Randu melewati daerah yang cukup sepi. Berbatasan dengan taman kota yang ditumbuhi pephonan besar, jarang sekali pengguna jalan melewatinya.
“Gue sering menghindari macet, makanya lewat sini. Jam pulang kantor begini parah.” Motor tua Randu sudah sehat saat dia mengambilnya di bengkel Koh Aciau sepulang dari persidangan dan jalan-jalan ke Pasar Santa bersama Elena.
Elena otomatis mencengkeram bagian belakang jok motor boncengannya. Kalau tidak terpaksa, dia lebih suka menggunakan rute biasa. Tampaknya Randu senang berpetualang.
Karena diamnya Elena, Randu bertanya pada Elena, “Tadi lo bilang bisa masak?” Perempuan zaman sekarang sangat jarang bisa masak.
Elena membuka kaca helm agar lebih leluasa menyahut, “Bang Randu sukanya makanan apa?”
Sejak ibunya meninggal, Randu begitu merindukan masakan ini. Tidak ada yang bisa menandingi kelezatannya. Dulu ibunya sering memasak ketika nilainya bagus atau ulang tahun. Sayangnya, Randu lebih sering mendapatkan nilai jelek.
“Sop iga. Bisa?”
Merasakan sikap Randu yang begitu baik padanya seharian ini, Elena tak akan menampik permintaan itu. “Yah, gampanglah kalau sop aja.”
Randu terbahak. Bisa sombong juga Elena Mazaya. “Ya udah, gue tunggu masakan gampang lo.”
Tidak mengantarkan Elena sampai rumah karena harus mengembalikan dokumen yang dibawanya, Randu mengarahkan motor ke LBH Optimus.
Elena baru saja melepaskan helm ketika mendengar panggilan, “El.” Katya melambai dengan gerakan ala Putri Charlene dari Monako. Mudah ditebak Katya mendadak anggun karena berhadapan dengan Muhammad Fadli. Pengacara senior yang menurut mata Katya ganteng luar biasa.
Dasar Katya!
“Kit-Kat.” Elena menaiki undakan yang membatasi parkiran dengan teras. “Bentar ya, gue balikin ini,” katanya sambil menunjuk dokumen tebal yang dibawanya.
“Sidang gimana, Man?” Fadli mengepulkan asap rokok. “Lancar jaya, kan?”
“Beres. Minggu depan putusan.” Randu mengembalikan toga Fadli ke laci.
Keterkejutan Elena bertambah ketika keluar lagi ke teras, Katya menyapanya dengan suara dibuat-buat.
“El, aku sudah nunggu kamu dari tadi.” Suara Katya yang biasanya sama berisik dengan botol jatuh dari lantai sepuluh, secara drastis berubah mendesah mirip kucing manja. Sampai sakit perut Elena melihatnya.
Dasar Katya!
“Karena nggak balik-balik, aku sama Mas Fadli nyari makan deh.” Suara manja Katya masih bertahan.
What?!
Mas Fadli? Mesra sekali dia menyebut kata itu. Elena mencuri pandang pada Fadli. Tidak bereaksi, pria incaran Katya tetap asyik merokok di ambang pintu.
“Kok kamu lama sih, El? Kata Mas Fadli jam empat paling lambat sidang sudah selesai. Ini sudah hampir setengah sepuluh, lho. Ke mana aja?” Katya merajuk.
Elena ingin mencubit sobatnya supaya bertingkah normal seperti biasa. Seekor tokek melintasi ujung sepatu Katya. Elena membayangkan menjumput reptil tadi lalu meletakkan di kepala Katya. Mungkin kewarasan Katya bisa kembali. Kalau Revan tahu Katya menggoda Fadli, wah....
“Gue ngopi sama Bang Randu. Terus makan malam. Lo udah makan?” Elena membiarkan si tokek kabur, menghilang di balik tumpukan daun sisa bakaran Mang Karyo.
Katya tahu Elena memperhatikannya. Namun, manik matanya terlalu bandel untuk tidak terus-terusan menelusuri sosok jangkung terbungkus kemeja kuning gading.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEVILS INSIDE
Любовные романыAda dua tipe manusia yang bekerja di LBH Optimus. Pertama, orang yang berdedikasi tinggi pada kemanusiaan. Kedua, jenis manusia frustrasi yang tak kunjung mendapat pekerjaan. Randu Tio Hariman merupakan gabungan dari keduanya. Sejak Elang berkhiana...