36 || Revenge

11 1 0
                                    

Part 36
|| Revenge ||

Halo, untuk minggu ini bakal full update. Jadi siap-siap aja ya!

★Sebelum mulai baca, boleh dong vote dulu gitu. Biar kita sama-sama enak:) And, sorry for typo's juga mungkin ada ejaan kata yang salah. Bisa dibantu koreksi di mana aja letak kesalahannya. Harap bijak jadi pembaca okey?★

So, happy reading bestie!
▪︎
▪︎
▪︎

Flashback

Sepulangnya dari rumah sakit, Marel bukan langsung kembali ke rumah. Ia justru hanya berkendara dengan mengelilingin beberapa komplek perumahan tak jauh dari rumah sakit tersebut. Marel menghentikan motornya kala benda persegi panjang bergetar dari sakunya. Sebuah pesan muncul di sana. Tanpa menunggu apapun lagi, ia kembali ke rumah sakit.

Tujuannya tentu untuk berbincang lebih banyak dengan Kinar yang masih menutupi sadarnya ia dari koma terhadap Gio. Isi pesan singkat tersebut adalah sebuah informasi kecil bahwa Gio telah meninggalkan rumah sakit. Simpel, tapi sangat berharga.

Marel masuk ke dalam ruang rawat, ia langsung duduk di kursi samping bangkar. Kinar duduk di sana, tidak sedang berbaring. Sudah tampak bahwa ia telah bugar kembali. "Arel, boleh kan saya panggil seperti itu?"

"Tidak perlu formal seperti itu, anggap saja laki-laki yang ada dihadapanmu ini adikmu." Kinar yang menangkap itu tanpa ragu mengangguk. "Yaudah, langsung aja deh udah malem juga."

"Jadi, gue sebenernya sudah ada dibawah kendali bapak lu–" baru saja dimulai, Marel malah memotong pembicaraan Kinar, "hah? Bapak gue? Maksudnya?" Kinar tersenyum kecut kala ucapannya dipotong begitu saja. "Jangan motong makanya!" Mendengar itu, Marel hanya tersenyum kikuk.

"Intinya, gue ini udah jadi anak buah ayah lu, Rel. Dia ngajak gue kerja sama buat lawan keluarga Arselan. Kenapa? Karna ibu lu, ibu gue, ayah gue, dan bahkan gue merupakan korban dari mereka. Jadi, kalau lu nganggap ayah gue pelaku pembunuhan ibu lo, itu salah besar. Karna posisinya, keluarga gue juga korban. Dan gue dapat amanah buat jalanin rencana ini bareng lo."

"Rencana? Papa yang buat atau lu?" Reflek saja Kinar menjitak dahi Marel kuat. "Weh sakit gila!" serunya sembari mengusap dahi yang baru saja terkena jitakkan maut Kinar. "Oh maaf kalo gitu. Lagian lu pake nanya segala, jelas rencana–"

"Lu." Kali kedua Marel memotong ucapan Kinar. "Bapak lu lah! Otak sempit gue mana mampu."

"Yaudah, rencana apaan?" tanya Marel penasaran.

"Lu jadi umpan, Rel. Lu deketin Lana, abis itu cari tahu ayah gue dimana. Begitu lu tau, bawa ayah gue. Selamatin dia dari jerat keluarga Arselan. Pertemukan dia dengan Saira, adik gue itu paling deket sama ayah. Rencana awal cukup itu dulu, nanti lu tanya bapak lu aja," jelas Kinar penjang lebar.

Marel sedikit tidak terima dengan rencana tersebut, "kenapa harus deketin Lana? Kenapa gak langsung aja? Ogah banget harus deket tu bocah!" Untuk kali kedua Marel mendapat jitakkan maut yang jauh lebih menyakitkan dari yang pertama. Bahkan suaranya terdengar begitu nyaring dalam ruangan.

"Eh bangsat sakit!" umpat laki-laki itu. "Lu tuh bego apa pura-pura bego sih? Inget ini, Lana itu obsesi parah sama lu, bahkan tingkat obsesinya itu udah sampe ke sel-sel otak yang kalo dia dapetin afeksi lo, otak dia gak bakal bekerja. Bener-bener kayak cinta itu buta, apa aja bakal dia lakuin demi elu!" jelas Kinar penuh rasa geram.

"Ya tapi jangan gua, udah di bilang ogah gue deket tu bocah," tolak Marel tetap bersikukuh dengan egonya. "Lu kagak gue restuin sama Saira, mampus! Awas aja, nekat deket adek gue lagi gue penggal pala lu!"

"Serem amat mbak! Yaudah iya, tapi gak gratis." Wajah Kinar yang tadinya mulai tersenyum kembali datar. Benar-benar perhitungan anak ini, padahal ia jauh lebih kaya dibanding Kinar. Apa saja bisa dibeli. "Perhitungan lu!"

"Gak peduli."

"Yaudah, mau apa?"

"Gak mahal serius, cuma pengen kolor macan aja." Kinar menahan tawa ketika mendengar penuturan laki-laki itu yang terkesan tidak ada malunya. "Anjir, bayaran lu cuma pengen kolor? Gak ada gitu yang lebih mahal? Ampun dah," remeh Kinar.

"Yaudah kolor gak jadi, gue minta lu sapu padang pasir aja kalau gitu," ujarnya dengan senyuman licik. Ekspresi Kinar seketika berubah datar. "Deal, kolor macan." Senyuman Marel kembali berubah dengan senyum kemenangan, "gitu dong! Yaudah kalau gitu, bye bye!"

••☆••

Jauh sebelum Saira mengenal Marel. Gionino Arselan, laki-laki itu nyatanya memiliki keterkaitan dengan hilangnya Candra. Memang benar, dulu kepala keluarga Darrenzo itu sempat di tangkap pihak berwajib. Namun tak lama ia bebas. Gila memang jika harus mengakui ini, tetapi nyatanya Gio lah yang menyekap Candra selama tujuh tahun.

Candra sempat lolos dari penyekapan tersebut. Namun lolosnya ia justru membuat sebuah kesialan terbesar dalam hidup. Ia tidak bisa kembali berjalan, untuk kata kasarnya Candra lumpuh total. Malam itu, Candra yang panik terus berlari tanpa sadar sampai ke tengah hutan. Gio memang tidak sepenuhnya ikut campur kala itu. Melainkan ulah sang ayah, Kevan dan seorang rekan bernama Aldo.

Aldo? Apa dia ayah dari Mina? Iya, itu benar. Ia orang yang sama. Dan siapa sangka bahwa saat itu juga ada Diana di sana?

"Dimana dia?" tanya Kevan pada Diana yang baru saja kembali dari ruang sekap Candra. Setelah sebelumnya ia minta wanita itu membawa Canda.

"Aku tidak menemukannya, dia menghilang." Berita itu sontak saja mengejutkan Aldo dan Kevan.

"Bagaimana bisa hilang?! Bukankah tim-mu sendiri yang mengurusnya? Cari!" Aldo memprotes keras, ia lantas menunjuk beberapa anak buahnya. Mendengar perintah Aldo, mereka langsung bergerak pergi mencari Candra yang hilang. Di ikuti Aldo dari belakang, tentunya.

Diana tampak gelisah menatap kepergian Aldo. "Kau menyakiti mereka. Padahal kesalahan mereka menurutku tidak seberapa," ujarnya. Hal itu jelas membuat Kevan naik pitam.

"Hey, mereka itu saingan kita. Kau tahu apa saja yang terjadi dalam persaingan? Melawan, atau dilawan. Dan kita hidup dalam pilihan tersebut. Kau ingin dilawan oleh mereka dan berakhir tragis? Hah?" Diana bergeming, ia tahu jika sekali masuk akan sulit menemukan jalan keluar. Ia seperti memasuki sebuah labirin.

"Kak, kau yakin?"

"Astaga kau masih ragu? Percaya saja padaku, aku hanya akan melukai mereka sedikit. Niat ku bukan menghancurkan mereka oke?" Diana mengangguk setelahnya.

"Kalau begitu, biarkan aku keluar dari dunia gelap dan menyebalkan ini. Aku seorang model, reputasiku lebih berarti dari sebuah masalah kecil tak berarti. Perusahaan keluarga Zayn dan Darrenzo menempati posisi pertama dan kedua pada total saham tertinggi, menggeser tempatmu. Bukan salah mereka jika pendapatan mereka meningkat pesat. Itu salahmu saja tidak bisa mempertahankan posisi."

Kevan menggebrak kencang meja penuh amarah. "Kau dan Aldo sama-sama dari keluarga Zayn. Lalu mengapa ikut bergabung denganku kalau begitu?" Diana tersenyum simpul yang sebetulnya meremehkan Kevan.

"Aku hanya mencari tahu hubungan Dewina, dirimu, dan Aldo. Menggelikan jika aku mengingat bahwa Aldo memiliki seorang anak dari istri kakaknya sendiri. Aku tidak akan ikut campur lagi dengan kalian, karna tugasku telah selesai. Permisi," pamit Diana kemudian pergi. Sementara Kevan menggeram penuh amarah.

"Diana sialan!"

▪︎

▪︎

▪︎
Bersambung...

Jumpa lagi besok!

☆Maaf bila ada kesalahan. Cukup sekian untuk hari ini, sampai jumpa di part selanjutnya!☆

//16 Oktober 2022//

REVENGE: If You Loved You Lose [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang