44

84 7 16
                                    

"Gue kepikiran aja langsung nyari nomor lo ke teman-teman yang lain. Pas gue udah nemu, gue langsung telepon aja."

"Oalah, kirain siapa. Mama gue bahkan ngiranya yang nelepon itu penipu."

Jasmine tergelak ketika Nayaka memberitahunya perihal kekhawatiran Orane. "Tapi gue senang banget, gue bisa punya kontak teman-teman dan nggak bakal susah menghubungi kalian."

Nayaka mengangguk dengan senyum tipis. "Hidup lo jauh lebih baik setelah tinggal sama Papa lo."

Jasmine mengangguk tanpa ragu. "Iya. Ini kali yah yang orang-orang sering bahas soal hukum tabur tuai? Atau hukum timbal balik? Katanya, kalau kita yang dulunya hidup dalam kondisi nggak enak dan serba dipersulit, bakal ada masanya kita bakal dibuat bahagia sama Tuhan. Gue dulu mikirnya seumur hidup bakal hidup sebagai anak yang jadi objek pilih kasih Mama gue dan Pak Nino. Pada akhirnya, emang Tuhan sebaik itu. Setelah ketemu sama Papa, hidup gue berubah drastis. Gue dulunya hidup dengan anggota keluarga lengkap dengan tinggal di rumah besar itu tapi gue ngerasa asing. Sekarang walau cuma hidup berdua, gue bisa berperan jadi anak, anak yang bisa ngelakuin hal yang seharusnya sudah dilakukan anak ke orang tua pada umumnya. Makan bareng, tukar cerita, atau sesederhana jalan-jalan bareng Papa yang ngenalin gue sama tetangga komplek perumahan juga gue udah senang banget."

Jasmine lantas meresapi sisa-sisa perasaan yang begitu ia syukuri. Sekadar membagi ceritanya pada Nayaka saja sudah berhasil membuat suasana hatinya menjadi jauh lebih baik. Jadi, sudah bisa pula dibayangkan bagaimana bahagianya Jasmine saat ia bisa melakukan hal yang seharusnya anak lakukan pada ayahnya sebagai wujud bakti dan kasih sayang.

"Gue ikut bahagia karena lo sudah sampai di titik ini. Lo sudah melewati masa-masa menyesakkan, waktu baik lo sudah datang. Selagi ada waktu, manfaatkanlah sebaik mungkin. Jangan ngelakuin hal-hal yang sekiranya bisa membuat lo kehilangan sumber kebahagiaan itu."

Nasehat Nayaka tentu akan diingat baik-baik oleh Jasmine. Untuk menemui titik ini Jasmine mengorbankan perasaannya lebih banyak dari yang ia bisa lakukan. Keluarga yang Jasmine miliki hanyalah ayahnya. Maka, Jasmine akan menggunakan waktunya untuk lebih berbakti pada ayahnya.

"Gue kadang heran kok apa yang lo sampaikan itu bisa setepat sasaran itu, setidaknya bagi gue yang mendengarnya. Padahal, kehidupan lo kelihatan baik-baik aja, dan keluarga lo adalah keluarga impian sebagian besar orang yang setidaknya tahu." Jasmine mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia menunggu jawaban Nayaka dengan sabar.

"Iya, gue merasa hidup gue baik-baik aja. Punya keluarga yang sangat suportif dan sangat hangat. Tapi, dengan hal yang gue miliki sekarang apa gue nggak ngerasa cemas?", tanya Nayaka.

Jasmine mengerutkan kening dengan wajah bingung. " Cemas untuk apa?"

"Cemas karena gue yang punya banyak hal yang gue banggakan ini tiba-tiba menghilang suatu saat nanti." Nayaka menghela napas berat. "Gue takut sama yang namanya kehilangan."

Sekarang Jasmine memahami sudut pandang Nayaka. Meski memiliki hal-hal yang dimimpikan oleh anak seusia mereka, bukan berarti Nayaka bisa merasa tenang akan itu semua. Jasmine bisa sedikit paham perihal kecemasan yang ada dalam kedua netra Nayaka.

"Tapi...," lanjut Nayaka dengan senyum tipis dan menatap Jasmine dengan kerling ceria. "Bakal buang-buang waktu kalau gue cuma merasa cemas, sementara gue punya cukup waktu untuk mensyukuri berkah yang gue miliki sampai sekarang. Apapun yang kita miliki saat ini pasti bakal pergi, hilang. Kita sendiripun pastinya bakal pergi meninggalkan dunia ini, dan menghadap ke Tuhan. Dunia dan isinya nggak ada yang kekal. Hal terbaik yang juga perlu dilakuin adalah mempersiapkan diri buat segala kemungkinan nggak diinginkan ke depan."

Tawa kecil Jasmine terdengar. "Gue beruntung karena gue bisa jadi salah satu orang yang kenal sama lo. Gue selalu dapat sudut pandang dan pelajaran setiap kali gue dengar lo bicara soal hidup ini. Ke depannya, dibanding mikirin hal yang belum tentu terjadi, mending mensyukuri tiap berkah yang Tuhan kasih ke kita. Hidup terlalu pendek buat diisi sama hal-hal sedih doang."

Batas RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang