BAB 2C

698 77 8
                                    

Gading dan Fadli sudah menunggu dengan penasaran ketika Randu kembali ke ruang kerja.

“Gimana? Bego, kan?” tanya Gading yakin.

Randu duduk di atas meja sambil bersedekap. “Alirannya jelas 'kanan' banget. Kapitalis. Tadinya kerja di perusahaan. Nggak ada bau-bau aktivis apalagi pengacara.”

“Ngapain dia ke sini? Jangan-jangan mata-mata,” timpal Fadli. “Kayak Mata Hari gitu. Mata-mata plus-plus.”

Siapa tak kenal mata-mata Perang Dunia pertama yang tersohor dengan kode rahasia H21? Dia jelita, memesona, menggoda, penari erotis, cerdas, dan sangat legendaris. Jangan meremehkan perempuan cantik.

Ambar yang masih membaca laporan di laptop, berjengit tersinggung. “Teori ngawur lo kalau perempuan cantik pasti bego itu sangat sexist tau nggak. Produk budaya patriarki yang membenci perempuan.” Dia berhenti mengetik. “Buktinya, cuma Delilah yang bisa menaklukkan Samson dan cuma Susi Pudjiastuti yang berani menenggelamkan kapal asing perampok ikan kita.”

Gading menahan senyum. “Mbar, lo nanti ada teman satu gender yang bisa dicuci otak soal feminisme. Jadi nggak satu lawan tiga melulu kalau debat sama kita.”

Ambar harus tahan menjadi satu-satunya perempuan di tengah laki-laki. Untung saja statusnya sudah punya suami dan anak. Kalau tidak, pasti dia akan dilahap juga. “Satu lawan tiga pun gue bisa ladenin kalau kayak kalian doang.”

Seberkas sinar dari api neraka mendandak menyinari wajah Gading. “Gue punya usul.” Randu dan Fadli menunggunya. “Gini, berhubung sudah lama nggak ada cewek cakep dan sudah lama juga kita cuma gaul sama buku, klien, polisi, hakim, jaksa, gimana kalau kita bikin permainan?”

Karena Randu dan Fadli kelihatan tertarik, Gading pun menggaungkan bisikan iblis, “Siapa yang bisa tidur dengan cewek, anak baru itu, dia menang.”

Tantangan yang membangkitkan naluri purba di dalam diri Randu dan Fadli.

“Kalau menang terus dapet apa?” Randu bersemangat tetapi menyembunyikan rapat-rapat dari kedua rekannya.

“Taruhan aja deh pakai duit,” usul Fadli.

Ini baru menarik!

Perempuan dengan kostum dan dandanan menantang pasti gampangan. Kalaupun dia bersedia ditiduri, tidak ada yang rugi. Sama-sama enak. Randu percaya diri mampu memuaskan setiap perempuan dengan layanan pedang naganya. Elena senang, Randu dapat uang.

Ambar tak tahan lagi. “Gila lo bertiga!” Jelas-jelas ditentangnya ide mereka. Tatapan ganasnya tak beda dari Jennifer Aniston sewaktu mendengar kabar Brad Pitt selingkuh dengan Angelina Jolie.

“Diem, Mbar. Buat senang-senang  doang,” Fadli menyahuti Ambar.
Mereka bertiga lalu berbisik-bisik dan menyepakati nilai sejumlah uang. Lumayan besar untuk ukuran aktivis sekaligus pengacara LBH. Bisa untuk beli motor matic secara cash. Lumayan untuk mengganti motor butut Randu.

Randu melirik para pesaingnya. Soal fisik dia tidak kalah daripada mereka. Fadli tinggi, atletis sekitar seratus delapan puluh lima sentimeter. Hidungnya mancung dengan mata bersorot tenang. Fadli juga cukup sabar menghadapi perempuan. Tak sampai di situ, sobatnya ini jago silat Perisai Diri dan digembleng oleh pendekar-pendekar ternama. Jangan ditanya, sangat macho dan jago berkelahi. Ketika zaman kuliah, Fadli sering bersama Randu adu fisik melawan preman-preman. Mantannya lumayan banyak. Sebenarnya gampang baginya memilih istri. Sayang, ternyata perempuan lebih suka uang.

Penilaian Randu beralih pada Gading. Lelaki ini memang ‘cuma' seratus tujuh puluh sentimeter, sama tinggi dengan Elena. Perempuan modis yang suka pakai high heels tak bakal tertarik pada Gading. Tapi mukanya baby face dengan mata bulat ceria. Gading hanya cengengesan ketika para mantannya merajuk. Dia menganggap hidup adalah hari ini. Otaknya tak mau kusut memikirkan masa depan. Meski sudah seumur Randu, wajahnya kelihatan baru seumuran Elena yang ditebak umurnya belum tiga puluh. Masih bau kencur. Gading menjalani gaya hidup sehat. Jogging tiap hari, anti merokok. Berbeda dengan Fadli yang hobi mengepulkan asap rokok mirip knalpot Kopaja. Itu yang menyebabkan Gading awet muda.
Melawan Gading tak terlalu berat, tapi melawan Fadli? Testosteron –hormon persaingan dan agresi– menggelegak dalam diri Randu. Gue harus dapat dia, tekad Randu dalam hati.

Ingin menghajar para koleganya, Ambar mendelik ke arah mereka. “Lo kira anak baru itu macam Drupadi yang dijadikan obyek taruhan si Yudhistira melawan Duryudana?”

Ambar meninggikan suara. Galak sekali menentang taruhan. Nasib Drupadi, perempuan bersuami lima dalam epos Mahabharata memang mengenaskan. Dia dijadikan tumbal perjudian suami dengan para sepupunya. Karena perjudian itu pula, terjadi pertumpahan darah.

Para pria sepakat tak menggubris Ambar. Hari-hari mereka akan secerah pelangi setelah hujan dengan kehadiran makhluk cantik.

“Kalau sampai kalian kelewatan, gue laporin polisi.” Ambar marah sungguhan. Bisa-bisanya laki-laki menjadikan seorang perempuan sebagai mainan pengisi waktu luang. Innalillahi.

Memasukkan tangan ke dalam saku celana, Randu menyahut, “Bener juga lo, Mbar. Gading sama Fadli ini nggak bener. Gue tobat.” Dia menggeleng-geleng, memasang raut prihatin.

Ambar berseri-seri. “Alhamdulillah.”

“Gue akan tobat setelah gue menang!” Wajah Randu menyebalkan sekali.

“Astaghfirullah!” Ambar melotot sebesar mata tarsius.

Tentu saja ketiga temannya semakin keras tertawa. Tawa mereka langsung lenyap ketika melihat pimpinan mereka masuk. Randu pindah duduk dari meja ke kursi.

“Kawan-kawan, ini Elena Mazaya, panggil saja El,” Ross memperkenalkan Elena. “Rencananya El magang membantu Randu." Sedikit prihatin karena tahu karakter Randu, Ross menatap Elena penuh iba. Seharusnya Randu diberikan asisten pria penuh borok agar matanya tak jelalatan. "Kerja sama Randu dulu ya. Dia sibuk dengan perkara perburuhan. Kalau kamu nonton berita demo buruh PT Sawit Utama Cipta Karya, nah Randu-lah PIC-nya.” Keadaan memaksa Ross 'menyerahkan' Elena pada Randu.

Randu terbahak-bahak dalam hati membayangkan kemenangan yang sudah membayang di kelopak mata. Tidak perlu jadi CEO untuk jadi kaya.
Baik Randu maupun seluruh manusia di situ tidak tahu, ayah Elena adalah rekan bisnis Chandra Atmadja selama dua puluh tahun. Anak perusahaan Chandra Atmadja puluhan, termasuk PT SUCK. Namanya masuk Panama Papers lantaran ingin meloloskan diri dari jerat pajak. Beliau sering 'curhat' soal iklim dunia usaha pada ayah Elena. Peristiwa perusahaannya didemo LBH Optimus tentu tak terlewatkan buat jadi bahan cerita.

Elena berdiri dengan kaki tersilang―gaya yang dipelajarinya dari meniru kontestan Miss Universe. Dia sudah menetapkan mangsanya. Di mata Elena, Randu lumayan dari segi wajah dan proporsi tubuh. Andaikan benaknya bukan cuma disesaki Rimba, Rimba, dan Rimba, mungkin dia bisa segera tertarik pada lelaki itu. Lengan berotot Randu saat berpapasan di ruang tunggu merangkap perpustakaan tadi terkesan maskulin. Berbeda dengan lengan Rimba. Sedikit berewokan dan berkesan 'dewasa'. Cuek dan sedikit angkuh. Kelihatannya tidak butuh dia. Apakah memang begitu gaya lelaki dewasa? Too bad, nama Rimba dan Randu sama-sama berawalan 'R'.

Elena menyimpulkan untuk semantara bahwa Randu menginginkannya tapi terlalu gengsi mengakui. Pria sombong yang menyusahkan Om Chandra ini harus diberi pelajaran.

“Ross, nggak dikenalin anak barunya sama kita-kita?” Selaan Fadli membuat Ross tertawa. Aroma pejantan menebar pesona pada betina tercium. Manusia dan binatang sama saja kalau soal urusan menarik lawan jenis. Tanya saja pada ahli perkucingan. Para kucing jantan bisa berkelahi habis-habisan demi memperebutkan seekor kucing betina.

“Itu Fadli, alumni universitas negeri paling terkenal di Indonesia. Dia handal di penanganan perkara narkotik. Dosen tamu di beberapa universitas juga.” Ross memperkenalkan Fadli singkat. “Dan, itu Ambar,” lanjutnya seraya menunjuk satu-satunya pengacara perempuan di situ. Ambar mengangguk sekilas.

Tak terima mendengar Fadli dipromosikan, Gading protes, “Kok aku nggak disebut, Ross?” Mereka seumur. Soal senioritas juga sama. Seharusnya Ross tidak pilih kasih.

“Nanti kalian kenalan sendiri. Randu dan El, semoga bisa kerja sama.” Mengalihkan perhatian pada Randu dan Elena, Ross mengucapkan pesannya sebelum meninggalkan para pengacara, “Ok, back to work.” Lalu keluar menuju ruangannya sendiri.

Elena mengedarkan manik mata menjelajah seisi ruangan. Senyum tipis menghiasi bibirnya. Elena yang sejak lahir selalu lurus mirip penggaris kini ingin mencoba nakal sedikit. Bukan nakal, menurut Katya, melainkan bersenang-senang karena hidup hanya sekali.

“Lo boleh gabung di tim gue, asal jangan panggil ‘Pak’. Silakan pilih antara ‘Kang Mas Randu’ atau ‘Bang Randu’.” Randu tak mau mengakui kalau dirinya sudah pas menjadi bapak.

Senyum lembut Elena menggoda lagi. “Baik, Bang Randu.” Gadis itu tak menolak mengubah panggilan sayangnya untuk Randu.

***

DEVILS INSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang