Bab 23a

87 11 1
                                    

Wiper menyingkirkan air hujan yang menerpa kaca Volvo silver. Pengendaranya mengarahkan kendaraan itu ke Jalan Raya Bogor, Ciapus, lalu Curug Nangka.

"Yakin lo mau mancing hujan-hujan gini?" Katya menggambar wajah babi di kaca pintu mobil yang berembun.

"Sekarang hujan. Nanti malam atau besok belum tentu." Fadli menginjak kopling. Arus lalu lintas menuju ke Curug Nangka pada Sabtu pagi ini lumayan padat. Mobil-mobil berplat B merajai tol. Makanya dia lebih suka berangkat ke sana Jumat malam sepulang mengajar kelas karyawan. Terkadang dia menepi untuk makan jagung bakar. Sendirian. Itu dulu.

"Anyway.... Sorry." Katya berbisik.

Fadli mengernyit. "Soal?"

"Ya, soal gue mempermalukan lo kemarin di depan Sofia. Nggak seharusnya gue bicara begitu sama yang lebih tua." Meskipun minta maaf, Katya tak terlihat menyesal.

Fadli mengangguk sambil tersenyum. "Dan nggak sepantasnya kamu memanggil yang lebih tua dengan sebutan 'lo'."

"Oh, OK, Pak."

Fadli tahu Katya sedang jahil, menguji coba kesabarannya. "Baik, Bu," sambutnya. Lalu dirasakannya Katya mencubit pinggangnya.

"Kok ibu sih? Issshhh. Gue bukan ibu lo ya, Pak." Katya cemberut hingga membuat Fadli ingin mencubit hidung perempuan itu.

"Pasangannya bapak kan ibu." Fadli melajukan mobilnya, masih tersenyum karena perempuan di sebelahnya tetap merengut.

Katya mencebikkan bibir. Dia merasa kalah dengan pengacara sekaligus dosen yang usianya lebih tua dari dinosaurus. "Ok, Mas Fadli." Katya mengalah.

"Nah gitu dong, Dek Katya." Senyum kemenangan menghiasi wajah Fadli.

"Sama gue juga mau...." Ucapan Katya berhenti karena Fadli memandanginya. "Kenapa sih, Mas Fadli? Ada yang salah?" Matanya mendelik kesal.

"Nggak sepantasnya kamu menyebut dirimu dengan 'gue' saat bicara dengan orang yang lebih tua." Nada bicara Fadli lembut namun tak mau dibantah.

"Untung ya gue nggak jadi mahasiswa lo," gumam Katya. Pasti para mahasiswanya dibuat jengkel setengah mati lantaran memiliki dosen begini.

"Jadi tadi mau ngomong apa, Dek Katya?"

"Hamba mau mengucapkan terima kasih karena Tuan yang budiman sudi mengotori pusaka milik tuan untuk memberikan hamba kepuasan." Katya mengikik puas sambil mengingat percumbuannya dengan Fadli.

Tawa Fadli membahana mengisi mobil. "Pusaka.... Berasa baca Si Buta Dari Goa Hantu atau Wiro Sableng," katanya.

"Bacaan Mas Fadli begitu ya? Ckckck.... Waktu itu pas Bang Randu ke rumah El, main lagu pakai gitar. You know lagunya apa? Lagunya Nike Ardilla, gitu?" Sanggupkah dia bergaul dengan Fadli.

"Nggak begitu jugalah. Aku baca Shin Chan, Detektif Conan, nonton Spongebob. Kalau Randu nggak suka kayak gitu. Dia lebih suka demonstrasi. Makanya dekil tuh," bantah Fadli.

"Bang Randu nggak dekil ah. Kulitnya bagus. Daripada putih kayak tahu gitu. Kalau Bang Randu jelek nggak mungkinlah si El sampai mau diperawani sama dia," celoteh Katya. Tangannya sudah tidak menggambar babi lagi, namun memainkan game Happy Day.

"El apa?" Fadli nyaris tersedak lantaran tak percaya pada pendengarannya.

"Iya. El diperawani sama temannya Mas Fadli."

Hidung mancung pria itu mengernyit sehingga Katya merasa perlu menjelaskan, "El itu anak tunggal, Mas. Orang tuanya dulu kaya banget. Punya empat perusahaan di bidang pertambangan batu bara dan minyak bumi. Sayangnya harga dua komoditas itu anjlok beberapa tahun yang lalu. Mulai deh tuh aset-aset perusahaan dijual. Puncaknya ya saham dijual juga. Itu aja masih kurang buat nutup hutang ke kreditor. Biarpun sebenarnya nggak ada kewajiban papanya El jual aset pribadi, tapi demi nama baik dan kepercayaan, Om Eugene jual sebagian besar aset pribadinya." Katya berhenti sebentar. Ditatapnya wajah Fadli. Ternyata pengacara itu mendengarkannya sungguh-sungguh. Berkonsentrasi. "Om Eugene, Papanya El berharap anak tunggalnya nanti yang meneruskan perusahaan. Makanya si El kayak setengah dipingit gitulah. Temannya cuma aku. Kenapa? Supaya El konsentrasi belajar, nggak main melulu kayak aku. Mana pernah dia clubbing gila-gilaan gitu? Cowoknya seumur hidup cuma dua. Rimba dan Acin." Tangan Katya menutup mulutnya.

"Acin?" tanya Fadli.

Katya meringis, "Itu ejekan aku aja sih buat El. Acin, Abang Cinta, maksud aku Bang Randu. Soalnya si El kabur melulu dari perasaannya. Itu jeleknya dia sih. Gampang trauma orangnya. Kalau udah sekali kepentok kayak kiamat aja. Aku maklum, dari SD sampai kuliah selalu jadi siswa dan mahasiswa terbaik. Akselerasi. Dapat medali emas di olimpiade matematika. Jarang banget dia jatuh. Makanya begitu dicampakkan Rimba kayaknya menderita gitu. Sekaligus trauma,"―Katya menggeleng―"aku tahu dia itu masih perawan ting-ting. Rimba dulunya satu SMP sama kita. Nah..., pas kuliah ketemu El. Jadian deh tuh mereka enam tahun. Aku tahu mereka nggak aneh-aneh pacarannya. Jadi Acin...." Katya berdeham menghilangkan dahak di kerongkongan. "Eh maksud aku Bang Randulah orang pertama yang membuat El menyerah."

Napas berat Fadli tertahan. "Ya, aku juga harus minta maaf ke El karena bikin permainan iseng ini. Kita pikir waktu itu dia cewek yang gampang dipake." Seandainya dulu mereka tidak menciptakan permainan terkutuk itu, tentu keadaan akan berbeda.

Katya menggeleng. "Sebenarnya aku pikir-pikir bagus juga ada ide taruhan itu. Kalau nggak, pasti kalian nggak akan bersaing mendekati El. Cara kita menyembuhkan patah hati karena cinta ya menemukan cinta baru. Masalahnya si El susah banget disuruh menemukan cinta baru setelah Rimba. Kalau aku nih ya, pagi putus, sore udah pacaran lagi sama orang lain. Lah si El pakai acara mendekam di kamarlah, meweklah, ngungsi ke Sentullah, potong rambutlah, hadeeeh.... Sensian jadi orang."

"Randu yang aku tau juga bukan orang begini. Sekarang dia kayak zombie. Kerjaannya ngeliatin HP melulu nungguin telepon dari El. Aku sama Gading bukannya jahat, Kat. Bener kata kamu. Obatnya putus cinta ya nyari cinta yang baru. Kita berusaha deketin dia sama cewek-cewek lain. Tapi kayaknya nggak pengaruh. Tumben." Fadli geleng-geleng kepala karena tak menyangka sobat bengalnya akan tersungkur di kaki perempuan macam Elena.

Katya teringat dialog Olaf di film Frozen, 'The act of true love can thaw a frozen heart.' Bukankah hati Elena dan Randu telah sama-sama mencair karena lima huruf bernama CINTA? Digenggamnya tangan Fadli yang menggenggam tongkat perseneling.

"Aku yakin kalau mereka berjodoh seluruh alam semesta akan mempersatukan mereka."

Fadli mengangkat tangan Katya yang membungkus tangannya, lalu mengecup pelan. "Aku nggak mau menyesal kayak Randu. Jadi aku mau satu-satunya orang yang mendampratku di club, menemani sisa hidupku."

Katya menarik tangannya. "Jangan bilang kita mau kawin besok, ya. Aku belum siap deh."

"Kalau kawin nggak usah besok. Sekarang juga kita bisa kawin. Menikah maksudmu?" Fadli mengelus rambut Katya.

Keduanya saling memandang di tengah riuh kendaraan. Awalnya mereka hanya dua orang asing yang dipertemukan karena permainan. Dari situ mereka belajar. Jangan menjebak, karena perangkap yang kaupasang bisa saja memasung dirimu sendiri.

***

DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang