Bab 9a

401 50 3
                                    

Menunggui seseorang dibedah ternyata sangat menegangkan. Pikiran-pikiran buruk terlintas begitu saja. Elena tidak sempat mencuci tangan. Dia tidak mau melewatkan kabar apa pun soal penyelamatnya. Dalam pelukan Katya, Elena sempat menangis sambil memandangi tangannya yang memerah. Dia merutuki dirinya berkali-kali. Andaikan saja, andaikan saja, andaikan saja.

Dalam ketidak pastian, sesosok tubuh berpakaian serba hijau dengan setengah wajah tertutup masker, keluar. “Keluarga pasien Randu?” tanya Dokter Imelda Sp. B, dokter bedah yang mengoperasi Randu setelah melepaskan maskernya.
Elena berdiri bersamaan dengan Ros, Ambar, Katya, Fadli, Gading, dan Firman.

“Ya, Dok?” sahut Ross. Sebagai direktur, dia merasa bertanggung jawab dengan keselamatan anak buahnya. Apalagi, pengacara di Optimus sudah dianggapnya keluarga.

“Pasien sudah berhasil diselamatkan. Lukanya akan segera sembuh.” Senyum Dokter Imelda melegakan semua orang di situ. Fadli mengepalkan tangan dengan ekspresi senang. “Tidak ada organ vital pada Pak Randu yang tertembak, sehingga kemungkinan pulihnya akan cepat,” ucap Dokter itu lagi. “Untung tadi luka Pak Randu ditekan, hingga tidak terlalu banyak darah keluar.
Hipotermia atau keadaan suhu tubuh yang anjlok di bawah 35 derajat celcius sangat berbahaya. Pada pasien luka tembak, hipotermia menjadi penyebab utama kematian.” Secara tidak langsung, dokter itu memuji kesigapan Elena.

Syukurlah keadaan kritis telah lewat. Kini Randu berada di ruang ICU untuk dipantau. Fadli, Ross, Ambar, Gading, dan Firman berdiri membentuk lingkaran di depan Elena yang duduk.

Well, kelihatannya Randu sudah selamat. Kita bisa bernapas lega.” Aksen cadel Ross menenangkan.

“Ross, aku mesti ke Polres. Bu Emi ditahan.” Ambar menunjukkan pesan di WA. Biarpun teman hampir dijemput malaikat maut, kewajiban menegakkan hukum harus tetap terlaksana. Ross mengangguk paham. “Gue tinggal, El,” katanya seraya meremas bahu Elena.

Gading mencolek Firman. “Ikut gue ke loket. Kita urus administrasi Randu.” Lalu keduanya beranjak dari situ.
Katya masih bersama Elena yang tak sesaat pun meninggalkan Randu.

“Saya nunggu Bang Randu di sini,” Elena berkata pada Ross dan para pengacara di situ.

Ross mengangguk. “Saya rapat bersama LBH lain, membahas perubahan KUHP. Jadi saya tinggal dulu. Nanti sore atau besok, saya jenguk lagi.” Mata hijaunya bersorot tenang, meredakan kecemasan Elena.

Fadli memiliki pekerjaan lain. Namun Randu adalah temannya sejak kuliah. Hampir dua puluh tahun mereka selalu bersama. “Aku juga mau nunggu Randu, Ross.” Kalimat barusan membuat Katya senang setengah mati.

“Fine. Saya duluan kalau begitu. Kalau ada yang penting, contact me as soon as possible,” kata Ross pada Fadli dan Elena.

Keduanya mengangguk setuju. Ruang tunggu berdinding putih itu pun sontak ditinggalkan para pengacara. Hanya tersisa Fadli, Elena, dan Katya.

“Kita makan dulu, El, Kat. Yuk,” ajak Fadli karena jam sudah menunjukkan pukul satu lebih.

Katya tak menyangka sebuah kesempatan langka datang lagi. Fadli mengajak makan di kantin rumah sakit. Untuk sekali ini, ingin diusirnya Elena agar tak mengganggu.

Kantin rumah sakit dipenuhi dokter mengenakan jas putih yang tampak menikmati makan siang mereka. Beberapa pasien rawat jalan dan para penjenguk ada yang memesan makanan. Di antara kios-kios makanan, ada dua yang disesaki pembeli. Kios masakan padang dan soto mie. Elena sedang tak punya tenaga untuk mengunyah dan terlalu malas berdiri di barisan antrian. Karena itu dia memilih bubur ayam, sementara Katya mengekor Fadli antri di kios masakan padang.

“Suka ayam pop, Mas?” Alis Katya bertaut. Dia duduk sambil meletakkan nampan berisi gulai kepala kakap plus daun singkong tanpa kuah di meja makan. Katya sangat menjaga bentuk tubuh.

“Lumayan. Paling enak ayam pop dekat Optimus tuh.” Lelaki itu duduk menikmati makan siangnya bersama Elena dan Katya.

“El,” panggil Fadli pada Elena yang menyuapkan bubur ayam tanpa semangat. Gadis itu mendongak. “Belum pernah Randu rela ditembak gini.” Fadli sempat-sempatnya bercanda padahal sahabatnya belum siuman.

“Biasanya nembak ya, Mas?” Pertanyaan Katya sukses mendapat hadiah cubitan dari Elena.

“Awww! Sakit, Darling.” Katya memberikan tatapan memelas pada Elena. Sobatnya itu memelototi Katya, membuat Fadli terkekeh pelan melihat ulah keduanya.

“Kalau Mas Fadli rela nggak ditembak demi seorang cewek?” tanya Katya.
Elena menunduk, menghitung suwiran ayam di mangkok. Rasa panas karena malu menjalari wajah. Betapa gila Katya memancing dengan pertanyaan itu.

“Pasti rela kalau gue sayang sama ceweknya.” Fadli dengan cerdasnya memakan umpan Katya. Randu tidak mungkin sekedar main-main jika rela mengumpankan diri pada bahaya. Atau mungkin juga sobatnya itu mengerahkan segenap totalitas untuk memenangkan permainan ini.
“Randu pernah kehilangan bapak dan ibunya. Lima tahun lalu, kedua orang tuanya meninggal dibacok begal. Dia nggak bisa maafin diri sendiri karena saat itu sedang tugas ke luar kota.” Sebagai teman lama Randu, Fadli cukup paham kondisi sobatnya. Meskipun dalam hati dia mengakui Elena cukup menarik, Fadli menganggap taruhan untuk tidur dengan gadis itu hanya sebuah permainan. Tidak dengan Randu yang terlalu serius. “Gue yakin kali ini, dia nggak mau mengulangi hal yang sama. Dia ingin melindungi orang yang dekat di hatinya.” Lelaki itu menatap sungguh-sungguh pada Elena.

🌹🌹🌹🌹🌹

Gimana bab ini? Vote dan komen yang banyak. Sampai ketemu Senin depan!

 Sampai ketemu Senin depan!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang