BAB 3A

667 81 3
                                    

Randu menganggap segala jenis perempuan, termasuk Elena, hanyalah sebuah sarana melepas penat seusai kerja. Lembah kenikmatan macam apa yang belum pernah dicobanya? Mulai dari milik perawan, istri orang, juga janda, semuanya pernah. Bukan Randu namanya kalau membuang anugerah Tuhan. Ross memberikan tempat bagi Elena di seberang mejanya supaya memudahkan komunikasi sekaligus kerja sama. Bukan cuma curi-curi pandang, melainkan comot-comot pandang, rakus sekali mata Randu melahap Elena.

Kalau cewek gahar macam Asih saja bisa gue taklukkan, nggak mungkin gue gagal menaklukkan El.
Asih, mantan terakhir Randu termasuk gadis tomboy. Menguasai olahraga wushu – terutama jurus changquan – membuatnya mampu menyerang sambil meloncat dan salto. Tipe seperkasa itu pun mampu bertekuk lutut, menyerahkan lembah kenikmatannya dijamah Randu. Apalagi cuma perempuan gampangan macam Elena.

Alih-alih pedekate dengan cara 'normal' seperti mengajak nonton atau ke mal ― yang sangat jarang dilakukannya saat pedekate dengan perempuan karena dia benci tempat itu ― Randu justru memberikan dokumen perkara PT SUCK melawan para pekerjanya. Luar biasa tebal untuk Elena. “Baca tuh dokumen, bikin kronologis peristiwa dalam format Word!”

“Baik, Bang.” Elena tak kelihatan membangkang atau memberontak. Tidak menampakkan tanda-tanda bertingkah genit atau mengedip ganjen.

Randu langsung balik ke laptopnya sok sibuk. Sebenarnya dia ingin memandangi makhluk Tuhan paling seksi di ruangan itu, tapi ditahannya mati-matian sampai bulir-bulir keringat sebesar biji pete mengalir.
Player macam Randu ingin gadis itu terhina karena merasa diabaikan, bersikap agresif, menggelendot, memohon demi mendapatkan perhatian pria lalu pada akhirnya melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Dia pikir Elena akan menggoda kaum adam dengan kemolekannya. Ternyata bunga beraroma harum bernama Elena Mazaya tak melakukan apa pun untuk menarik perhatian para kumbang di situ. Elena membaca dengan tekun dan mengetik di PC tanpa sedikit pun melepaskan tatapan dari dokumen yang diberikan Randu. Bahkan bersuara pun tidak.

“El!” panggil Randu.

Seolah ada paku di leher gadis itu sehingga dia tak menoleh.

“El!” Randu sudah mengeraskan suara, anehnya yang dipanggil masih menunduk.

“Jangan-jangan tidur,” gumam Randu.

Tadinya Randu berniat membuat Elena penasaran. Sekarang malah dia yang penasaran. Didatanginya si anak magang. “El, tidur lo?” Ditepuknya pelan lengan Elena yang ditumpangkan di atas meja kayu.

Gadis itu mendongak. Mukanya kelihatan seperti baru saja kembali dari piknik ke dunia lain. “Nggak kok Bang, ini lagi baca.”

Randu dibuatnya merasa bersalah karena membuyarkan konsentrasi. Fadli dan Gading terkekeh melihat tingkah Randu. Bukan hanya Ambar yang hafal kebiasaan Randu, Fadli yang sudah kenal Randu sampai berdebu tahu modus sahabatnya.

“Jangan serius-serius, El. Bosenin dokumen yang lo baca. Adanya riwayat kerja buruh doang,” Gading terang-terangan mengejek. Sejak awal Elena diperkenalkan Ross, kepalanya langsung menjelma jadi radar yang mengikuti ke mana pun Elena bergerak.

Randu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. “Lo, harus kelarin dokumen yang gue kasih itu dua hari. Di sini kerja harus cepat, jangan lelet.” Tak digubrisnya candaan Gading. Tampangnya dipasang lempeng serupa jenderal memerintah anak buah. Jaga wibawa itu perlu.

“Adukan aja ke Ross kalau dia kelewatan, El. Tim gue juga butuh orang macam lo,” timpal Fadli dari balik komputer, separuh sungguh-sungguh berniat gadis itu pindah, separuh kepingin usil pada Randu. Elena menanggapinya dengan senyum tanpa suara.

“El, hati-hati sama mereka bertiga,” Ambar memperingatkan Elena seolah tidak membicarakan hal penting. Dalam hati bertanya-tanya, apa niat anak magang itu mengenakan busana seperti mau ke kondangan piala Oscar.

Ketika jam makan siang tiba, suasana di LBH Optimus mendadak riuh. Jika biasanya para pengacara LBH memilih makan di luar, kali ini tidak. Hanya Ambar dan Firman yang tetap makan di tempat lain, sementara tiga orang pria lain makan bersama di kantor. Semua karena Elena yang membawa bekal dari rumah. Dia tidak menyuruh para pengacara makan bersama, namun ketiganya mau sendiri.

“El, bawa lauk apa lo?” Gading terang-terangan memulai serangan gencarnya. Dibukanya bungkusan nasi rames yang dibeli di warteg dekat kantor. Tak pernah terbayang di benak Gading bisa berduaan dengan gadis cantik, di taman belakang kantor.

Casuarina equisetifolia alias cemara laut yang dibentuk mirip bonsai oleh Mang Karyo, office man merangkap tukang kebun, bergoyang gemulai. Gemercik air dari kolam berisi ikan wakin menambah kesegaran. Ikan-ikan belang putih-merah itu berenang hiperaktif, selincah jantung Gading yang serasa mau loncat dari dada. Sejak tadi angin lembut membelai mereka berdua.
Mengirimkan aroma parfum Elena ke hidung Gading. Sayang, menu makan mereka berdua kurang romantis.

“Oh ini, lauk semalam, Bang. Cap cay sama rollade,” Elena menyahut sambil memotong rollade.

Gading melirik menu di hadapannya. Nasi, tempe goreng, semur jengkol, dan sambal goreng kentang. Miris. Padahal Hotman Paris Hutapea mungkin sedang makan siang di The Cafe Hotel Mulia yang harganya sekali makan sama dengan harga makan siang Gading selama dua bulan.

“Lo yang masak?” Gading berusaha memperpanjang obrolan.

Elena menggeleng. “Ibu saya yang masak, Bang. Beliau buka katering.” Suara merdu gadis itu menambah jelita parasnya.

Tengah asyik mengobrol, Randu masuk mengganggu keduanya dengan pertanyaan, “Ngobrolin apa nih?”

Dua buah kantong plastik putih berisi nasi padang untuk dirinya dan Fadli berkeresak. Fadli menyeret sebuah kursi dari dalam agar bisa ikut duduk di taman. Kursi taman sudah penuh diduduki tiga orang.

“Ngapain kalian makan di sini?” Gading tak menutupi rasa terganggunya.

“Sejak kapan taman ini jadi wilayah teritorial lo seorang?” Fadli mendudukkan pantat bercelana cokelatnya ke kursi sambil mulai membuka bungkusan coklat berlapis kertas putih bertabur logo restoran padang. Sepotong ayam pop dan daun singkong menemani gundukan nasi.

Randu mengambil tempat di sebelah kanan Elena, sementara Gading di sebelah kirinya, membuat gadis itu terapit dua orang pengacara.
“Pintar juga lo milih lokasi makan siang,” ejek Randu.

Gading, kita memang sobat sudah lama, Man. Tapi gue harus memenangkan taruhan ini. Randu tersenyum mendengar hatinya berbicara.

Gading mencibir. Dia bisa menebak isi otak temannya. Untuk sesaat mereka berempat asyik mengunyah makanan masing-masing sampai Fadli memecah kesunyian. Dia bertanya, “El, menurut lo kenapa adanya burung gereja, nggak ada burung masjid?”

“Halah..., nggak lucu tuh,” Gading menimpali.

“Ya karena lo sudah tahu jawabannya. Lo tahu nggak, El?”

“Nggak tahu.” Gadis itu jujur.

“Karena burung kalau mau masuk masjid mesti disunat dulu!” Fadli tertawa dengan leluconnya sendiri. Ditunggunya Elena tertawa. Tak ada suara terbahak heboh seperti yang diharapkan. Obyek taruhan para pengacara itu cuma tersenyum misterius sambil menggeleng-geleng lembut. Disendoknya nasi dan wortel.
Di sela obrolan para pengacara yang mengerubungi Elena, office man LBH Optimus masuk ke taman membawa nampan berisi gelas teh. “Teh manis?” Mang Karyo memindahkan gelas dari nampan ke meja.

“Iya punya saya, Mang,” jawab Randu otomatis setelah menelan nasi padangnya.

“Saya juga deh, Mang. Minta teh hangat,” pinta Fadli karena merasa kerongkongannya seret.

Mang Karyo melirik Elena sekilas, kemudian mengalihkan pandangan karena takut zina mata. “Manis atau tawar, Pak Fadli?” tanyanya sambil mengucapkan istighfar dalam hati karena tergiur sensualitas Elena.

“Nggak usah manis-manis, yang penting setia,” sambar Randu.

“Tawar aja, Mang,” Fadli menjawab daripada Randu makin cengengesan.
Heran, kenapa Randu mendadak kerasukan roh Dono-Kasino-Indro? Mau jadi pelawak dadakan di depan Elena? Tumben sobatnya salting begini. Biasanya di depan anak baru dia jaim.

Senyum Elena semakin mengembang. Begini rasanya jadi gadis cantik yang dikelilingi pria. Pantas para remaja, gadis muda, sampai perempuan paruh baya rajin ke salon menjalani berbagai macam perawatan. Demi perhatian ini! Untuk pertama kali, Elena merasa jadi primadona di panggung Broadway yang disorot lampu.

***

DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang