Bab 4c

490 66 4
                                    

Tidak perlu waktu lama bagi Elena untuk mandi. Masalahnya, Katya membantu memulaskan make up. Seluruh counter kosmetik di department store terkemuka sekarang pindah ke wajah Elena. Katya mendapatkannya karena produsen kosmetika itu memasang iklan di blognya. Alhasil, Elena terlambat sampai LBH Optimus.
High heels Elena baru saja menginjakkan kaki di teras ketika suara bariton yang terdengar marah. Nyaris saja Katya dan Elena kena serangan jantung.

"Otak lo di mana, Firman?!" teriak Randu berang. "Sidang siang ini dan pledoi masih kayak gini!" bentak Randu tanpa repot-repot menahan emosi.

Pledoi atau nota pembelaan terdakwa dinilainya masih 'mentah'. Elena meredam langkah kaki ber-high heels-nya. Katya menempel di belakang punggung Elena. Suasana yang kurang kondusif untuk tebar pesona pada Fadli.

"Maaf, Bang," cicit Firman tak mampu membalas tatapan ganas Randu.

Elena menoleh pada Katya. "Kit-Kat, lo pulang aja deh. Nggak bisa ketemu Bang Fadli sekarang," bisiknya.

Katya mengangguk sepuluh kali lalu kabur sebelum terkena getahnya. Tinggallah Elena kini sendirian di teras LBH Optimus, ragu melangkah masuk. Tapi dipaksakan juga nyalinya agar muncul.

Wajah garang Randu menoleh ke arah Elena ketika high heels-nya beradu dengan ubin. Tubuh tinggi lelaki itu terbalut kemeja batik sidomukti berwarna dominan hitam. Dengan wajah marah dan berewok tipis yang belum dicukur tiga hari, dia terlihat menyeramkan. Sekaligus hot! Luar biasa seksi. Lelaki itu kini mengepalkan tangan. Lolos sedikit saja pengendalian dirinya, bisa-bisa tinjunya melayang.

Tanpa sadar Elena menggigit bibir, meredakan kegaduhan di dadanya. Kulit Rimba putih kemerahan. Mantannya itu selalu bersih kelimis mirip babi. Saat mereka berciuman, Elena sama sekali tak pernah terganggu dengan berewok apa pun. Aneh, kenapa di saat genting Elena malah membandingkan kondisi fisik Rimba dengan Randu.

"Lo baru datang? El, lo pikir Optimus ini rumah nenek lo?!" bentak Randu. Fadli yang sudah terbiasa dengan teriakan Randu memasang headset, sibuk mengetik dokumen. Sementara Gading dan Ambar pergi ke kantor Polres untuk mengurus perkara lain.

"Maaf." Hanya satu kata ini yang bisa terucap lemah oleh Elena. Meski mulutnya mengucap maaf, namun otaknya malah membayangkan adegan berciuman dengan Rimba berbulan-bulan lalu. Dadanya kembali sakit. Inilah yang dia takutkan.
Kenangannya bersama Rimba kembali datang. Sejak Rimba meninggalkannya, Elena terserang mnemophobia. Dia takut pada kenangan. Ingin disingkirkannya memori romantis ketika mereka berciuman dekat Pura Besakih. Kenangan saat mereka menatap komet di Bosscha. Ingin dibuangnya adegan saat mereka bergandengan tangan menyusuri Pantai Sambolo, Anyer. Namun memori-memori itu selalu datang kapan pun mereka mau pada saat yang tidak tepat. Termasuk pada saat ini.

Teringat sesuatu, Randu menghunuskan tatapannya lagi pada Firman. "Toga gue yang lo pinjam, mana?" Firman menelan ludah sehingga Randu semakin jengkel.
"Ketinggalan di rumah?" tanyanya menahan bara amarah.

Firman selalu pelupa, padahal usianya jauh di bawah Randu. Tiba-tiba sebentuk benda berwarna hitam terbang melewati muka Randu dan mendarat tepat di kakinya.

"Tuh, pakai toga gue. Hari ini gue nggak sidang. Awas jangan kotor," kata Fadli.

Randu memungut benda itu lalu membuka kancing toga milik Fadli dan mengenakannya di depan Elena. Kini Elena merasa udara segar di sekelilingnya dirampok. Dia megap-megap memandangi Randu dalam balutan toga hitam pengacara. Hanya satu kata: TAMPAN! No, dua kata: TAMPAN dan SEKSI. Berkali-kali Elena menelan ludahnya sendiri.

"Ngapain lo cobain segala? Ukuran kita kan sama," Fadli mencela Randu.

Randu mencibir, "Jangan samain ukuran gue dengan ukuran lo,” ujarnya seraya memutar tubuh di depan cermin. “Punya gue lebih gede dan lebih memuaskan."

DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang