Bab 24a

85 13 1
                                    

Elena duduk dengan sikap formal di ruang kerja LBH Optimus. Di depannya, Randu menghunus dengan tatapan tajam, namun Elena tetap tenang. Telah berbulan-bulan mereka berpisah, sekarang bertemu dalam keadaan begini. Jika dengan orang lain Randu sudah meluapkan emosi, Elena membuatnya tak tahu harus melakukan apa.

Karena Elena, Randu kehilangan segala ilmu menggoda lawan jenis. Kaum Hawa selain Elena tak menarik hati lagi. Beribu kali dia memikirkan itu. Apakah Elena mengguna-gunanya? Tapi buat apa? Atau bibir Elena mengandung sejenis racun hingga otaknya jadi setumpul pisau berkarat? Dan mata bersorot lembut itu ternyata adalah samudera tempat segala rahasia hati tersimpan. Misteri yang membuat Randu ingin menguaknya. Belum lagi sensasi lembah kenikmatan Elena. Meski baru mencicip beberapa kali, Randu sakaw dibuatnya.

Dari sekian alasan egois demi kepuasan seksual, Randu juga mengkhawatirkan Elena. Bagaimana perempuan selembut itu bisa menjaga diri, terlebih setelah pria terdekatnya kini dipaksa menjauh karena masalah hukum?

Randu adalah nama pohon besar dengan segudang manfaat. Filosofi itu membuat orang tuanya memilih sebagai nama. Sejak Elena meninggalkannya, Randu merasa hidupnya sia-sia. Dia mulai mempertanyakan, kenapa bisa bermanfaat bagi orang lain, sementara gagal menjaga orang yang mengisi hatinya? Meski hatinya remuk redam, Randu tidak bisa menangis. Andaikan dia, Fadli, dan Gading tak melakukan kebodohan.

"Jadi ini semua berkas-berkas punya Papa. Perkaranya masih di penyidik. Tapi saksi kunci belum bisa hadir karena ziarah ke Yerusalem." Penjelasan Elena memecah pikiran Randu. Suara merdu penuh ketegaran lolos dari bibir tanpa pulasan lipstik, membuat Randu ingin memeluk pemiliknya.

Cara Elena bicara sangat sopan, resmi, dan baku. Seperti kepada atasan, bukan kekasih. Mungkin benar mereka tidak perlu bertemu dulu jika pertemuan itu menyakitkan. Elena tidak memperlihatkan amarah. Justru itu yang memedihkan. Dia dingin. Tak ada kehangatan seperti dulu.

Randu tak henti menatap perempuan di depannya. Hubungan mereka sekarang apa? Pacar? Mantan pacar? Klien dengan pengacara? Senior dengan yunior? Serba tidak jelas.

"Penyidik kasih penasihat hukum kan?" tanya Randu tanpa mengalihkan manik hitamnya dari obyek taruhan. Sang obyek telah mengubah hati, pikiran, sekaligus hidupnya.

Elena mengangguk.

"Papa kamu dipukuli polisi?"

Elena menggeleng

Randu membaca satu persatu dokumen di atas meja.

Surat penangkapan ada. Surat penahanan ada. Bukti permulaan cukup. Pasal persangkaan ada," Randu menggumam sendiri.

Ambar, Fadli, dan Gading jadi ikut tidak nyaman dengan aura yang ditimbulkan. Masalahnya mereka tidak bisa memarahi Elena. Sikapnya dan pakaiannya terlalu santun. Berkas yang dibawa rapi. Bagaimanapun Elena pernah magang di sana jadi tahu teknik pemberkasan perkara.

"Polisi sekarang hati-hati kerjanya, Man. Susah mau pra peradilan," Fadli yang sedari tadi hanya mengawasi, akhirnya buka suara. "Eh tadi lo bilang saksi kunci di Yerusalem. Siapa saksi kuncinya?"

"Om Chandra Atmadja, komisaris sekaligus pemegang saham PT SUCK. Om Chandra juga investor di perusahaan baru Papa. Dia yang berkomunikasi dengan pihak China untuk import forklift. Dia sebenarnya yang impor forklift dari China pakai nama Papa, karena Om Chandra jarang di Indonesia. Seringnya tinggal di Singapura." Elena menyesal menyesal tidak mendampingi ayahnya untuk mengurus bisnis barunya. Dia merasa menjadi anak durhaka.

Fadli bangkit dari kursinya lalu duduk di meja. "Lo tau, El, feeling gue si Chandra Atmadja ke Yerusalem terus kabur ke Israel. Kita nggak punya hubungan diplomatik sama negara itu karena kita mendukung Palestina. Akibatnya, kita juga nggak punya perjanjian ekstradisi dengan Israel. Jadi buronan-buronan kita bisa kabur ke Israel tanpa bisa dibawa pulang ke sini."

Elena tidak bereaksi. Dia tahu manusia sekelas Chandra Atmadja bisa saja memperoleh paspor palsu dari pasar gelap. Bahkan dia bisa pindah kewarganegaraan semudah mengorek kotoran hidung.

Randu mengamini bahwa Elena adalah perempuan paling angkuh yang dia kenal. Bahkan dalam keadaan gawat seperti ini pun dia tak menangis. Hebatnya perempuan itu kini mengulas senyum tipis.

"Lalu bagaimana?" tanya Elena formal.

"Bukti-buktinya jelas. Nama penerima barang adalah papa lo. Gue kasih tahu sisi buruknya, tapi lo jangan shocked. Pemerintah sedang berkomitmen memberantas narkoba. Jadi, kita hanya bisa menunggu mukjizat," urai Randu. Narkotika bukan spesialisasinya. Namun sedikit banyak, dia paham masalah ini.

"Baiklah kalau begitu. Jadi?" tanya Elena lagi.

"Jadi kita usahakan yang terbaik." Randu mengetik surat kuasa dengan cepat lalu menge-print-nya. "Kita ke rutan tempat Papa lo ditahan. Gue perlu tanda tangan beliau di surat kuasa."

***


DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang