BAB 4B

541 63 0
                                    

Halo anak-anak,” Eugene tiba di rumah bersama istrinya ketika Katya bersiap pulang.

“Om Eugene, Tante.” Katya buru-buru menyalami keduanya.

“Lho, sudah mau pulang? Tante bawa makanan.” Marcelia mengangkat tote bag berisi sisa makanan katering. “Kamu bawa deh. Kan bisa buat sarapan besok.”

Katya melirik ponselnya. Sudah setengah sebelas. Revan menanyakan keberadaannya.
“Makasih banyak, Tan. Buat El aja. Dia capek habis magang di LBH.”

Eugene menghunus putrinya dengan tatapan yang seolah berkata, “Apa otakmu masih waras, Nak?

“Aku antar Katya dulu, Ma, Pa.” Elena mohon diri dengan rikuh untuk mengantarkan Katya sampai ke mobil.

“Mulut lo tuh ya. Selalu…,” Elena berbisik seraya mencubit gemas pinggang Katya.

“Aw!” Katya mengaduh. “Jadi Om sama Tante belum tahu kalau lo magang di sana?”

“Mana mungkin gue kasih tahu?” Elena menekan suaranya. Orang tuanya sudah masuk ke dalam.

“Yah, sowwwyyy.” Katya masuk ke mobil lalu menyalakan mesinnya. “Gue balik, Cinta. Good luck ya dengan Mr. TO.”

Menjadi putri tunggal Eugene Tjipta selama 25 tahun sudah cukup bagi Elena untuk meramalkan reaksi ayahnya. Gadis itu berjingkat ke dapur setelah mengunci semua pintu.

“Klien Mama hari ini nggak mau bawa pulang sisa makanan.” Marcelia menata ayam kecap di teflon.

“Benar apa yang Katya bilang tadi, kamu di LBH?” Eugene bersedekap di ambang pintu dapur. Elena yang terkejut dengan pertanyaan ayahnya, hampir menumpahkan sup kimlo yang dituangnya.

“Bantuin Katya aja kok, Pa. Buat channel YouTube-nya.”

“Daripada kamu mengerjakan yang nggak jelas begitu, lebih baik bantu Papa sama Om Chandra. Kamu tahu sendiri sibuknya Om Chandra. Di Indonesia paling hanya dua minggu dalam setahun.” Eugene tak bosan mendesak putrinya bekerja di perusahaan rintisannya pasca bangkrut.

Elena tersenyum simpul. Dia terlalu lelah mendebat ayahnya. Lagipula ini sudah malam. Maka, sehabis membantu ibunya membereskan makanan, gadis itu masuk ke kamar.
Musik instrumentalia nyaris mengantarkan Elena tertidur ketika sekonyong-konyong sebentuk lengan mendekapnya. Jemari yang selalu mengusap lembut kepalanya. Milik seseorang yang selalu dia rindukan.

"Kamu nangis, Babe?" Sebuah suara merdu mengalun bagaikan simfoni.
Elena membalik tubuh mencari tahu pemilik suara. Dadanya bagaikan ditusuki ribuan belati. Pedih membendung kerinduan begitu lama. Namun kepedihan yang dirasanya mengiris jiwanya mili demi mili selama sepuluh purnama kini menghilang digantikan kembang api sukacita.

"Kenapa kamu motong rambut? Aku suka cewek berambut panjang. Aku suka rambutmu yang dulu." Jemari itu menelusuri rambut gadis di pelukannya. Patah hati membuatnya nekat memangkas rambut sepunggung sampai sepundak.

Hangat.
Hangat.
Hangat sekali.
Pelukan dan belaiannya masih sehangat dulu.

"Jangan pergi lagi, Rimba. Aku janji akan berubah." Elena pasrah dalam rengkuhan pria rupawan, masih terisak. "Demi kamu."

Lelaki yang menjaganya dalam dekapan itu kini mendesah. "Aku nggak akan ke mana-mana. Aku cuma menguji cinta kamu, Babe. Kamu harus percaya padaku karena cuma kamu perempuan di dunia ini yang bisa membuat aku jatuh cinta." Rimba masih menenangkan Elena yang bersandar di dada hangatnya. Dia mengecup puncak kepala Elena penuh sayang. Lelaki itu mengisyaratkan betapa menyesal meninggalkan belahan jiwanya begitu lama.

Elena membelitkan lengannya ke tubuh Rimba, tak mau lepas. Apakah ini nyata? Apa lagi yang bisa diharapkan Elena jika pria yang dicintainya sudah ada di sini dan berjanji tak akan melepasnya. Namun Rimba pelan-pelan melepaskan pelukannya. Mau ke mana lagi pria yang sudah hampir setahun ditunggunya? Elena tidak bersuara. Tidak mau membuat Rimba merasa takut, maka dilonggarkan lengannya.
Rimba membelai pipi Elena. Diraupnya wajah kekasihnya. Bulu mata gadis itu dibasahi air mata. Semua rasa; cinta, kerinduan, penantian menyesaki dada.

