Bab 21a

147 27 2
                                    

Eugene senang putrinya telah mengundurkan diri dari LBH. "Kalau kamu mau merintis usaha kuliner, Papa dukung. Asal konsisten seperti Mama.

Seiring pesatnya pertambahan pesanan, Elena mulai meminta karyawan ibunya untuk membantu. Itu pun seringkali Elena baru bisa menyelesaikan pesanan saat jauh malam.

Malam ini, Elena baru bisa masuk ke kamar pukul satu pagi. Matanya nyaris terpejam ketika mendengar suara orang di luar berteriak, "Asalamualaikum!"

Awalnya Elena berpikir mungkin tetangga sebelah kedatangan tamu, tetapi suara benda keras beradu pagar rumahnya disusul seruan, "Asalamualaikum!" memaksa Elena membuka tirai jendela kamar untuk mengintip.

Dua orang laki-laki dengan sebuah mobil berdiri di depan rumahnya. Elena menyambar jubah tidur dari balik pintu lalu berjalan ke teras.

"Selamat malam, Mbak." Seorang pria berseragam polisi memberi hormat.

"Selamat malam, Pak." Elena membuka pintu pagar. Seorang pria lain dengan pakaian sipil ikut memberi hormat. Di pinggang mereka terselip senjata api. Dua orang lagi turun dari mobil. Seluruhnya ada empat orang polisi.

"Saya Briptu Hendra Priyatna dari Polres Pelabuhan Tanjung Priok bermaksud melakukan penangkapan terhadap Saudara Eugene Tjipta. Ini surat penangkapannya." Polisi itu menyerahkan amplop coklat dengan kop Kepolisian Republik Indonesia.

Elena membukanya. Surat Perintah Penangkapan. Begitulah kalimat yang dibacanya. Berbulan-bulan magang di LBH Optimus membuatnya sedikit melek soal hukum.

Bahwa untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan....

Elena terus membaca secepat yang dia bisa.

"Saudara Eugene Tjipta disangka telah terlibat dalam tindak pidana narkotika." Ucapan polisi tidak didengar secara sadar oleh Elena. "Tolong panggilkan Saudara Eugene," Polisi di sebelah Briptu Hendra Priyatna berkata.

Kalimat polisi itu, mengusir kantuk. Elena tak tahu apa yang harus dikatakannya. Dia berlari secepat mungkin ke kamar orang tuanya, memanggil sang ayah sembari mengetuk pintu. Tapi, tak ada sahutan. Tentu saja, orang tuanya pasti sedang tidur. Memberanikan diri, Elena memutar kenop pintu. Kedua orang tuanya masih terlelap.

Dalam gelap, Elena duduk di pinggir tempat tidur. Digoyangkan tubuh ayahnya sambil memanggil, "Papa." Ayahnya tidak langsung bangun, sehingga Elena memanggilnya lebih keras, "Papa."

Eugene membuka mata. "Kenapa?" masih setengah tidur, Eugene menyalakan lampu duduk di atas nakas.

"Ada polisi, nyari Papa." Elena menyerahkan surat penangkapan.

Eugene meraih kaca mata di dekat lampu duduk lalu membaca surat itu. Raut kantuknya segera terganti waspada. Tanpa membangunkan istrinya, Eugene keluar kamar menemui polisi-polisi itu.

"Selamat malam, Pak." Briptu Hendra Priyatna memberi hormat ketika Eugene keluar.

"Ada apa ini?" tanya Eugene. Narkoba? Seumur hidup dia tidak pernah dan tak akan sudi menyentuh barang haram itu.

"Bapak disangka telah terlibat dalam tindak pidana narkotika." Para polisi bersiap mengelilingi Eugene.

"Ini salah paham!" teriak Eugene. Namun para polisi tidak menggubrisnya. Seorang polisi menggelangkan borgol.

Elena berusaha tenang. "Pak, saya yakin ini salah paham." Dicobanya untuk bernegosiasi dengan polisi. Ayahnya terlibat perkara narkotika? Tidak mungkin.

"Silakan nanti dijelaskan di kantor. Kami perlu masuk ke dalam, mengambil beberapa bukti. Ini surat penggeledahannya." Briptu Hendra Priyatna menyerahkan surat lagi.

"Papa?! Kenapa ini?"

Marcelia yang tadi tidur pulas, kini berdiri di teras karena mendengar keributan. Dia menangis histeris melihat suaminya digiring polisi. Elena naik ke teras, memeluk ibunya yang berteriak-tereiak. "Ini pasti salah paham! Tolong jangan bawa suami saya!" isaknya memohon agar suaminya tak digelandang.

"Ma! El! Ini salah paham. Percaya sama Papa!" teriak Eugene yang digiring polisi masuk ke mobil.

Dua orang polisi lain sibuk menggeledah seisi rumah mencari barang bukti. Mereka mengambil dua buah smartphone dan sebuah laptop milik tersangka.

"Kami permisi. Ibu dan Mbak dipersilakan datang ke Polres Pelabuhan Tanjung Priok." Briptu Hendra Priyatna berkata dengan tegas. Setelah memberi hormat, para polisi itu meninggalkan kediaman keluarga Tjipta.

"Papa!" Marcelia berontak dari pelukan putrinya, menghambur ke pagar. Elena tak bisa mencegah ibunya berlari ke sana. "Papa!" jeritan Marcelia membelah dinihari. Dia hendak mengejar mobil polisi namun berhasil ditahan Elena.

"Ma, tenang dulu ya," Elena berusaha menenangkan ibunya sementara dirinya sendiri sangat kalut. "Besok kita jenguk Papa." Didekapnya Marcelia dengan erat agar tidak melakukan hal membahayakan. Pikirannya bekerja mencari jalan keluar.

"Papa kamu nggak mungkin melakukan itu," Marcelia tersedu-sedu dalam pelukan Elena. "Nggak mungkin," ulangnya berurai air mata. "Nggak mungkin." Lalu dirinya merosot, jatuh tak sadarkan diri.

***

Seminggu ini Elena bolak-balik dari rumahnya ke Polres Pelabuhan Tanjung Priok hampir setiap hari untuk mengurus perkara sang ayah. Pasal persangkaannya berat. Pasal 112, 113, dan 114 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman maksimal pidana mati.

Ayahnya ditangkap karena mendapatkan kiriman forklift dari China berisi narkotika golongan I jenis shabu-shabu seberat dua puluh kilogram senilai seratus miliar rupiah. Forklift tersebut dikirimkan melalui Pelabuhan Tanjung Priok untuknya oleh seseorang bernama Tan Yu Ming.

Karena locus delicti atau lokasi kejadian tindak pidana di Pelabuhan Tanjung Priok, maka ditangani oleh Polres Pelabuhan Tanjung Priok. Minggu lalu ayahnya diinterogasi polisi selama enam jam dengan didampingi pengacara yang disediakan penyidik.

Seminggu ini ayahnya mendekam di rutan Polres Pelabuhan Tanjung Priok tanpa boleh pulang sehari pun. Elenalah yang menjenguk setiap hari sendirian, membawakan makanan, pakaian serta keperluan lain. Polisi tidak memperbolehkan para tahanan menggunakan alat komunikasi. Ibunya terlalu shocked untuk menengok. Marcelia pingsan beberapa kali. Sempat dirawat di rumah sakit karena dehidrasi. Tekanan darah ibunya melonjak drastis.

Bisnis kue Cake of Cupid terpaksa dihentikan demi mengurus ayah dan ibunya. Sang ibu meminta tolong Tante Yessy, ibu Cantika untuk mengurus perkara ini. Suaminya adalah seorang jenderal Angkatan Darat. Namun, tampaknya tidak banyak berpengaruh karena berbeda korps dengan kepolisian. Elena harus memutar otaknya cepat. Siapakah yang bisa dimintai bantuan?

Pengacara yang dikenalnya mau membantu tanpa bayaran, hanya dari LBH Optimus. Namun Elena tak sudi mengemis bantuan pada orang-orang yang menjadikannya taruhan. Elena tahu Fadli sering mengurus perkara narkotika. Tapi lelaki itu ikut memperebutkan tubuhnya. Dia benar-benar tak menyangka masalah serumit ini menimpanya.

Mana mungkin ayahnya terlibat perkara narkotika? Merokok atau minum alkohol saja tidak. Ayahnya tak pernah absen ke gereja setiap hari Minggu. Bahkan ketika ditetapkan pailit oleh pengadilan, ayahnya masih menganggap Tuhan Maha Baik. Elena teringat Sina Damanik, pengacara yang membela ayahnya saat terkena perkara pailit dulu. Namun saat itu Chandra Atmadja yang membayar pengacara. Tarif Sina Damanik sangat mahal. Sedangkan kondisi keuangan keluarga sedang teramat buruk.

Ke manakah Chandra Atmadja? Bukankah ayahnya menjalankan bisnis impor alat berat bersama Chandra? Elena menekan nomor sahabat ayahnya selama dua puluh tahun itu. Namun yang didapatinya adalah, "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif."

***

DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang