Pelajaran fisika memang sangat menyusahkan.
Imbasnya, Jasmine jadi dikeluarkan dari kelas dan diperintah oleh guru fisika berdiri dengan mengangkat satu kaki dengan posisi kedua tangan menyilang memegangi telinga di depan kelas. Mulut Jasmine tak hentinya merapalkan kalimat 'saya tidak akan tidur di kelas lagi'. Beberapa siswa yang kebetulan melintas hanya menahan tawa melihat Jasmine melakukan hal itu.
"Astaghfirullah sampai kapan sih harus kayak gini? Tangan kaki gue berasa pengen patah," gerutu Jasmine dengan wajah nelangsa. Sesekali Jasmine bersungut sebab suara tawa mengejek dari siswa lain sangat mengganggu. "Apa Lo liat-liat? Mau gantiin gue?" Jasmine benar-benar sewot.
Jasmine bahkan tidak tahu sudah berapa lama hukumannya ini berjalan. Apakah sudah menyentuh angka pada menit ke sepuluh, atau bahkan kurang dari itu? Jasmine merasa hukumannya sudah lumayan lama. Terbukti dari rasa pegal yang ia rasakan di kedua kakinya.
"Astaghfirullahalaziim , Allahuakbar...," gumam Jasmine dengan wajah mencebik. "Tapi mending kayak gini, deh. Daripada Mama sama papa tahu dan mereka kecewa sama gue? Nggak papa, Jasmine. Nggak papa, lain kali Lo nggak boleh tidur di kelas lagi. Harus serius belajarnya. Semangat Jasmine!"
Tidak peduli berapa lama lagi Jasmine harus berdiri dengan posisi seperti itu. Yang jelas, asal kedua orang tuanya tidak tahu jika ia diberi hukuman di sekolah, itu sudah cukup. Jasmine tentu tidak mau melihat raut kekecewaan dari orang tuanya.
Makin lama rasa pegal itu tidak bisa dielakkan. Lama-lama salah satu kaki Jasmine sudah kram. Wajah Jasmine tampak gelisah. Tubuhnya yang sudah tidak bisa seimbang itu mulai sedikit oleng.
Wajah Jasmine benar-benar sudah bertambah gelisah, gelanyar tidak enak akibat kram di kakinya membuat posisinya malah semakin tidak imbang dan ia rasa akan tersungkur sebentar lagi.
BRAK!
Jasmine terjatuh dengan wajah menahan sakit. Suara bedebum itu memang cukup keras, alhasil beberapa siswa langsung tertuju pada sosok Jasmine. Bukan tangan mereka yang terulur lebih dulu, melainkan suara mengejek yang tidak hanya menambah rasa sebal Jasmine, tetapi kakinya terasa makin nyut-nyutan.
Dengan sekuat tenaga Jasmine berusaha meluruskan salah satu kakinya yang terasa kram. Rasanya sulit.
Tanpa disadari oleh Jasmine, seseorang tampak berjalan ke arahnya. Wajahnya terlihat tidak senang ketika reaksi orang sekitar yang hanya melihat bahkan ada yang menertawakan.
"Tidak usah Lo paksa," ujar Nayaka langsung berjongkok tepat di sebelah Jasmine.
Jasmine tercekat mendapati sosok Nayaka di sebelahnya. Ah, kelas Nayaka ada jam olahraga sekarang. Karenanya Nayaka bisa ada di sebelahnya sekarang. Nayaka menatap beberapa siswa yang melihati Jasmine. "Kalau kalian tidak bisa ngebantu dia, minimal kalian minggat aja daripada ngetawain."
Tak lama kemudian siswa yang sempat ada di sana berlalu. Nayaka sempat menilik sedikit ke dalam kelas XI. IPA-1. Untung saja guru atau siswa di dalam sana tidak terusik dengan keributan yang terjadi di luar.
"Duh aneh banget rasanya," gumam Jasmine dengan wajah cemas. Rasa kram di kakinya tak kunjung menghilang.
"Udah, nggak usah Lo paksain. Diamin aja. Nanti balik normal sendiri," saran Nayaka. Jasmine menurut. Ia tidak melakukan apa-apa. Dia hanya diam menunggu rasa kram itu hilang.
Tak berapa lama kemudian, kram di kaki Jasmine benar-benar hilang dan ia merasa lebih baik. Gadis itu sudah bisa tersenyum kecil dan walau sedikit ragu ia menggerakkan kakinya. "Wah, alhamdulilah udah nggak kram lagi! Makasih Nayaka bantuannya!" Jasmine akhirnya bangkit perlahan dan akan menjalani sisa hukumannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas Rasa
Roman pour Adolescents"Hidup dengan orang tua yang bersikap adil itu, bagaimana rasanya?" Nayaka Akhilendra bingung ketika seseorang itu menanyakan hal itu padanya. Yang ada di dalam kepalanya hanyalah, 'apakah orang itu hidup dengan baik, atau justru ia bertemu dengan h...