"Maafin aku sudah bikin kamu nangis, Babe. Aku cuma mau meyakinkan diri sendiri sebelum memutuskan hal yang akan mengubah hidup kita."
Rimba membawa kotak beludru berbentuk hati. Dibukanya kotak itu di hadapan perempuan yang mau menunggunya sekalipun dia sudah 'berpacaran' dengan Cantika. Perempuan yang meski hatinya sudah diremukkan, mau menerimanya kembali. Elena menangkup tangannya menutup bibir. Tak mampu dia berkata sedikit pun menatap isi kotak itu. Kini bulir-bulir yang keluar dari matanya bukanlah kepedihan yang mengkristal, namun air dari sungai kebahagiaan. Rimba meraih tangan kiri Elena ke dalam genggaman.

"Ini Hancock Red Diamond, Babe. Berlian langka dan mahal. Hanya perempuan seperti kamulah yang cocok memakainya." Kata-kata manis Rimba mengiringinya melingkarkan cincin itu ke jari manis kiri Elena. "Di kiri supaya dekat dengan jantungmu, supaya setiap detaknya mengingatkanmu padaku," sambung Rimba.

Kini jari itu telah terhias cincin tanda pengikat hubungan mereka. Berlian merahnya berpendar tertimpa cahaya. Inikah impian semua perempuan? Elena selalu mengharapkan pernikahan dengan Rimba sebagai tujuan hidupnya. Tanpa Rimba dia merasa hilang arah, laksana nelayan kehilangan kompas di tengah samudera.

"Will you marry me?" Rimba bertanya penuh harap.

Elena belum bisa meredakan sedu sedannya karena tengah dipenuhi kebahagiaan. Lidahnya kelu, bibirnya beku. Untuk sesaat ia bagai merasa tak berpijak di dunia. Perlu segenap kekuatan agar kata-kata itu terucap penuh keyakinan, "I will, Rimba. Of course...."

Dengan lembut Rimba meraih dagu Elena. Ditatapnya bibir manis yang selalu membuatnya terbuai dengan ratusan ciuman. Lama sekali rasanya mengenang bibir mereka berpadu. Kini semua tak perlu menunggu lagi. Bukankah rasanya telah berabad-abad mereka berpisah? Kini waktunya memberikan ruang bagi mereka untuk bersatu. Bibir mereka berdua berdekatan lalu....

"Woyyy, bangun Sleeping Beauty! Ngapain bibir lo monyong-monyong gitu?!" Teriakan Katya membuyarkan mimpi indah Elena. Dia memimpikan lagi sosok Rimba tengik. Sungguh melelahkan mimpi ini.

Mata Elena masih belum mau membuka namun bau busuk segera menyergap hidung. "Idih! Apaan sih, Kat!" Dia bangun juga setelah Katya menyodorkan kaus kakinya yang sudah tak dicuci seminggu tepat di rongga penciuman Elena. Suaranya masih serak. "Nggak sopan amat lo. Ngapain sih ke rumah gue pagi-pagi. Ini baru jam enam tau!" semprotnya. Buru-buru dia meneguk air dari gelas di atas nakas agar suara burung gagak itu kembali normal.

"Gue mau nganterin lo ke LBH. Bilang 'makasih, cantik' dong." Cengiran di bibir Katya belum hilang.

Na-jis. Elena hanya membatin.

"Gue mau ketemu Bang Fadli," Katya melanjutkan.

Tak berkata apa pun, Elena hanya membelalak terkejut.

"Denger ya, Elena, sayangku, cintaku, manisku, hoek gue nggak rela.... Ishhhh.... Gini deh. Gue ini nggak pinter dan Revan juga nggak pinter. Gue yakin dengan kecantikan muka, tapi gue mau anak-anak gue nanti cantik-cantik, ganteng-ganteng, dan pinter-pinter," repetnya.

"So?" tanya Elena belum paham.

"Gue mau ngejar Bang Fadli. Karena dia tinggi, ganteng, dan pinter. Gue udah stalking berita soal dia. Dia alumni universitas paling beken se-Indonesia Raya. Universitas Impian. Idaman gue," semangat sekali Katya menyerocos.

What!

Keduanya saling bertatapan menciptakan pemandangan kontras. Elena yang ingin pingsan dengan Katya yang seperti orang habis menenggak obat kuat.

"Nggak masalah dong? Ya kan? Ya kan? Lo sama Randu aja. Fadli buat gue." Katya memandang Elena.

"Nunggu apa lo? Buruan mandi sana! Nanti kita telat." Tak sabaran bagai ABG jatuh cinta, Katya menarik tangan sobatnya agar berdiri dan segera mandi.

Elena tak beranjak dari duduknya di atas ranjang. "Ini di luar perjanjian kita lho," protesnya.

"Sssstttt, mandi pake gayung sama air, nggak pake mulut ya. Apa lo mau gue mandiin? Mandi kucing pake iler gue?" Lidah Katya sudah terjulur. Lagi kumat gilanya Katya. Eh, memang Katya sering gila.

"Oke, oke." Elena langsung meluncur ke kamar mandi sebelum diberi treatment mandi kucing oleh Katya.

***

DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang