17

36 8 0
                                    

Nayaka menghentikan langkahnya ketika melihat sosok Juli duduk sendirian di dalam kelas. Ada perasaan ragu ketika Nayaka hendak melangkah masuk dalam kelas. Namun saat kedua mata Juli menangkap kehadirannya, Nayaka rasanya tidak bisa lagi menghindar.

Ada perasaan tidak menyangka kenapa Nayaka bisa secepat ini datang ke sekolah. Ia pikir sudah banyak siswa yang ada di kelas, namun rupanya ia melihat kelas kosong melompong jika tidak melihat Juli di dalam sana. Langkah Nayaka terayun perlahan ke arah bangkunya, meletakkan tasnya dan bersiap keluar dari kelas lagi.

"Nayaka?"

Nayaka berhenti melangkah.

Itu jelas suara Juli. Satu-satunya orang yang ada di kelas saat ini. Walau suaranya terdengar pelan, tapi kelas yang sunyi seolah memantulkan suara gadis itu hingga sampai gendang telinga Nayaka.

"Kenapa?" Nayaka bertanya dengan kening berkerut.

Setelahnya, Juli malah tidak mengatakan apa-apa lagi. Alhasil Nayaka mendekat ke arah gadis yang wajahnya pucat itu. Tangannya sudah menarik salah satu kursi dan duduk di dekat Juli. "Lo mau ngomong sesuatu? Nggak papa, gue dengerin," kata Nayaka lagi.

Ada senyum tipis yang terbentuk di wajah Juli saat Nayaka bersedia mendengarkannya. Lidahnya memang terasa kelu walau itu hanya untuk sekadar berbicara. "Soal Jasmine."

Kepala Nayaka mengangguk paham. Ia akan biarkan Juli mengatakan hal yang memang ia ingin katakan. Ada helaan napas sebelum gadis itu mengatakan kelanjutan kalimat yang ia ingin lontarkan.

"Jasmine satu-satunya teman yang gue miliki selama sekolah di sini. Atau mungkin, satu-satunya teman yang gue miliki seumur hidup gue?" Juli terkekeh kala mengatakannya, berusaha menunjukkan jika Jasmine menjadi satu-satunya teman yang ia miliki dihidup ini. "Rasanya baru kemarin gue kenal dia, dan dia berhasil bikin rasa sepi yang gue rasain hilang perlahan. Orang pikir, Jasmine yang butuh gue, Jasmine terlalu bergantung sama gue. Nyatanya, semua penilaian orang itu salah. Justru gue yang butuh Jasmine."

Nayaka mendengar dengan tenang perkataan yang dilontarkan oleh Juli. Suaranya terdengar teramat pelan, namun ia paham jika Juli sebegitu ingin memberitahu jika Jasmine adalah salah satu orang penting buatnya. Nayaka bisa memahami itu dengan sorot kedua mata Juli.

"Jasmine mungkin ada di suatu titik di mana dia ngerasa, kalau gue terlalu cuek sama persahabatan kami ini. Persahabatan kami terasa satu arah. Gue sama sekali nggak masalah kalau dia mikir begitu. Gue merasa egois, karena Jasmine bertindak lebih banyak dalam hubungan persahabatan ini." Kepala Juli tertunduk dalam.

"Tapi, kalau lo merasa Jasmine teman lo, kenapa lo baru kasih tahu dia soal rencana pindah sskolah lo? Dan hal itu terkesan... terlambat?" Nayaka tidak tahan untuk mempertanyakan hal ini, dan tentu disambut dengan senyum samar oleh Juli.

"Gue terlalu angkuh. Gue pikir setelah mengatakan itu, gue bakal biasa aja. Gue bakal baik-baik aja. Gue cuma perlu tenangin Jasmine sedikit dan ngejelasin semuanya dengan pelan-pelan. Nyatanya, Jasmine nangis, gue ngerasa sedih banget. Gue ngerasa gagal jadi sahabat yang baik buat dia selama ini."

Bagus Juli bergetar, dan Nayaka paham jika gadis itu sudah mulai menangis. "Jasmine berkorban lebih banyak selama ini. Dia sama sekali nggak pernah cerita apapun masalahnya. Gue gagal. Gue gagal buat memahami banyak hal soal dia. Gue mengabaikan dia selama ini, karena ketakutan gue sendiri. Gue ngerasa Jasmine pada akhirnya ninggalin gue sendirian, nyatanya gue yang ninggalin dia."

Tidak salah jika Nayaka merasa persahabatan keduanya memang setulus itu. Mereka punya cara sendiri untuk menunjukkan nilai persahabatan satu sama lain. Karenanya, Nayaka membiarkan Juli mengeluarkan air matanya, membiarkan gadis itu mengeluarkan beban yang ia simpan perlahan.

Batas RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang