Bab 20b

140 27 2
                                    

I-Ta Suki Kokas selalu dipadati pecinta kuliner Jepang. Partisi kayunya seolah ingin menegaskan nuansa Negeri Matahari Terbit. Rata-rata, para tamu mencari suasana berbeda setelah dilanda kesibukan di tempat kerja atau sekolah. Tawa para pengunjung memenuhi tempat itu. Seorang perempuan berpakaian kantoran menyumpit ramen sementara kawan-kawannya menyoraki entah kenapa.

Elena datang mengenakan white jeans dan ruffle blouse biru muda yang tertutup. Dia terganggu dengan suara bising dari si karyawati pemakan ramen beserta teman-temannya padahal dia sedang butuh ketenangan. Di meja sebelah para karyawati centil itu, sekelompok anak muda usia kuliah menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun untuk teman mereka, laki-laki berkulit putih bermata sipit. Di mana Ambar?

Seorang perempuan berhijab oranye dengan pelisir renda kuning melambai pada Elena yang mencari-carinya. Sepertinya ada hal penting yang akan mereka bicarakan karena Ambar memilih tempat agak tersembunyi, jauh dari pengunjung yang selfie sambil terbahak-bahak memamerkan gigi mereka. Elena menghampirinya.

"Apa kabar, Mbak?" tanyanya sambil bercipika-cipiki dengan Ambar.

"Seperti yang lo lihat, baik. Pesan dulu, El. Lapar gue. Katanya lo mau makan shabu-shabu kan?" ujar Ambar sambil membolak-balik buku menu.

Mereka memesan makanan shabu-shabu. Elena tanpa semangat memilih jamur enokki, bakso lobster, kepiting, dan beberapa lembar daging tips.

"Usaha lo lancar, El?" Ambar bertanya sambil menyesap ocha hangat yang dihidangkan tidak lama setelah dipesan.

"Puji Tuhan. Optimus gimana? Ada perkara seru?" Tak disangkalnya, Elena merindukan tampat itu. Dia ingin menyaksikan Randu dalam balutan toga hitamnya, setelah selama ini harus terpaksa puas hanya menyaksikan di YouTube.

"Banyak. Lo baca berita soal kita mendampingi keluarga pasien korban malpraktik medis nggak? Yang pegang perkara gue sama Randu." Nadanya ringan saja menyebut nama itu. Padahal bagi Elena nama Randu sama dengan Voldemort. Tak boleh disebut. Elena mengangguk sopan.

Seorang pelayan menyela obrolan, menghidangkan pesanan. Uap panas shabu-shabu memenuhi udara di sekitar mereka. Elena memasukkan jamur enokki ke dalam kuah shabu-shabu. Sedangkan Ambar memasukkan bakso lobster.

Ambar melihat perubahan besar pada Elena. Wajah ayu itu kelihatan layu, tulang pipi Elena sedikit menonjol pertanda sesuatu telah mengikisnya. Diawasinya Elena yang menyendok kuah shabu-shabu ke mangkoknya. Bahkan mata Elena seperti tak berjiwa. Ambar biasa menggunakan logika. Seandainya dia memperingatkan Elena lebih keras, masalah rumit ini pasti tak akan terjadi.

"El, gue mau ngajak teman gue boleh kan?" Ambar tidak yakin Elena menerima tamu tak diundang.

Elena mendongak terkejut, seperti dari luar angkasa lantas kembali ke bumi. "Boleh, Mbak. Banyak ini kita pesannya. Nggak habis dimakan berdua doang." Meskipun Elena tak suka dengan kehadiran banyak orang, namun saat ini dia membutuhkan pengalih perhatian.

Ambar meraih ponsel lalu menghubungi seseorang, "Kita di I-Ta Suki." Singkat sekali. Rautnya tak senang.

"Kok gitu, Mbak? Kayak orang marahan." Elena tersenyum. Ambar jarang di Optimus, lebih sering keluar kantor. Meskipun begitu, Elena menyukai Ambar karena mengaguminya. Seorang perempuan menjadi pengacara LBH pasti memiliki nyali besar.

"Emang harus dimarahin orang kayak begini. Tiga hari yang lalu gue tampar," sahut Ambar galak.

Elena membelalak geli mendengar keganasan Ambar. "Siapa sih? Suami?"

"Amit-amitlah orang begitu jadi suami gue. Jangan sampai. Mendingan gue disuruh berenang ke Madinah daripada kawin sama dia." Ambar menggeleng.

Mereka asyik berbincang tentang berbagai macam hal sampai laki-laki ini masuk. Dia langsung duduk di sebelah Elena. Mata Elena terbelalak sesaat melihatnya. Bagaikan melihat hantu, dia segera menyingkir pindah ke kursi di sebelah Ambar.

DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang