Bab 5B

477 52 9
                                    

Pukul empat sore, segala urusan pidana selesai. Setelah naik angkot bersama Randu saat berangkat tadi, Elena tidak terlalu canggung untuk menggunakan transportasi umum. Bersama lelaki itu, ajaibnya dia merasa terlindung. Kini mereka berada dalam angkot biru menuju Stasiun Depok. Beberapa pelajar SMA yang naik angkot langsung berbisik-bisik setelah melihat Randu. Mungkin dalam benak mereka terbersit pikiran, Nggak salah nih ganteng-ganteng naik angkot? Randu sudah biasa ditatap dengan mata hampir meloncat keluar begitu. Jadi dia tidak heran.

“Gimana, El rasanya nonton sidang?” tanya Randu.

Sport jantunglah pastinya.” Untung Elena tidak punya penyakit bengek atau darah tinggi.

Di tengah obrolan mereka, angkot dihentikan kakek renta. Tangan pria sepuh itu terlihat gemetar kesulitan menggapai ambang pintu. Refleks, Elena membantu memegang lengan si kakek agar beliau bisa naik. Sebentuk tangan lain mendadak berada di atas tangannya, memperparah getaran aneh yang sejak di pengadilan tadi susah payah diredam. Begitu lama tangannya tidak digenggam seerat itu oleh laki-laki. Tampaknya Randu berusaha pula menolong kakek, sayangnya salah pegang.

Sorry,” gumam Randu tanpa niat melepaskan genggamannya meskipun si kakek sudah berhasil duduk dengan selamat.

Elena mengamati tangan Randu yang belum mau menyingkir, lalu menatap lelaki itu. Randu tidak jelek, sungguh. Tampan, karismatik, dan membuat orang segan melawan. Mereka beradu pandang sekilas. Meski hanya beberapa detik, efeknya sungguh menakjubkan. Lalu tangan kokoh itu terlepas dan Randu menepuk dahi.

“Kenapa, Bang? Demam?” Good, suara Elena terdengar khawatir tanpa dia inginkan.

“Bukan. Gue lupa bawa charger. HP gue mati.” Dasar om-om. Tanda-tanda penuaan mulai menyerang.

“Pakai ini aja.” Elena menyodorkan power bank-nya. 

Lelaki itu menggeleng. “Lo WA si Firman. Kalau udah dapat yurisprudensi yang gue suruh, langsung bikin ringkasan. Mana aja yang bisa dipakai buat perkara PT SUCK.”

Elena mengangguk dan langsung mengetik.

“El, lo punya hobi selain baca?”

“Saya suka masak.” Elena masih mengirim chat untuk Firman.

“Ross hobi main biola. Kadang dia ikut ngisi konser. Kalau Fadli, gue, sama Gading suka mancing.”

“Biasanya mancing kapan, Bang?”

“Sekarang juga bisa sih mumpung belum gelap. Kalau mau, bisa cari empang. Tapi nanti baju lo kotor.”

“Nggak balik ke kantor, Bang?”

“Sayang ke kantor lagi. Kita jalan-jalan sebentar. Lo kelihatannya jarang keluar.” Kulit kuning langsat nan mulus Elena cukup menjadi pertanda bagi Randu bahwa gadis itu jarang terpapar matahari.

“Apa kita ke mal aja. Yang dekat sini mal apa ya?” Elena sangat suka mal. Segalanya ada di sana.

Mendengar kata mall, Randu mengernyit. Raut jijiknya mirip seorang ustaz mendengar kata rumah bordil. “Lo aja yang ke mal. Gue nggak suka.”

Tanpa suara, Elena menaikkan alis. Dulu Rimba suka ke mall. Bisa seharian cowok itu di sana sekadar mencari sepatu.

“Ngapain sih ke mall? Udah, lo ikut gue.” Dibiarkannya Elena penasaran. Bukankah itu yang perempuan suka?

Mereka melanjutkan perjalanan dengan KRL. Biasa naik kendaraan online, Elena merasakan perjuangan hidup di sini. Dia baru tahu betapa banyak manusia di Jakarta. Hanya demi naik kereta mereka berebutan, saling dorong serupa kawanan hyenna berebut bangkai. Keringat Elena mengucur deras bagai diperas dari pori-pori. Awalnya Randu ingin mengerjai target taruhannya, tetapi melihat blus sabrina Elena basah kuyup, dia jadi kasihan.

DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang