasmine mulai berkaca-kaca. "Ini terlalu berat buat Juli, om, tante. Ini nggak bakal adil sampai kapanpun."

"Kurang ajar kamu," kata papa Julia. "Keluar kamu dari rumah saya!" Papa Julia menyeret Jasmine menuju ke arah pintu rumah. Jasmine didorong kasar ke luar rumah Julia. Jasmine tahu hal ini akan terjadi, bahkan ini sama seperti di dalam pikirannya.

Dengan sisa keberanian yang Jasmine punya, ia berusaha menatap kedua orang tua Julia secara bergantian. "Om ngusir saya dari sini nggak akan menerima kenyataan kalau semua yang kalian lakukan ke Julia itu adil."

"Lama-lama kamu makin kurang ajar ..."

"Sudah, Mas! Biarkan anak kurang ajar itu pergi! Julia, masuk kamu! Dan kamu," telunjuk itu sudah kembali tertuju ke arah Jasmine. "Saya tidak mengharapkan kamu berteman dengan anak saya! Jauhi anak saya! Pergi kamu!"

Jasmine merasa dadanya sesak. Ia tahu ia sudah bertindak bodoh karena gagal mengelola emosinya saat berada di hadapan kedua orang tua Julia. Namun Jasmine seolah tidak bisa menerima kenyataan jika Julia hampir memiliki nasib yang sama sepertinya. Jasmine merasa ia berkaca dengan versi berbeda dari masalah yang telah ia miliki.

"Jasmine," gumam Julia saat Jasmine berbalik badan dan bergegas meninggalkan rumahnya.

"Mama dan papa tidak mau dengar apapun lagi soal anak itu! Tidak usah berteman dengan orang yang memberi pengaruh negatif buat kamu. Masuk!"

Julia merasa hidupnya sudah sulit akan semakin sulit tanpa adanya dukungan dari Jasmine.

***

"Maafin gue, Juli. Gue nggak bisa bantu Lo sebanyak Lo membutuhkan bantuan..." Jasmine menyeka jejak air mata dipipinya berulang kali. "Gue ngebuat semuanya kacau. Gue bahkan dilarang temenan sama Juli. Jasmine kenapa sih Lo emosional banget jadi orang?" Sepanjang jalan Jasmine tidak henti mengucapkan kalimat menyalahkan dirinya sendiri.

Rasanya kembali ke rumah begitu sulit bagi Jasmine. Saat tiba di rumah pun ia tidak akan menangis dengan leluasa. Ia tidak akan membuat orang di rumah mempertanyakan alasan Jasmine menangis.

Hari sudah semakin sore. Jasmine bingung hendak melakukan apa sekarang. Ia hanya berjalan tanpa arah dengan bayang-bayang Julia di kepalanya. Bagaimana keadaan Julia sekarang? Orang tuanya tidak menyakitinya, kan?

Batas RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang