Bab 14a

288 27 2
                                    

Siapa bilang pria tidak punya perasaan? Kenyataannya, setiap kali putus cinta, perempuan yang selalu menangis sampai menghabiskan berlembar-lembar tisu lebih sering berakhir bahagia. Sedangkan laki-laki, mabuk-mabukan kemudian bunuh diri.

Randu tidak melakukan hal sebodoh itu. Cukup meracuni paru-parunya dengan nikotin. Sesekali dia membuang abu ke tanah. Air terjun buatan di kolam LBH Optimus tempat ikan wakin berenang-renang sedikit menentramkan hati. Randu berpikir apakah dia sudah terlalu tua hingga pesonanya luntur? Hingga gadis bau kencur menolaknya mentah-mentah. Merontokkan harga diri sebagai lelaki. Kini Randu merasa bukan lagi seorang laki-laki perkasa, tapi aki-aki. Anehnya dia tidak bisa membenci Elena.

Asap mengepul dari sela bibir Randu. Lehernya sudah pegal karena berulang kali menengok ke ponselnya. Dia Kecewa saat gadis yang dikirimi pesan sejak tadi malam tidak membalas. Membaca pesannya pun tidak. Kenapa Elena tidak membaca pesannya? Sibukkah dia? Tidurkah? Beberapa kali ditelepon namun tak dijawab.

Seharusnya Randu seperti pria Jepang saja yang menyibukkan diri dalam karir dan memilih berpacaran dengan boneka seks. Benda mati itu tidak akan meninggalkannya dalam kehampaan seperti ini. Sebagai tambahan, Elena dan boneka seks sama-sama tidak suka bicara. Randu merutuki kelengahannya. Seharusnya dia tidak melibatkan perasaan seperti hubungannya yang sudah-sudah. Sekarang, sudah terlambat untuk meminta kembali hatinya yang dicuri.

“Bagi api, Man.” Suara familier Fadli menabuh gendang telinga Randu.
Randu memberikan rokoknya pada Fadli yang ditempelkan ke ujung rokoknya sendiri. Rokok Fadli pun menyala. Diangsurkannya kembali rokok Randu, lalu dia duduk di kursi taman. Fadli mengamati Randu yang berdiri di depan kolam ikan seolah berusaha mengobrol dengan mereka.
“Gue lebih suka nonton James Bond daripada Mission Impossible.” Fadli menyandarkan punggung ke kursi taman sambil mengangkat kaki ke atas meja taman seolah sedang berada di rumah sendiri. “James Bond punya mobil keren, senjata keren, dan cewek keren. Nggak kayak Ethan Hunt.”

Meski tidak suka nonton film, tapi Randu tahu James Bond. Fadli rajin nonton film tentang agen itu bahkan mengoleksi DVD mulai dari Barry Nelson sampai Daniel Craig. Dia hafal wajah-wajah Bondgirl yang lalu lalang sepanjang film. Baginya tak ada gadis Bond yang melebihi Elena Mazaya. Sophie Marceau, Halle Berry, maupun Gemma Arterton hanya pantas mengelap sepatu Elena. Melihat mereka sekilas saja Randu yakin tidak perlu pria sekelas James Bond untuk menaklukkannya. Mereka dengan senang hati melemparkan pakaian dalamnya ke pria mana saja. Berbeda dengan Elena.

“Satu lagi yang gue suka dari James Bond, dia nggak pernah galau soal cewek. Lo tau nggak banyak artis berebutan kepingin jadi Bondgirl?” Fadli terkekeh sambil membuang abu rokok ke asbak di depannya. Dia tahu Randu sudah berhenti merokok sekitar empat tahun. Mudah ditebak sekarang sobatnya yang sedang melakukan kontak batin dengan ikan wakin itu kembali merokok karena apa.

“Sabtu ini kita ke Parangtritis,” sahut Randu kedengarannya jengkel.

“Mau liburan lo, Man?” Fadli melangkah mendekati sobatnya.

“Nggak, gue mau menyerahkan lo ke Nyi Roro Kidul supaya jadi pembokatnya biar nggak gangguin gue,” ketus Randu.

Tawa Fadli berderai. Bisa galau juga temannya. “Woyy Ran!!! Umur lo udah banyak. Udah dekat liang kubur. Jangan kayak terong-terongan gitulah kelakuan. Mencemari nama dunia pengacara Indonesia. Masa gara-gara bocah ingusan kayak El lo baper begini.”

Randu bersedekap dalam diam.

“Dengar nggak lo? Woyy!!! Awas tuh abunya masuk kolam. Bisa mati semua ikan Ross keracunan abu ditambah jigong lo.” Fadli kesal ceramahnya dianggap sepi.

Randu jengkel merasa terganggu. Apakah Fadli tidak tahu betapa khawatirnya dia pada Elena. Bagaimana kalau gadis itu memang tertimpa hal buruk hingga tak menjawab telepon dan chat WA? Bagaimana kalau Elena sakit parah? Bagaimana kalau ada begal yang mengincarnya? Dia membuang rokok yang sedari tadi dihisap lalu menginjaknya. “Mulut lo bau, Fad. Sikat gigi sana. Nggak tahan gue.”

***

DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang