Bab 7a

585 54 3
                                    

Matahari masih menampakkan diri ketika Randu dan Elena keluar dari gedung PT. SUCK. Seharusnya mereka kembali ke Optimus. Namun, Randu merasa tolol jika menyia-nyiakan kesempatan untuk berduaan dengan Elena. Lelaki itu memberanikan diri menggenggam tangan Elena. Karena terkesiap, Elena tidak bereaksi, wajahnya tetap lurus ke depan.

Luar biasa! Memiliki tangan Elena dalam genggamannya, membuat Randu lebih girang daripada saat menang judi di online kasino. Seharusnya Fadli dan Gading melihat pemandangan ini. Namun, pelan-pelan dirasakannya gadis itu berusaha melepaskan diri dengan gerakan sehalus mungkin.

“Kita nonton, El,” Randu berkata di parkiran motor.

Sejenak Elena lupa semua kosakata. Laki-laki ini sudah berbuat lancang. Bukannya minta maaf malah mengajak nonton. Langkahnya berhenti. Dia sedang berburu pria, bukan? Randu sepertinya cocok menjadi target pembalasan dendam. Mana ada pria baik-baik menggenggam tangan lawan jenis tanpa permisi?

Randu menyodorkan helm yang segera diterima Elena. Jika seorang perempuan diam, artinya dia setuju. Itu kan yang dikira banyak orang? Padahal belum tentu. Bisa saja si gadis bingung.

Elena tahu persis, jika bertanya pada Katya, pasti sobatnya akan langsung bersorak menyemangati. Elena bukanlah Katya. Dia tidak biasa mempermainkan perasaan atau hubungan, meskipun diakuinya membuat jera seorang pria hidung belang sangat menarik.
Randu memundurkan sepeda motor tua miliknya. Dengan sigap dia mengeluarkannya dari gerbang kantor lalu menyalakan mesin.

“Makasih, Pak.” Lelaki itu melambaikan tangan pada satpam perusahaan lawannya.

Elena naik ke boncengan motor lalu berkata, ”Jangan ngebut, Bang.”

Sumpah mati, Elena belum siap dengan dating. Sementara motor Randu mengarungi aspal, ingatan Elena terbang pada kenangan film terakhirnya dengan Rimba. Mantannya, telah bahagia dengan Cantika. Mungkin putri Jenderal bintang tiga itu lebih pantas bersanding dengan lelaki yang pernah membuatnya jatuh cinta setengah gila. Susah payah, Elena membuang kenangannya akan Rimba. Perjalanan tidak terlalu lama bagi Randu namun terasa seabad bagi Elena. Kali ini dia lebih waspada agar tidak tersakiti untuk kedua kali. Tujuan Randu adalah Cipinang Indah Mal.

“Ya udah, lo pilih mau nonton film apa. Gue nggak ngerti dunia beginian,” ucap Randu sambil menggantungkan helm mereka berdua di setang motor. Keduanya melangkah bersisian menuju pintu masuk. Bangga, satu kata yang menghiasi hatinya. Kerut halus di kening pria itu mendadak hilang karena menggandeng gadis muda.
Elena teringat misi bersama Katya yang sudah mulai menulis kisah percintaan abal-abalnya dengan Randu sejak acara ngopi di Pasar Santa. Elena tidak mau membawa pria baik-baik ke dalam permainannya. “Kapan terakhir kali nonton?” Elena mencoba mengorek informasi.

“Hampir dua tahun yang lalu kayaknya, sama Asih.” Randu tak ingin menutupi apapun, ditambah dia ingin tahu reaksi Elena. Perempuan itu menatapnya, menunggu. “Dia mantan kesebelas gue.”

Elena mengangguk. Dia penasaran, perempuan seperti apa yang bisa jadi pacar Randu?

“Dulu gue suka nyoba deketin cewek buat nantang diri sendiri. Bisa atau nggak. Namanya juga masih muda, kepingin iseng aja.” Randu terkekeh. “Pas SMA, ada namanya Mbak Tuti. Dia admin di sekolah. Perawan tua. Iseng, gue pacarin. Soalnya galak.”

Randu membuka diri hingga bagian paling pribadi. Dia pun mengharapkan keterbukaan yang sama. Namun, Elena tetap mengunci rapat mulutnya. Sangat misterius, sekaligus menggoda.

“Kalau lo, kapan terakhir kali nonton?” Randu bertanya karena tak mendengar tanggapan Elena.

Sejak putus dari Rimba, Elena malas ke bioskop. “Kemarin, nonton DVD film lama,” sahut gadis itu.

DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang