BAB 5A

486 60 6
                                    

Rudi Haryanto sudah sembilan tahun bekerja di PT Elektronika Esa Karya, salah satu perusahaan di mana Chandra Atmadja memiliki saham mayoritas. Karena sering sakit, atasan Rudi ingin memecatnya tanpa pesangon. Menghalalkan segala cara, atasannya menyuruh salah seorang karyawan memasukkan laptop inventaris kantor ke dalam ransel Rudi. Jika tidak mau dilaporkan ke polisi, lelaki itu harus mengundurkan diri dengan mengikhlaskan hak-haknya.

Satu lagi masalah hak pekerja yang membuat Randu berpikir ribuan kali mengundurkan diri dari LBH. Banyak Rudi lain di luar sana yang menolak diajak ‘bekerja sama’ sehingga harus mendekam di jeruji besi karena kesalahan yang tidak pernah diperbuat. Hari ini adalah sidang dengan agenda sidang nota pembelaan terdakwa.

“OK Bos, kita mulai jam tiga ya. Habis narkotik. Tanggung replik doang,” Pak Aditya, jaksa penuntut umum yang menangani perkara Rudi menyampaikan. Jaksa itu berdiri di samping bangku kayu panjang sambil menenteng toga hitam.

Suasana pengadilan pada hari sidang selalu dipenuhi tersangka, keluarga mereka, dan juga pengacara. Para penunggu saling mengobrol, menceritakan nasib buruk yang menimpa kerabat mereka. Para pengacara keluar masuk gedung pengadilan mengurusi klien.

Pengacara law firm dan LBH mudah sekali dibedakan. Jika mengenakan kemeja rapi, sepatu mahal, bahkan aksesoris, maka bisa dipastikan berkantor di law firm mentereng. Sedangkan Randu hanya mengenakan kemeja batik berusia setahun dengan sepatu disemir sendiri sebelum berangkat. Soal merk pun tidak dipusingkannya.

Randu mengiakan. Diliriknya Swiss Army hadiah ulang tahun dari ibunya sepuluh tahun lalu. Semoga Firman mendapatkan yurisprudensi apapun untuk perkara buruh PT SUCK. Randu ingin para mantan pekerja yang dibelanya mendapatkan seluruh hak.

Denting piano kala jemari menari
Nada merambat pelan di kesunyian malam
Saat datang rintik hujan
Bersama sebuah bayang yang pernah terlupakan

Iwan Fals bernyanyi di smartphone Randu. Orang yang dipikirkannya menelepon. Untuk menjawab telepon, dia menjauh dari Elena dan istri Rudi yang duduk di bangku pengunjung. Sejak tadi Elena menyaksikan Randu berbincang dengan istri Rudi. Mendengar suara baritonnya memberi nasihat hukum tanpa dibayar telah menyalakan lampu kekaguman Elena. Lampu itu mulai bersinar lembut. Bukan cahaya berpendar menyilaukan, hanya sebuah filamen tipis namun sanggup mengusik hatinya.

Randu bukanlah tipe pria favorit Elena dari segi penampilan karena tidak rapi, tidak kelimis, dan sangat cuek. Namun, kenyatannya Elena tanpa henti mengamati gerak-gerik Randu. Bagaimana cara pria itu memindahkan tangan dari saku celana ke pinggang, bagaimana alis tebalnya bertaut, membuatnya kentara. Randu sedang marah-marah. Elena buru-buru mengobrol dengan istri Rudi ketika melihat Randu kembali dari menerima telepon Firman.

“Ke ruang sidang,” Randu mengajak Elena dan istri Rudi masuk ke ruang sidang.

Di dalam ruangan itu Rudi sedang duduk bersama terdakwa lain di bangku panjang dengan tangan terborgol. Pakaian putihnya dilapis rompi merah tahanan. Elena, Randu, dan istri Rudi duduk dekat Rudi.

“Kamu sudah siapkan pledoi terdakwa?” tanya Randu pada Rudi.

Jika para koruptor bisa melambai ke kamera dengan senyum tak tahu malu, tidak demikian dengan Rudi. Rasa bersalah menggerogotinya.

Andaikan dulu mau saja mengundurkan diri tanpa pesangon, mungkin dia sedang bersama istrinya menunggu kelahiran anak pertama. Kini di ruangan berkipas angin, Rudi menunggu nasibnya diputus Yang Mulia Majelis Hakim.

Susah payah merogoh saku celana dengan tangan terborgol, Rudi menggapai kertas A4 lusuh dengan tulisan cakar ayam kepada Randu. Pledoi terdakwa yang dia buat. “Iya. Siap, Pak.”

“Nanti baca pledoi kamu sungguh-sungguh. Jangan cengengesan,” Randu mengarahkan kliennya.

“Lanjut perkara Rudi Haryanto,” panggil Ketua Majelis setelah persidangan perkara narkotika selesai. Randu segera mengenakan toga hitam dan dasi putihnya. Pemandangan yang membuat perasaan aneh menjalar dalam diri Elena. Demi menenangkan jantung yang dari tadi seolah protes karena melihat sosok yang sangat ‘laki-laki’, dirinya pura-pura sibuk mengeluarkan dokumen dari map. Diserahkannya kertas-kertas itu pada Randu.
Pak Aditya mendatangi Rudi lalu membuka borgol dan menyuruh sang terdakwa duduk di kursi pesakitan. Orang kecil seringkali menjadi tumbal keserakahan orang besar. Randu sangat membenci kenyataan ini.

“Sudah siap ya pledoinya? Baca yang penting saja. Nggak usah semuanya dibaca. Bisa begadang kita di sini. Kayak lagunya Rhoma Irama itu,” lanjut Hakim Ketua.

Telah bertoga pengacara, Randu maju ke kursi pembela.

“Siap, Yang Mulia.”

***

Siapa yang pernah mengalami kejadian seperti Rudi? Jangan sampai lah ya. Semoga kita semua dapat kantor dan bos yang baik. Amin!

Tunggu besok untuk update selanjutnya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang