Jasmine berlari semampunya saat melihat sosok Juli yang dipapah beberapa siswa, dengan Nayaka yang membawakan tas milik Juli. Jantung Jasmine berdebar tidak karuan melihat kondisi Juli itu. Wajah Juli terlihat sangat pucat.
Kedua kaki Jasmine gemetar ketika tiba di depan pintu UKS. Kondisi Juli yang sudah berbaring di atas brankar membuat Jasmine merasa prihatin. Ia hendak masuk ke dalam, tapi melihat beberapa orang yang melihat Juli diminta untuk keluar, maka niat Jasmine urung.
"Oh, Jasmine?"
Tubuh Jasmine terlonjak kecil saat sosok Nayaka berdiri tidak jauh darinya. Bukan waktunya Jasmine menghindar, ia ingin tahu bagaimana kondisi Juli saat ini. "Juli... kenapa bisa begitu?"
Nayaka mengerjapkan kedua matanya. Ia tahu jika Jasmine berusaha menahan tangisnya, terbukti dari suaranya yang terdengar goyah. "Dia memang lagi kurang sehat. Dia tetap maksa belajar. Padahal guru udah kasih izin dia istirahat di UKS."
Jasmine membasahi bibir bawahnya saat Nayaka memberitahu perihal Juli. Jasmine merasa kondisi Juli bisa sampai seperti ini pasti ada hubungannya dengan kedatangan Jasmine hari itu. Rasa sesal dan bersalah Jasmine kian membesar.
Mengumpulkan segenap keberanian yang Jasmine miliki, gadis itu melangkah masuk ke dalam UKS. Nayaka berusaha mencegah, namun wajah sedih Jasmine membuat Nayaka tidak sampai hati harus menahannya. Nayaka memilih menunggu di luar.
Sementara Jasmine memandang tubuh Juli dengan mata berkaca-kaca. Kehadirannya cukup menyita perhatian beberapa siswa yang bertugas di sana. "Gue boleh di sini, nggak? Gue mau jagain Juli. Dia sahabat gue. Jangan suruh gue keluar," kata Jasmine sebelum mereka yang di sana memintanya keluar. Beberapa dari mereka mengalah. Mereka keluar dari UKS dan membiarkan Jasmine menunggui Juli.
Dada Jasmine bergemuruh tanpa bisa dicegah. Di kesehariannya Juli sudah terlihat dingin dan tidak mudah didekati oleh siapapun. Sekarang wajahnya pucat pasi, seakan memberi tanda jika seorang Juli di posisi tidak berdaya.
"Jasmine?", lirih Juli memanggil namanya, sangat kecil suaranya. Hingga Jasmine merasa suara Juli terbawa angin jika ia tidak memperhatikan gerak mulut dari sahabatnya itu.
" Iya, Juli? Ada yang sakit? Lo mau makan? Mau minum?", tanya Jasmine dengan suara lembut. Ia semakin mendekat, dengan menarik satu kursi dan duduk tepat di sebelah brankar Juli berbaring.
Kepala Juli menggeleng lemah. "Nggak mau apa-apa, Jas. Cuma mau bilang makasih karena lo jadi sahabat yang baik buat gue selama ini."
Ada jeda begitu lama ketika Juli mengatakan hal itu kepada Jasmine. Jasmine belum sepenuhnya bisa mencerna maksud Juli mengatakan hal semacam itu. Yang jelas, perasaan Jasmine tidak enak. "Apa alasan gue nggak bisa baik sama lo sih, Juli? Kita kan sahabat. Lo selalu bantuin gue. Gunanya sahabat emang begitu, kan?" Jasmine mengatakan semua itu dengan senyum lebar, walau rasa tidak enak itu menyeruak dalam dadanya.
Juli tersenyum tipis. Tangannya menggenggam tangan Jasmine. "Gue beruntung banget punya teman kayak lo. Udah baik, sabar lagi."
Decakan pelan keluar dari mulut Jasmine. "Lo sakit gini emang suka ngaco ngomongnya. Mending lo makan, biar ada energi lagi. Gue beliin deh makanan atau minuman yang lo pengen. Nggak papa kalau harus keluar sekolah juga buat beli."
Juli menggeleng cukup kuat kali ini. "Gue nggak mau, Jas. Gue nggak lapar. Lo di sini aja. Karena ada sesuatu yang harus gue bilang ke lo, dan gue nggak mau lo tahu dari orang lain."
Perasaan Jasmine semakin tidak enak.
"Mulai minggu depan gue udah nggak sekolah di sini lagi. Gue bakal pindah sekolah."
Suara Juli memang tenang kala mengatakannya, tidak keras dan cenderung lirih. Tanpa diulang pun, Jasmine bisa mendengar dengan jelas tiap kata yang Juli lontarkan. Tubuh Jasmine seakan ikut melemah saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas Rasa
Fiksi Remaja"Hidup dengan orang tua yang bersikap adil itu, bagaimana rasanya?" Nayaka Akhilendra bingung ketika seseorang itu menanyakan hal itu padanya. Yang ada di dalam kepalanya hanyalah, 'apakah orang itu hidup dengan baik, atau justru ia bertemu dengan h...