"Yang paling bahaya itu ucapan!"
🌞🌞🌞
"Ini mah lo menang banyak!"
Mentari menatap Afika yang memainkan handphone sedari tadi. Berita terbaru pagi cerah ini adalah fotonya semalam berada di unggahan terbaru Bintang. Wajahnya memang tak telihat tapi berbeda dengan Afika yang langsung tahu itu adalah sahabatnya.
"Jadi gimana?"
"Gimana apanya?"
"Hubungan lo sama Bintang! Kalian pacaran kan?"
"Nggak, untuk apa pacaran? Kita cuma teman aja."
"Nggak percaya. Jangan bilang Bintang belum nembak lo?"
"Mending lo kerjain tugas matematikanya."
Afika menaruh benda berharganya dan mengerjakan sesuatu dibukunya. Dia lupa semalam mengerjakan tugas matematika hari ini. Walau katanya bukan PR tapi tetap sama tugas juga dikerjakan di rumah.
"Hari ini lo mau kemana?" Afika menoleh ke arah Mentari.
"Di rumah kayaknya."
"Oh, lo mau temenin gue nggak?"
Mentari menatap temannya sejenak.
"Kemana?"
"Ke rumah Arez."
"Buat?"
"Hmm, kemarin kita nggak sengaja ketemu. Terus kita buat janji ketemu lagi ke rumah dia. Kalau gue kesana sendiri kan bakal canggung banget."
Mentari menyipit dan memikirkan kemungkinan jika mereka datang ke rumah Arez. Dia tak terlalu akrab dengan pemuda itu. Ditambah tak ada yang bagus saat bertemu dengan Arez.
"Mending ke tempat makan atau nggak kemana gitu. Gue rasa kalau di rumah bakalan panjang urusannya, bukanya dia udah punya pacar?"
"Katanya dia udah putus." Jawab Afika enteng.
"Hah? Putus?" Mentari menyangga dagunya penuh pertimbangan. Tiba-tiba Arez putus dengan pacarnya adalah sebuah tanda-tanda peringatan.
"Iya, udah lama. Gue rasa gue punya kesempatan nih." Wajah Afika berubah menjadi merah padam.
"Hadeh, gini aja. Kalau di rumah kayaknya lo belum siap deh. Kan disana ada orangtuanya."
Mentari harus mencari alasan atas permasalahan ini. Dia tak mau membuat daftar masalah bertambah banyak untuknya dan Afika.
"Nggak tuh katanya."
"Kemana? Atau orangtuanya udah nggak ada?" Tanya Mentari hati-hati.
"Bukan, orangtuanya ada di luar kota. Dia kan tinggal sama Bintang, jadi yang ada orangtuanya Bintang."
Dada Mentari berdebar-debar tak karuan. Kalau dia kesana tentu saja dia akan bertemu keluarga Bintang. Kali ini justru wajah Mentari yang memerah. Dia masih gugup bicara dengan orang lain.
"Hahaha... Santai aja, kata Arez mereka baik kok." Afika menepuk punggung Mentari.
"Tapi, kita ke tempat lain aja."
"Arez udah ajak gue kesana, katanya juga dia bakal masak buat kita."
"Seriusan?"
"Iya."
Mentari menimang-nimang sejenak, jika dia kesana dengan tangan kosong bisa-bisa dia akan dicap jelek apalagi akan dimasakkan makanan. Mungkin jika dia kesana, dia harus membawa sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Kaca ( END )
Teen FictionIni sebuah kisah tentang sebuah pendewasaan diri dari seorang anak yang memahami apa arti sebuah cinta.