34

42 7 0
                                    

"Bang Yaka?"

Nayaka bangkit dari duduknya ketika sosok Kanaka baru saja muncul di depannya. Tak ayal Nayaka mendekat, ia ingin segera menuntaskan rasa penasarannya. "Lo habis darimana?"

"Oh," balas Kanaka. Ia langsung meletakkan tasnya di atas meja belajar. "Tadi ketemu sama teman."

"Ryuga?", tebak Nayaka, hanya untuk mengetes Kanaka.

"Bukan, Bang." Kanaka menjawab tanpa menoleh sedikit pun pada Nayaka.

Nayaka menghela napas. "Habis ngobrolin apa sama Jasmine?"

Bisa Nayaka lihat jika Kanaka berhenti melakukan kegiatannya. Adiknya itu sama sekali tidak bergerak di tempatnya. Lantas Nayaka mendekat dan menepuk pelan pundak Kanaka. "Jujur aja lo ngobrolin apa sama Jasmine?"

"Nggak ada yang penting kok, Bang. Cuma ngomongin tugas aja." Kanaka beralih meraih pakaian dalam lemari.

Tindak tanduk Kanaka tidak luput dari pandangan Nayaka. Ia tahu jika Kanaka tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Nayaka menghela napas dan memejamkan matanya beberapa saat. "Kalau ada kaitannya sama gue, gue nggak papa. Beneran."

Tanpa Nayaka bersikap pura-pura tidak tahu, pembahasan Kanaka dan Jasmine tidak jauh-jauh dari hal membicarakannya. Mendesak Kanaka dengan sikap 'ketidaktahuannya' ini terbukti tidak memberi jawaban yang Nayaka mau. "Kenapa lo harus ngobrolin semua ini ke Jasmine? Lo nggak percaya kalau gue nggak papa?"

Kanaka menoleh cepat ke arah Nayaka. "Iya! Gue nggak percaya kalau lo selalu bilang lo nggak kenapa-napa!"

Nayaka mengerutkan kening. Ia tidak sangka jika Kanaka memikirkannya sampai ke sana. Namun, Nayaka sungguh tidak apa-apa. "Gue beneran nggak papa, Naka!"

"Gue udah bareng lo sejak dalam kandungan Mama, Bang! Gue tahu selama ini lo selalu berusaha bikin gue senang. Lo ngelindungin gue dan menjamin gue nggak bakal sedih. Tapi kenapa kalau gue yang ngelakuin hal yang sama ke lo, lo selalu bilang nggak kenapa-napa?" Kanaka mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Ya karena gue emang nggak kenapa-napa, Kanaka!" Nayaka membalas dengan nada tegas. "Lo pengen gue ngaku apa lagi ke lo, setelah gue ngerasa perasaan gue udah nyaris nggak ada lagi buat Irish?"

Kanaka mengerjap. "Maksud lo gimana, Bang? Lo udah nggak naksir Irish lagi?"

Nayaka mengangkat kedua bahunya dengan wajah berpikir. "Nggak tahu, Naka. Dulu rasanya dada gue bakal meledak kalau ngeliat Irish. Sekarang gue malah nyaman ngeliat dia sebagai teman aja, rasa yang bikin gue tertarik itu makin mengecil."

Kanaka sempat kehilangan kata untuk beberapa saat. Pengakuan Nayaka ini tidak pernah diduganya. Ia pikir perasaan Nayaka akan bertahan lebih lama lagi.

Melihat Kanaka masih dalam mode mencerna situasi ini, Nayaka kembali menepuk pelan pundak Kanaka. "Jangan mikir terlalu jauh! Gue udah ngaku ke lo. Gue jujur, gue nggak sembunyiin apapun dari lo apalagi ini ada kaitannya sama Irish. Gue emang cukup lama mikirin ini. Gue harus akui gue sempat sesuka itu sama Irish. Tapi terlalu beresiko kalau gue mertahanin perasaan ini, kan? Urusan ngeyakinin Tuhan yang sama udah beda. Ditambah lagi dia nggak suka gue. Apa yang gue kejar dengan kenyataan itu?"

"Bang, gue nggak pengen lo sedih." Kanaka sejak tadi menahan diri untuk tidak mengatakan hal itu. "Gue juga pengen jadi saudara yang bisa bikin lo bahagia."

Nayaka terkekeh lalu mengacak pelan rambut Kanaka. "Lo sehat dan selalu bikin gue ketawa udah buktiin lo saudara yang baik. Nggak perlu muluk-muluk. Pokoknya lo harus selalu sehat, dan selalu bareng gue."

***

"Kita tidak hanya butuh donor darah dari Jasmine, bagaimanapun caranya dia harus bersedia jadi pendonor organ buat Jenna."

Batas RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang