Bab 12b

365 32 3
                                    

Randu berputar-putar keliling Jakarta. Beraneka perasaan menyeruak. Antara senang dan bingung dengan sikap Elena. Perempuan memang sulit. Randu lebih memilih ujian skripsi lagi dibandingkan harus memahami perempuan. Ketika Swiss Army-nya menunjukkan pukul dua siang, Randu berputar arah ke kost Fadli.

“Oi, Man! Tumben ke sini.” Fadli tanpa atasan, hanya bercelana boxer hitam polos, merokok pula.

Randu memarkir motor tepat di depan pintu kamar kost. “Lagi ngapain lo?”
“Nih, gue dapat buku bagus soal sejarah pendidikan di Finlandia sampai jadi kayak sekarang. Jangan salah, Finlandia nggak cuma punya beruang.”

“Nanti gue pinjam.” Siapa yang peduli soal beruang dan Finlandia? Randu gemuruh ingin cerita. Girang betul rasanya seolah dunia ini jadi miliknya seorang. Dia menciumi tangan Elena, kening Elena, hidung Elena, pipi Elena, dan bibirnya!

“Boleh, kalau gue sudah kelar baca.” Fadli tidak menatap Randu yang masih duduk di sebelahnya.

Gemercik air kolam ikan di depan kost Fadli mendukung suasana curhat. Apalagi rumpun melati tertiup angin, menyebarkan keharuman.

“Kenapa lo senyum-senyum sendiri? Sinting?” Fadli meletakkan buku yang dibacanya, lalu menatap wajah Randu yang bercahaya. Dia menebak sahabatnya telah melewati hari yang sangat membahagiakan.

“Gue habis nyium bidadari,” jawab Randu hiperbolis.

“Di mana? Kalijodo apa Taman Lawang?” ejek Fadli.

“Taik!” Randu memaki. Kegirangannya tidak mendapat tanggapan seperti harapannya. Fadli pun terbahak.

“Terus lo copet nggak selendangnya? Mestinya lo colong biar nggak bisa balik ke kahyangan.” Fadli memberikan petuah mujarab, padahal dia sendiri belum menikah.

“Gue nembak Elena,” potong Randu.

Fadli menghisap rokoknya sebelum melanjutkan ejekan, “Nembak? Mati nggak dia?”

“Gue serius, Bego! Gue nyatain kalau gue suka sama dia!” Randu tidak tahan melihat Fadli yang cengengesan melulu.

Fadli menaikkan sebelah alis. Dia kepingin menceburkan Randu ke kolam ikan depan kost agar sahabatnya itu sadar. Untuk memastikan Randu wasih waras, dia menanyakan pertanyaan lanjutan khas pengacara di ruang sidang, “Terus gimana jawaban si El?”

“Dia belum jawab.” Kali ini Randu sedikit muram.

“Ah..., paling nolak.” Ternyata Fadli bisa sadis. Dibunuhnya impian Randu siang-siang bolong. Dia melanjutkan membaca buku. Curhatan Randu tidak menarik.

“Gue yakin dia terima,” Randu ngotot.

“Gue yakin dia nolak. Jadi lo nggak usah norak pamer sana-sini, sebelum tidur sama dia.” Fadli tidak mengalihkan mata dari buku.

“Dia juga suka sama gue, buktinya dia nyium gue di parkiran Cipinang Indah Mal, dan tadi dia nggak memberontak gue cium di taman.” Randu lebih berusaha meyakinkan dirinya sendiri daripada Fadli.

Fadli tergelak pelan, masih membaca buku. “Yaelah Ran, El anak Jakarta. Bisa aja kan dia nyium banyak cowok. Lo pasti pernah dengar one night stand. Lo sering ngelakuin itu. Nge-seks sama orang terus pergi gitu aja. Ini Jakarta, Man. Bukan Trenggalek. Nggak perlu perasaan untuk begituan. Jangankan nyium, nge-seks sama sembarang orang aja bisa,” kata Fadli sambil geleng-geleng.

“Emangnya lo pernah dicium sama dia?” tantang Randu.

Fadli tak menjawab. Seingat Randu, Fadli baru sekali mengantarkan Elena pulang. Setelah itu, Randu memonopolinya. Tidak sekali pun Gading atau Fadli dibiarkan mendekati Elena.

“Belum kan? Cuma gue di LBH Optimus yang pernah dicium dan mencium dia.” Randu merasa menang.

***

Di tengah kegalauan Randu, ternyata Elena merasakan hal yang sama. Dia berada di sebuah kafe bersama Katya. Hari Sabtu seperti ini banyak keluarga menghabiskan akhir pekan di mal tersebut. Pelayan menghidangkan callamary pesanan Elena dan Katya. Bagaimana Elena bisa makan kalau perut dan dadanya sesak.

“Darling, lo cuma di Ce.I.Pe.O.Ka sama si Randu. Dicipok. Bisa kan nggak usah lebay. Kayak diperkosa aja,” Katya dengan tak sensitifnya menanggapi curhatan Elena.

Lagu ‘Asal Kau Bahagia’ milik Armada bergaung. Sangat tidak pas dijadikan musik pengantar makan. Orang-orang pergi ke tempat nongkrong ini untuk menikmati suasana. Seharusnya diiringi lagu yang membangkitkan mood baik, bukan lagu patah hati. Alih-alih tergiur dengan cumi goreng tepung, Elena merasa mual.

“Ya tapi kan...,” El bersiap membantah.

“Tapi kan naon? Kurang? Perlu gue telepon si Acin untuk nambah?” tanpa beban sama sekali Katya bertanya.

Mengepalkan tangan di bawah meja, Elena berjengit mendengar pertanyaan Katya. “Dia maksa gue,” bisik Elena.

Situasi ini belum pernah dialami Elena. Seorang lelaki menciumnya, membuat kewanitaannya basah. Hingga dia baru sadar bahwa dia memiliki keinginan itu. Demi Tuhan, Elena terangsang! Dia menginginkan lebih dari ciuman.

Sejak TK hingga SMA, Elena dan Katya bersekolah di sekolah Katolik. Para biarawati di sana mengajarkan pentingnya menjaga kesucian. Jika Katya menganggap petuah itu sebagai angin lalu, tidak demikian dengan Elena. Dia serius dalam membatasi diri terhadap rangsangan seksual. Kini prinsip hidupnya hancur berkeping-kaping. Sempat terlintas di benaknya untuk segera mengakhiri status perawannya. Parahnya, dia ingin Randu segera memasukinya. Hingga Elena merasa dirinya sudah gila.

“Kan lo tinggal teriak. Lo dicium di tempat umum, Cinta.... Yasalaaaamm,” Katya menyahut sambil mengunyah callamary yang telah dicelupkan ke mayones. “Cewek itu cuma bisa dicium cowok karena tiga hal; si cewek PSK, si cewek dipaksa, atau si cewek cinta. Gue yakin si Randu nggak maksa lo. Karena lo nggak teriak minta tolong dan lo nggak nabok si Randu malah minta dianter ke mal ini ya.” Dilapnya tangan penuh minyak dengan tisu kemudian melanjutkan, “Dan karena lo masih perawan yang memalukan, kalah sama anak SMP, berarti lo bukan PSK. Jadi kemungkinannya tinggal satu, lo cinta sama Randu.” Bravo buat Katya. Tumben otaknya tidak somplak.

Elena membeku di kursi. “Gue nggak cinta dan gue bukan PSK. Tapi gue dipaksa,” ulang gadis itu keras kepala.

Menggeleng pelan meningkahi kekeraskepalaan Elena, Katya meletakkan tangan di atas meja kafe. Anting hoops-nya bergoyang mengikuti gelengan kepala. “Ya udah kalau gitu kita lapor Polisi. Biar si Randu end.” Katya menirukan gerakan menyembelih dengan tangan.

Setelah terdiam beberapa saat untuk berpikir, akhirnya Elena menjawab, “Nggak usah. Gue resign aja.”

***

Elena milih buat resign. Gimana reaksi Randu? Kita ketemu Senin depan. Yang nggak sabar bisa baca lebih cepat di Karyakarsa Belladonnatossici. Langsung pilih volume dua saja.

Love,
💋 Bella 💋



DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang