Bab 17

177 23 1
                                    

Bakal ada adegan hot. So, enjoy!


***


Ada salah satu kutipan dari Paulo Coelho yang sangat diingat Elena, 'If you're brave enough to say goodbye, life will reward you with a new hello'. Let's say, kita sudah berani mengucapkan selamat tinggal pada orang yang pernah mengisi hati kita. Tetapi semudah itukah untuk mengucapkan 'hello' pada orang lain? Tak adakah ketakutan akan terjadi hal menyakitkan lagi?

Iwan Fals menyanyi di ponsel Elena. Tertera tulisan JANGAN DIANGKAT. Artinya dari Randu. Kali ini Elena nekat, diangkatnya telepon itu. "Ya, Bang?" Bahkan mendengar suara lelaki itu saja, Elena gelisah.

"Udah tidur?" Suara berat Randu lembut membelai telinga Elena.

Elena meraih bantal di ranjang untuk dipeluk, membayangkan Randulah yang dia dekap. "Belum." Direbahkannya diri di kasur, mamandangi dinding kamar. Foto ceria saat dirinya mengenakan toga di hari wisuda tergantung di dinding. Kedua orang tuanya tersenyum bangga karena selempang Cum Laude melintangi tubuh Elena. Foto Rimba yang membawa buket bunga telah diguntingnya.

"Tidur, El. Jangan kemalaman, nanti berjodoh sama panda." Lelaki di seberang sana terkekeh pelan.

"Kok?" Alis Elena bertaut bingung.

"Kalau kurang tidur, ada lingkaran hitam di mata, persis panda. Kata orang, kalau yang mirip artinya jodoh," sabar sekali Randu menjelaskan.

Tak mampu tersenyum karena semakin bingung, Elena diam saja.

"Garing ya?" tanya Randu.

"Iya, Bang. Garing banget," Elena mengiakan hingga Randu tertawa.

"Tidur ya, El," ucap Randu. Baru saja akan menutup telepon, pria itu menambahkan, "Gue yakin lo akan mimpiin gue." Hingga pipi Elena merona merah. Percakapan mereka pun berakhir.

Baru tadi siang Elena dan Randu menghabiskan waktu makan siang berdua―makan siang ya, bukan malam malam romantis di tepi pantai―dilanjutkan Randu memberikan hadiah yang memang Elena harapkan. Betul, hadiah itu bukanlah kalung solitaire atau tiket liburan ke Maladewa. Hanya sebuah dompet rajut yang harganya pun tak sampai juta-jutaan. Berlanjut dengan belajar membatik segala. Baru beberapa jam tidak berjumpa rasanya hampa. Elena merasakan sikap Randu berbeda kali ini, tidak mendesak, mengumbar maskulinitasnya atau mendominasi. Randu membiarkan Elena memutuskan sendiri. Menunggu.

Mungkinkah Randu cuma iseng? Kalau dia hanya dijadikan obyek percobaan seperti bakteri di cawan petri, bukankah Randu tidak perlu mengeluarkan uang untuk menraktirnya? Atau itu juga triknya untuk bersenang-senang?

Meski hatinya belum yakin, Katya yang lebih berpengalaman dalam percintaan juga sudah menyindirnya. Dia mengatakan bahwa Elena jatuh cinta. Sebuah rasa yang menyebabkan dadanya berdenyut nyeri ketika berjauhan dengan Randu. Waktu yang dilaluinya tanpa mendengar suara lelaki itu sungguh menyiksa. Haruskah dia cerita pada Katya? Atau cukup disimpannya sendiri?

Elena tak bisa tidur. Dicarinya file video tempatnya menyimpan rekaman persidangan Randu. Berjam-jam dia menonton, berharap kantuk segera datang. Semakin lama menonton, Elena semakin tak tahan. Dimatikannya video, lalu memutar playlist di ponsel. Lagu itu, yang dijadikannya ringtone, membahana. Diliriknya jam dinding. Dosakah dia sebagai perempuan mendatanginya? Mendatangi sosok yang hanya bisa memuaskan dahaga rindunya melalui lagu Iwan Fals?

Ditepisnya pikiran idiot itu. Tapi dia sungguh tak bisa tidur. Lagu itu sudah berkali-kali diputarnya sampai Iwan Fals sendiri pun pasti bosan mendengarnya.

DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang