BAB 2B

1K 95 4
                                    

Elena Mazaya Tjipta, demikian nama barang bagus yang menjadi bahan perdebatan para pengacara. Buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer berada di tangannya. Di abad ke dua puluh satu gadis itu berprinsip perempuan jangan hanya tahu fashion atau kosmetik. Tak punya banyak kawan karena harus rajin belajar demi menjadi pemegang tampuk perusahaan, buku adalah hiburan baginya.

“Suka dengan yang lo baca?” tanya sesosok pria tinggi. Tatapannya terasa menelanjangi Elena. Dia berdiri tegak dekat rak penuh buku setinggi dua meter. Cukup karismatik. Bukan jenis lelaki metropolitan yang suka dandan apalagi rajin berburu vest keluar masuk mal, juga tak akan histeris melihat sneakers diskon. Caranya memakai baju sangat serampangan. Lengan panjang kemeja batik laweyan yang digulung hingga siku memperlihatkan lengan berotot khas makhluk pekerja. Manik mata hitam pekatnya berusaha menembus kepala Elena. Dia ingin tahu seberapa pintar makhluk kelewat modis yang memegang buku ini.

Perempuan cantik nan seksi memegang buku, adalah kenyataan absurd. Elena, akan menjadi asistennya mengurus masalah pekerja PT SUCK. Seharusnya Ross mencari anak hukum pintar. Bukan akuntan jago dandan.

Elena tersenyum canggung semisterius senyum Monalisa. Ada getaran aneh di dada Randu saat mereka bersitatap. Belum pernah Randu merasakannya meski sudah bercinta dengan belasan, mungkin puluhan perempuan.

“Saya Elena Mazaya Tjipta. Panggil saja El.” Dia mengulurkan tangan untuk bersalaman. Katya – sahabatnya – menyemprotkan parfum vanilla keluaran Body Shop hingga aromanya membanjiri tubuh Elena.

Tangan Randu menyambut Elena. “Randu Tio Hariman. Kawan-kawan manggil gue Randu.”

Anjing! Wangi banget nih Kuntilanak!

Randu berkata dalam hati ketika kulit mereka bersentuhan. Tanpa jeda, dia terus menikmati pemandangan di depannya. Lagi-lagi teringat para penggoda iman di PT SUCK.

“Jadi sudah baca buku yang mana aja?” Randu bukan jenis manusia munafik. Meskipun lelaki itu sangat memedulikan nasib orang kecil, namun jangan tanya kesukaannya gonta-ganti teman tidur. Setengah tahun ini Randu cuti dari kebiasaannya. Dia takut sakit.

Penyakit kelamin memang mengerikan. Dia tak mau pedang naganya berubah jadi mirip kembang kol. Pengaman memang bisa mencegah, namun mengurangi kenikmatan. Lagipula mendekati perempuan membutuhkan biaya. Tidak bagus untuk kantongnya.
Mendengar pertanyaan Randu, Elena berpikir tak perlu jujur.

Keberadaan Elena di sini untuk berburu lelaki. Dirinya tertawa dalam hati. Kini dia bertingkah serupa jalang penggoda pria. Hal yang mustahil terpikir sebulan lalu. “Belum ada yang saya baca sebenernya.”

Nggak bisa milih anak magang lain apa si Ross? Bisa nggak ini cewek bantuin perkara orang nggak mampu? Di sini lo mesti kerja, bukan peragaan busana. Lo pikir di sini Milan? Dasar Ross, diam-diam mata keranjang juga.

Dalam diam, Randu mencela pilihan direkturnya.

“Tadinya kuliah atau kerja?” Randu tak berusaha menutupi rasa penasaran.
Elena sungguh tidak ingin membahas perusahaan tempatnya pernah bekerja. Ada hal menyedihkan yang ingin dikuburnya dalam ingatan. Jika bukan karena masalah asmara yang merobek hati, buat apa dia melamar ke tempat sesuram ini.

Hanya atas nama sopan santun Elena menjawab, “Kerja. Di perusahaan.”

Suara gadis itu lembut layaknya penyanyi mendendangkan nina bobo bagi telinga Randu. Lelaki itu pun meralat pikiran, Perempuan ini bego tapi cantik.

“Terus kok tertarik banting setir ke LBH?” Randu heran kenapa bisa sangat penasaran.

“Cari suasana baru.” Elena melirik ke rak buku di belakang Randu. “Di sini ada Soe Hok Gie juga?” Manik mata jernihnya tertumbuk pada buku Catatan Seorang Demonstran yang ditulis Soe Hok Gie.

Randu mengamati Elena. “Ya, tahu dia?”

“Pernah nonton filmnya,” sahut gadis itu. Elena tak begitu suka filmnya. Dia membeli DVD film Soe Hok Gie hanya demi memelototi Nicholas Saputra yang waktu film itu dibuat masih imut.

Berbeda dengan Elena, Randu dan teman-temannya membaca buku itu sebagai penyemangat sebelum berdemo. Untuk meyakinkan diri mereka sendiri bahwa apa yang mereka lakukan adalah kebenaran, demi membela orang lemah.

“Lo nunggu Ross?” Retina Randu menelusuri perempuan di hadapannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Hari pertama, saltum ―salah kostum― pula; sepatu hak tinggi, baju merah, lipstik merah. Si Ross benar-benar rabun ayam, pikir Randu.

“Iya, Pak,” jawab Elena sopan dan tegas pada saat bersamaan.

Baru saja hendak melontarkan argumen soal usia, suara cadel Ross mengagetkan. “Selamat pagi,” sapanya.

“Pagi, Ross,” sahut Randu.

Tubuh Randu yang sejak tadi ingin menempel terus pada Elena layaknya magnet kutub utara bertemu kutub selatan, spontan menjauh.

Elena mengangguk dan tersenyum sedikit. Segala jenis iblis dalam hati Randu menyemangatinya untuk merayu sosok berpenampilan menggoda itu. Bagaimana tidak, gaun merah memeluk erat tubuh Elena, memetakan lekuk-lekuk sempurnanya.

Bagi Ross, Elena tidak terlalu menggoda. Banyak perempuan di Amerika mengenakan pakaian lebih gila. Namun dia paham, anak magang yang mengenakan pakaian semerah truk pemadam kebakaran seperti Elena bukanlah pemandangan biasa.
Melihat Randu di sana, Ross mulai berspekulasi. Tapi, dia abaikan sejenak kelebat pikirannya untuk kembali menatap Elena yang masih menampilkan senyum sapaan.

“Sudah lama menunggu, Elena?”

“Sekitar setengah jam.” Suara selembut beledu Elena menyahut setelah melirik jam digital di ponsel dalam genggaman.

“Ok, kita ke ruangan saya. Saya beri tahu teknis magang kamu.” Ajakan Ross disambut anggukan Elena. Gadis itu berjalan melewati Randu.

Kipas angin berputar, mengirimkan aroma lembut parfumnya. Menyeruak masuk indra penciuman sang pengacara. Sungguh perempuan yang sangat indah.

***

Gimana Bab ini, udah mulai penasaran sama Elena? Vote dan komen yang banyaaakkk...

Kita ketemu lagi besok.

Love,

💋 Bella 💋

DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang