Bab 8

445 47 4
                                    

Sepanjang malam Randu gagal memejamkan mata. Dia bangun pagi-pagi sekali dengan semangat menggebu. Selama mandi, Randu tak henti bersiul senang. Pria itu berdiri di depan cermin bulat seraya mengamati kerutan di sudut matanya. Kenapa manusia harus bertambah tua? Untuk pertama kalinya, Randu khawatir tidak pantas berjalan di sisi seorang gadis lantaran usia.

Randu tidak akan heran jika cermin di kamarnya itu pecah lantaran bosan memantulkan wajahnya. Sejak berciuman dengan Elena, berulang kali dia bercermin lalu tersenyum. Tatapan tajamnya melembut ketika membayangkan lagi. Gadis itu hadir di mimpinya. Residu rasa bibirnya masih tersisa.

Elena Mazaya Tjipta. Caranya menuntut lebih dengan meremas kedua bongkahan di bawah punggung sang pengacara, telah membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Jemari yang biasa digunakan untuk mengetik surat, telah meremas rambutnya. Begitu binal. Begitu nakal. Padahal dari luar, Elena tidak terkesan liar sama sekali. Malah dia terlalu lembut seperti sutra. Rapuh bagaikan porselen China. Randu masih menatap wajahnya di cermin. Lalu memejamkan mata. Lukisan wajah perempuan itu menyesaki benak. Tatapan lembutnya seolah memiliki mantra penghilang kewarasan.

Pria itu menghela napas. Bahkan wangi gadis yang memagut bibirnya dengan berani kini merangsek masuk organ pernapasannya. Berjuta tanya menyesaki benak menunggu jawab. Apakah yang merasuki Elena saat itu? Apakah dia mendadak kesurupan lalu lepas kendali? Tidak. Rasanya tidak. Elena tidak kelihatan seperti pasien rumah sakit jiwa yang kabur. Diingatnya lagi pujian yang meluncur mulus dari sela bibir gadis itu. Dia menyebut Randu.... 

K.E.R.E.N.

Pakai huruf 'N' di belakang ya, bukan seperti ejekan kurang ajar Fadli dan Gading yang menyebutnya K.E.R.E tanpa huruf 'N'. Kere alias miskin papa tak punya harta.

Dirabanya rambut halus yang bertengger di dagu. Oh! Dia tahu kaum Hawa seringkali sesak napas berjamaah saat melihat pria dengan berewok tipis. Itulah kenapa Zayn Malik, Ryan Gosling, dan Robert Pattinson menumbuhkan jambang. Tidak disangkanya Elena memiliki selera yang sama dengan perempuan lain. Ah! Perempuan seperti Elena punya selera soal pria juga?
Mata hitamnya membuka lagi. Andai cermin itu bisa bicara seperti milik ibu tiri Snow White, ingin Randu bertanya, “Cermin,  cermin di dinding, siapakah pria paling ganteng, seksi, tampan, dan bahagia di dunia?”

Tanpa ragu si cermin pasti akan menjawab, “Randu Tio Hariman.”
Kalau dia tidak menarik, bagaimana mungkin Elena bisa menciumnya dengan penuh gairah? Bukankah Elena satu spesies dengan amuba? Makhluk tak berjenis kelamin yang pastinya tidak punya nafsu seksual?
Diingatnya ceramah Elena saat memergokinya nonton film porno.

Gadis yang benar-benar membingungkan. Menggoda seperti pelacur, lalu berlagak seperti gadis baik-baik. Pergi begitu saja di saat hasrat seksual Randu menggelegak, meledak bagai lahar gunung berapi. Elena Mazaya Tjipta benar-benar ingin membunuhnya. Menyulut gairah Randu, kemudian memaksanya padam. Perempuan itu menggoreskan sebuah sensasi.

Perasaan apa kini yang ada dalam dadanya? Perasaan yang sama dengan saat ayahnya membelikan sepeda untuk kali pertama? Rasanya seratus kali lebih baik. Dibandingkan saat membaca namanya diterima masuk di Fakultas Hukum Universitas Negeri paling bergengsi di Indonesia? Ribuan tingkat lebih membahagiakan. Untuk terakhir kali, dia tersenyum pada cerminnya seolah cermin itu adalah sahabat lama.

Hei, sedang apakah dia yang menari-nari di mimpinya? Masih keburu rasanya menjemput Elena. Biarlah lebih jauh atau memutar arah menerjang seribu lampu merah. Randu bahkan bersedia menukar jiwanya hanya untuk melihat gadis yang bermain-main dalam mimpinya.
Disambarnya ponsel di atas meja kerja di kamar. Lalu disentuhnya dengan lembut nama ELENA. Hati-hati, khawatir tangan kasarnya yang pernah memegang celurit untuk tawuran, akan melukai gadis itu, seolah Elena sendiri yang disentuhnya.

DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang