Setelah bergelut dengan perkara buruh, pada akhir minggu Fadli, Randu, dan Gading memancing sejak jam empat pagi di sungai dekat rumah Fadli yang tak jauh dari Curug Nangka. Dosen itu punya rumah kecil di sana, sedangkan sehari-hari memilih kost dekat LBH Optimus. Niatnya, mereka akan sarapan ikan yang dibakar di atas arang, dengan bumbu cabai rawit dan bawang mentah plus kecap. Membayangkannya saja membuat air liur menetes deras.
Udara di area rumah Fadli masih sangat sejuk. Embun pagi menetes di dedaunan. Sungainya jernih dengan ikan nila, tawes, dan mas berenang lincah. Randu, Fadli, dan Gading duduk di atas batu dinaungi pepohonan rindang. Mereka mengurai pikiran kusut dilanda stres akibat pekerjaan dengan cara berlama-lama menunggui ikan bodoh memakan umpan.
Fadli sedang konsentrasi memandang riak air sungai ketika benda di sakunya bergetar. Tangannya yang memegang joran kini beralih memegang ponsel. Pesan WA dari Elena membuatnya terbahak.
“Psssttt...,” Gading menyuruh Fadli diam. Bisa kabur nanti ikan-ikan di sana karena mendengar suara tawa kawannya.
“Eh, liat nih. Baca yang keras,” perintahnya pada Gading dan Randu.
Kedua sobatnya langsung bangkit mengerubungi Fadli untuk membaca pesan WA dari obyek taruhan mereka.“Nggak mungkin. Lo pake pelet apa, Fad?” Gading tak bisa menerima kenyataan Elena minta alamat rumah Fadli. Randu apalagi. Sungguh tak rela melihat Elena mengirim pesan itu.
“Lo berdua siapin duit ajalah. Gue yang bakal menang taruhan.” Fadli terbahak sambil mengetik alamat rumahnya. Lengkap dengan patokannya agar Elena tidak tersesat.
Kedatangan Elena lebih menarik ketimbang menunggui ikan.
***
Menjelang maghrib, Ayla putih Katya sampai di depan rumah tanpa pagar milik Fadli. Perjuangan yang ditempuh lumayan panjang dan berat. Melewati tol dan jalan tanpa aspal, sampai tersasar beberapa kali, belum lagi kanan-kiri jalan masih penuh pohon besar dan semak belukar. Elena hampir menyerah. Dia mengajak sobatnya kembali ke Jakarta saat langit masih terang.“Darling, kalau mau hal yang baik kita harus berjuang,” sahut Katya sambil tetap menyetir dan mencocokkan daerah yang dilintasinya dengan Google Map.
Katya nyariss melompat ketika tiba di rumah mungil yang fotonya dikirim Fadli ke ponsel Elena. Penuh semangat dia mengetok pintu rumah pria idamannya. “Permisiiii...,” panggilnya.
Elena di balik punggung Katya menunggu dengan tatapan malas. Dia menemani Katya takut sobatnya tersesat atau digondol genderuwo. Elena agak sebal karena merasa Katya menjebaknya. Tidak mungkin kan dia turun di jalan antah berantah yang sama sekali tidak dilewati kendaraan? Kunci dibuka oleh seseorang. Bukan Fadli.
“Eh, Bang Randu. Lagi di sini juga?” sapa Katya ramah, membuat Elena sedikit terkejut. Namun wajahnya tetap datar.
“Masuk deh. Sayang lo berdua datangnya kemalaman. Kita habis pesta ikan bakar tadi siang.” Randu bercelana pendek dan mengenakan T-Shirt hitam. Pada hari biasa, lelaki ini selalu bisa membuat jantung Elena berdegup liar. Sekarang ketika rambutnya tak tersisir rapi, malah meningkatkan kadar keseksiannya.
Elena masuk, langkahnya hati-hati seperti takut masuk sarang buaya. Dia melewati tubuh Randu tanpa mengucap sepatah kata pun. Sebaliknya, Katya langsung menerobos seolah itu rumahnya sendiri.“Hai, Mas Fadli, Bang Gading. Udah makan malam?” Katya benar-benar ceria hingga Elena heran, ngidam apa dulu ibunya Katya.
“Wah, kebetulan belum.” Gading sedang mengikat kantung plastik sampah ketika Katya berdiri di depan hidungnya.
Katya masuk begitu saja ke ruang makan yang tersambung dengan dapur. Di bak cuci masih terlihat sisa piring kotor dan alat pemanggang. Bahkan botol kecap serta botol minyak goreng belum dikembalikan ke lemari dapur bercat coklat. Tapi Katya tak peduli dengan betapa berantakan ruang makan itu.
“Ya udah .... Kita makan bareng aja. Aku bawa ayam pop lho. Aku sendiri yang masak.”
Kebohongan Katya membuat Elena ingin mencubitnya. Tapi dia biarkan Katya cari muka di depan Fadli. Dengan percaya dirinya gadis itu meletakkan rantang berisi ayam pop buatan Elena di atas meja makan.
“Lo bisa masak, Kat?” sahut Fadli sambil membuka rantang tempat ayam pop. Sebenarnya dia kaget El datang bersama Katya.
“Jangan salah, Mas. Yang ngajarin El masak itu aku.” Tak bosannya Katya berbohong lagi. Jangankan masak ayam pop. Memasak air saja gosong.
Elena memilih menyingkir dari keriuhan itu. Dia duduk di ruang tamu sambil mengamati ruang tamu mungil Fadli. Meja dan kursi rotan diletakkan dengan serasi di ruangan ini. Dalam hati, Elena memuji selera Fadli. Foto masa kecil lelaki itu dibingkai pigura coklat, selaras dengan kursi rotan. Rak buku membatasi ruang tamu dengan ruang makan. Isinya jurnal hukum dan novel ‘berat’ macam karya JB. Mangunwijaya, Orhan Pamuk, dan Pramoedya Ananta Toer.“El.” Randu duduk di kursi rotan sebelah Elena sambil menatap perempuan itu.
Mendengar namanya dipanggil, Elena menoleh, menatap mata tajam Randu. Kini dadanya memberontak melihat penampilan berantakan pria itu hingga Elena menelan ludah berkali-kali. Elena tak paham mengapa kini tenggorokannya tercekat.
“Bang.” Dipaksakannya agar suara itu terdengar mantap. Sebuah usaha sia-sia karena hasilnya adalah cicitan.
Elena melihat ke arah foto keluarga Fadli bersama mendiang orang tuanya agar tidak perlu bertatapan dengan Randu.“Kita jalan, El.” Lelaki itu mencondongkan tubuh ke arah Elena hingga gadis itu dapat mencium aroma maskulin Randu. Berkali-kali Elena memarahi dirinya sendiri ketika batinnya menjeritkan pujian untuk sang pengacara. "Sabtu depan," lanjutnya.
Diam berpikir beberapa saat. Ini adalah kali pertama lelaki itu mengajaknya keluar secara resmi. Randu menatapnya, menunggu. Hingga akhirnya Elena mengangguk.
***Akhirnya Elena mau diajak kencan Randu. Seperti apa kencannya? Tunggu Minggu depan.
Buat yang nggak sabar nunggu, silakan ke Karyakarsa akun Belladonnatossici. Devils Inside sudah publish volume dua (bab 11-20) sebanyak 21K lebih words. Harganya murah, cuma 99 Kakoin, nggak sampai Rp. 10K alias cuma uang kecil Rp. 9.900 untuk 10 bab dan masa akses 30 hari.
Love,
💋 Bella 💋
KAMU SEDANG MEMBACA
DEVILS INSIDE
RomanceAda dua tipe manusia yang bekerja di LBH Optimus. Pertama, orang yang berdedikasi tinggi pada kemanusiaan. Kedua, jenis manusia frustrasi yang tak kunjung mendapat pekerjaan. Randu Tio Hariman merupakan gabungan dari keduanya. Sejak Elang berkhiana...