Bab 9b

359 40 3
                                    

Lelaki remaja berdiri menjulang di depan seorang perempuan berusia tiga puluh tahun yang tetap sibuk dengan buku catatan di atas meja. Mbak Admin, begitulah semua orang memanggilnya. Perawan tua dengan level keganasan melebihi Dewi Kali. Setiap ada siswa membayar sekolah setelah tanggal sepuluh pasti akan kena labrak. Belum lagi respons yang dia berikan ketika banyak laki-laki berusaha mendekati dengan rayuan gombal ―meski hampir semuanya siswa sekolah yang cuma iseng. Sikap judes dan ketusnya itu membuat orang bertanya-tanya, ‘karena itukah dia masih menyandang status single hingga usia kepala tiga’?

Namun, tidak dengan lelaki remaja yang kini menyeringai tipis menatap Mbak Admin yang masih anteng, seakan tidak peduli akan kehadirannya. “Mbak, rumahnya di mana sih?”

“Oh, rumah saya di jalan Bunga Bangkai nomor 6, Randu. Kenapa?” Gayung disambut. Randu tersenyum penuh kemenangan mendengar jawaban Mbak Admin, sementara perempuan usia matang di depannya harap-harap tegang.

Randu bukan anak basket atau ketua OSIS. Malah pernah tidak naik kelas dan beberapa kali diskors. Tiga bulan lalu saja tertangkap basah merokok ganja di kebun pisang belakang sekolah bersama anak-anak putus pendidikan.

Namun sikapnya sopan pada guru maupun yang lebih tua. Tak membantah sedikit pun ketika Pak Dadang yang memergokinya merokok, mendaratkan penggaris papan tulis, memukuli pantatnya. Kini Randu mencatat alamat yang dilontarkan Mbak Admin.

“Boleh nggak aku main ke rumah?” tanya Randu dengan nada sungguh-sungguh.

“Boleh kok, boleh.” Mbak Admin menyambar cepat. Kapan lagi bisa didatangi berondong ganteng? Perawan tua selalu disamakan dengan sarden di kaleng yang sudah mendekati expired date. Begitupun dengan si Mbak Admin yang merasa barang basi, tak perlu pilih-pilih pembeli. Mau berondong atau singkong, yang mana saja boleh. Randu menyebut bahwa hari Sabtu, jam lima sore dia mau datang.
Selama ini sikap Mbak Tuti keras pada bocah-bocah lainnya. Entah kenapa kekerasan hatinya lumer saat berhadapan dengan Randu. Padahal anak itu bengal luar biasa. Sempat diciduk polisi karena tawuran pula.

“Mbak Admin sukanya bunga apa?” goda Randu dengan wajah tirus serius nan polos.

Mbak Admin tersipu-sipu, dia menunduk.

“Bang Randu, bisa nunduk sebentar? Saya pingin nyium Bang Randu.” Mbak Admin berubah menjadi Elena hingga Randu membelalak.

Perempuan yang menyiksanya jutaan kali, kenapa kini menjadi petugas administrasi di SMA-nya? Berkali-kali Randu menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran buruknya.

“Bang Randu,” ulang Elena.

Randu menggeleng kuat-kuat. Lagi. Lagi. Dan lagi. Kenapa Elena tak lelah menyiksa batinnya?

Terus berusaha menepis bayangan Elena, hingga akhirnya seberkas cahaya putih menembus kelopak mata, membuatnya merasa harus segera membuka indra penglihatan. Tirai hijau muda adalah benda pertama yang menyapa. Bau desinfektan rumah sakit merangsek sel olfaktori hidung, mengirimkan sensasi steril ke otaknya. Layar elektrokardiograf menunjukkan kurva jantung. Selang-selang panjang menghubungkan Randu dengan kantong infus. Dia berdeham, menghilangkan lendir dari kerongkongan.

Otaknya segera bekerja, mengumpulkan keping-keping memori. Begal. Motor. Taman kota. Dan yang paling penting, Elena. Sekarang dia ingat kenapa bisa berada di sini. Demi perempuan itu, yang baru saja menyapanya dalam mimpi.

Kenangan Randu menaklukkan Mbak Admin galak digantikan Elena minta dicium. Dia mendesah. Hal pertama yang mencemaskan Randu adalah, selamatkah Elena? Randu teringat isak tangis perempuan itu ketika dirinya terkapar setengah sadar di aspal, setelah timah panas mengoyak punggung. Apakah perempuan itu terluka? Apakah para pembegal itu menembaknya juga?

Belum sadar sepenuhnya karena pengaruh anestesi, Randu menggerakkan lengan. Rasa nyeri menusuki punggung. Perban membebat bagian atas tubuh. Dia pasti terluka parah. Jika tidak, pasti sudah dipulangkan oleh dokter. Lalu tangannya menggeser ke samping hingga menyentuh sesuatu. Sebentuk kepala tergolek di sisi ranjang pasien. Wajahnya menelungkup hingga tidak terlihat. Namun, Randu tahu kepala siapa itu.

Randu melarikan jemari, membelainya. Sebuah perasaan menelusup ketika kulitnya bersentuhan dengan lautan ikal rambut yang dibelainya. Senyum lembut terbit di wajah berewokan lelaki itu. Betapa lega mendapati sang pemilik rambut baik-baik saja.

Elena, pemilik kepala yang kini dibelainya. Gadis yang membuatnya penasaran dengan segenap rahasia. Entah apa yang disembunyikan Elena dari dunia. Randu bukanlah pria hijau dalam dunia percintaan. Usianya matang. Namun, Elena tidak seperti perempuan lain yang dikenalnya.

Bahkan Randu sekarang bingung dengan hatinya sendiri. Jika dia hanya menginginkan tubuh Elena, kenapa ada ketidakrelaan terbit jika gadis itu sakit? Kenapa ada ketakutan jika gadis itu celaka? Apakah bibir gadis itu mengandung racun yang mempengaruhi syaraf?

Kepala yang dibelainya bergerak. Mata Elena terbuka. “Bang Randu,” sapanya lembut, sarat kekhawatiran.

Retina Elena menatapnya dengan sorot lega. Gadis itu menegakkan tubuhnya di kursi. Semalaman dia tidur dalam posisi setengah duduk, berharap penyelamatnya siuman. Elektrokardiograf menampakkan kurva denyut jantung. Syukurlah, bukan garis lurus yang tertera di sana.

Randu tersenyum, pandangannya tak mau lepas dari gadis itu. Jantungnya kembali gemuruh ketika mereka bersitatap. Kedamaian menelusup dalam hati keduanya. Tak perlu berkata dalam bahasa untuk menerjemahkan rasa. Bahkan kesunyian terkadang lebih baik dibandingkan bicara. Dalam sunyi, manusia dapat memindai perasaan sejatinya.

Jam dinding bulat besar di atas kepala Randu menunjukkan pukul satu dini hari. Kemungkinan besar dokter jaga berada di ruangan lain.

“Saya panggil dokter, Bang.”

Elena tak kuat saling diam. Tatapan redup Randu terasa ganjil, mengingat biasanya lelaki itu selalu memandang orang-orang dengan tajam.
Di situ tidak hanya ada Elena dan Randu. Katya menemani Elena, namun pulas tertidur di sofa. Elena bisa berteriak jika lelaki sakit ini kurang ajar.

Saat ini, Randu tak punya niat melakukan tindakan amoral. Lelaki itu hanya memandangi Elena. Memutus kontak mata yang membuatnya resah, Elena beranjak dari duduk, meraih kabel bel pemanggil tim medis.

Randu melihat lengan Elena yang menggenggam bel. Sambungan lengan gadis itu masih diplester, bekas jarum yang digunakan untuk mengambil darah. Dirasakan gadis itu, Randu mencengkeram lengannya. Tepat di area bekas tusukan jarum donor darah, hingga Elena menoleh.

“Gue nggak butuh dokter," ujarnya. "Gue hanya butuh lo di sini.” Suara bariton Randu sangat jelas, tanpa keraguan.

***

Gimana part ini? Vote dan komen yang banyak. Kita ketemu Senin depan.


DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang