Bab 18b

152 17 3
                                    

Tok, tok, tok!!

Pagi yang menjelang gagal membangunkan pasangan yang tidur setelah memuaskan kerinduan. Ketukan tidak sabar bertubi-tubi di pintulah yang akhirnya membuka mata randu.

"Ya sebentar!" Perlahan Randu menyingkirkan tubuh telanjang Elena. Matanya masih terhalang selaput tipis, akibatnya kurang jelas melihat sekeliling. Pikirannya langsung sigap mencari sesuatu.

Brengsek, mana lagi bajunya El? Randu mengomel dalam hati. Dia menunduk mencarinya di antara pakaian mereka yang terserak berantakan.

Pintu diketuk lagi.

"Sebentaaarrr!!!" Randu setengah berteriak. "Ketemu!" lirihnya setelah menemukan benda yang dicarinya bersembunyi di bawah kolong ranjang.

"El, bangun." Pria itu berbisik lembut membangunkan Elena. Dikecupnya hidung Elena. Tak ada reaksi hingga Randu mengamatinya. Cantik sekali bidadari ini. Dikecupnya lagi hidung si Putri Tidur hingga Tuan Putri menggerakkan kelopak matanya. "Nih pakai," lanjutnya setelah Elena kelihatan sadar sepenuhnya. Diserahkannya lingerie Elena.

Randu sendiri buru-buru memakai kaos oblong dan boxer lalu menuju ke arah pintu setelah Elena mengenakan lingerie birunya. Dibukanya selot pintu.

Oh.... Oh....

"Man, ke mana aja sih lo ditelepon nggak diangkat?" Gading berkata cukup kencang. Randu selalu saja ngaret. Dari zaman mammoth belum punah sampai zaman kuda makan beling, dia selalu telat.

"Sorry," jawab Randu.

Mata Gading menangkap sosok di belakang Randu. "EL!" serunya.

"Pagi, Bang Gading," balas Elena. Dia duduk dan terlihat masih sangat mengantuk. Dirinya dan Randu baru bisa tidur pukul lima pagi setelah menerima cinta Randu. Mulai hari ini mereka sepakat berpacaran.

Ckckck.... Cuma anak TK yang punya pikiran mereka berdua main gundu semalaman. Gading memberi Randu tatapan 'Anjir lo, Man!' sambil menggeleng.

"Lo ingat nggak sih hari ini kita mau ke LPSK ―Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban― minta perlindungan untuk Pak Hartono? Sudah jam berapa nih?!" Gading ingin teriak tapi ditahan. Bisa-bisanya Randu melupakan klien yang diteror karena menjadi saksi untuk perkara narkoba hanya demi nafsu sesaat.

Randu melirik jam diatas ranjang. Jam sebelas siang. "Sorry," lelaki itu berkata lagi. Siapa yang ingat LPSK jika ada Elena? "Ketemu di sana. Lo duluan."

"In time, ya." Gading memperingatkan. Dipukulnya pelan lengan Randu lalu menatap Elena sebelum meninggalkan kost Randu.

Begitu Gading berlalu, Elena beranjak dari ranjang. Terkejut melihat bercak merah di seprai Randu. Dia menghela napas. Status sebagai perawan resmi berakhir. Randu menutup kembali pintu kamar kost untuk mendatangi Elena.

"Menyesal?" tanyanya saat melihat perempuan itu mengamati noda di seprai.

Dilingkarkannya lengan ke pinggang Elena. Bibirnya menyapu tengkuk pacarnya. PACARNYA! Ingin bersorak hatinya.

"Mandi sana, Bang. Nanti telat. Habis Bang Randu, saya gantian mandi." Elena harus mandi karena bagian bawah tubuhnya terasa lengket.

Randu memutar tubuh Elena hingga menghadapnya. Bibir Elena sedikit terbuka hingga Randu tergoda menciumnya.

"Kita mandi berdua aja," bisiknya.

Elena tidak menjawab. Dia melingkarkan lengannya ke leher Randu. Lelaki itu mengangkat tubuh Elena hingga terbaring dalam gendongan. Mereka berciuman lagi dalam langkah menuju kamar mandi.

***

Randu mengantarkan Elena pulang sebelum dia sendiri meluncur ke LPSK. Elena seperti tidak terjadi apa pun melakukan pekerjaannya sampai sore. Tidak banyak pesanan hari ini. Hanya 50 cup green tea lava cake untuk ibu-ibu arisan yang memesannya dari Instagram.

Dapur keluarga Tjipta yang sempat berantakan baru saja selesai dibersihkan oleh Elena seorang diri. Terbersit dalam pikirannya untuk mulai mempekerjakan tenaga tambahan. Dia mendongak ke arah jam dinding, pukul enam sore. Ibunya baru akan pulang pukul sepuluh. Mungkin ayahnya pulang lebih awal. Saat sedang berpikir, pinggangnya tiba-tiba dilingkari sebentuk lengan. Meskipun sejak semalam sudah melakukan banyak hal, rasanya tak pernah bosan dengan laki-laki yang kini memeluknya.

"Gue nggak bisa konsentrasi hari ini. Tau gitu lo ikut ke LPSK. Di sana nggak ada pemandangan bagus." Suara Randu membelai telinga Elena hingga membuatnya tersenyum. Pria itu membalik tubuh Elena. Jarak mereka kini hanya sejengkal. Meskipun tubuh mereka telah menyatu, Elena tetap saja sering salah tingkah jika ditatap mata Randu.

"Sudah makan, Bang?" lirih Elena tak kuat menahan gejolak dalam hati.

"Gue kepingin makan lo boleh?" Randu merayu. Dikecupnya hidung Elena hingga kekasihnya itu tertawa geli. "Kok ketawa sih? Gue jadi berasa Sule atau Bokir deh," lanjutnya. Dia mengecup kening Elena. "Lo nggak ada gue gimana? Nangis meraung-raung kan?" godanya.

Elena tertawa lagi. "Nggak tuh. Biasa aja." Ketika membersihkan dapur tadi, Elena tak henti tersenyum. Kelegaan membuatnya serasa seringan kapas.

"Masa? Nanti kalau nggak ada gue, nggak ada yang giniin lo." Randu mengangkat dagu Elena untuk memberikan ciuman yang hangat dan lama. Lidah pria itu menerobos masuk melewati bibir Elena, mempermainkan lidahnya.

Tanpa bisa dicegah jemari Elena menjambak rambut kekasihnya. Lelaki ini mudah membuatnya panas. Jantung Elena berdebar tak karuan. Dipejamkannya mata, membiarkan bibir Randu berpindah dari bibirnya beralih menjelajahi wajah dan leher. Randu mengangkat tubuh Elena, mendudukannya ke meja kitchen set marmer tempatnya biasa berperang dengan adonan-adonannya. Elena mendesah. Kulitnya jadi sangat sensitif sekarang. Bergesekan dengan berewok Randu membuatnya ketagihan.

Sambil menciumi wajah dan leher Elena, tangan Randu terarah ke pinggang perempuan itu. Berusaha melepaskan celana pendek rumah yang dikenakannya. Elena tak peduli ini rumahnya. Setiap saat orang tua atau Katya bisa muncul. Masa bodoh. Elena bangun dari duduknya lalu berdiri melepaskan celana pendek rumah dan celana dalamnya. Sementara dilihatnya Randu sudah membuka gesper dan menurunkan underwear.

Setelah melihat bagian bawah tubuh kekasihnya tak terlindung apapun, Randu membalik tubuh Elena hingga perempuan itu menghadap lemari kitchen set. Diciumnya tengkuk Elena yang terpampang karena dia mengenakan tank top, sementara rambut ikal perempuan itu diikat ke puncak kepala.

Elena mencengkeram meja kitchen set. Ditahannya sensasi yang menjalari tubuh. Dia tak bisa menatap wajah Randu namun bisa merasakan sentuhan lelaki itu. Sekarang dirinya berdiri menunggu. Patuh saat Randu membuka pahanya.

"Bungkukin badan lo sedikit." Didengarnya Randu lebih tegas, memerintah dalam desah napasnya.

Elena membungkukkan tubuh, masih bertumpu di meja kitchen set, lalu menanti. Bersiap hingga sebentuk benda besar dan keras terasa menembus liang hangatnya yang sudah basah. Didengarnya napasnya sendiri. Berpacu. Memburu. Bersama dengan napas berat Randu. Pinggul Elena tak leluasa bergerak. Pria di belakangnyalah yang bekerja. Maju. Mundur. Berputar. Bagian diri lelaki itu telah sepenuhnya berada dalam tubuh Elena, menjelajahi lembah kenikmatan perempuan itu hingga dia tak mampu melakukan apapun selain mendesah. Sesekali erangan pelan karena rasa pedih sisa semalam masih menyengatnya. Perlahan kepedihan berganti gelenyar yang membuat Elena merintih.

Udara yang dihembuskan dengan kasar terhela dari sela bibir Randu, menerpa tengkuk Elena. Gelombang kenikmatan itu hampir memuncak ketika mendengar teriakan.

"EL, LO NGAPAIN???!!!"

***

Tebak, siapa yang teriak heboh?

DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang