2. K-POP, anyeong!

206 30 2
                                    

"Jangan jadi fanatik terhadap sesuatu yang sifatnya sementara."

🌞🌞🌞

Orang-orang berlarian masuk ke dalam kelas. Membuat keributan kecil di pagi cerah ini. Mentari berjalan santai, mengamati tingkah laku sahabatnya yang berteriak histeris saat idolanya merilis lagu baru. Kadang dirinya heran dengan fans fanatik.

"Arghttt, Jin Oppa ganteng!"

"Segitunya lo suka sama artis korea?"

Afika menatap Mentari lekat, jiwa K-Popnya berkobar-kobar menahan amarah.

"Lo itu belum pernah suka sama orang! Udah joles diem!"

"Huh, gue juga punya idola kalau lo mau tahu. Tapi, bisa nggak lo itu jangan terlalu menyukai seseorang sampai merelakan waktu lo terbuang!"

"Waktu apa? Gue rela lahir batin tunggu MV sampai tengah malam. Itu baru namanya fans!"

"Fans? Itu bukan namanya fans tapi orang berisiko kena penyakit. Gue heran banget sama orang yang menyukai sesuatu berlebihan. Suka ini suka itu sampai rela mengorbankan tubuhnya sendiri. Apa pernah lo kepikiran bahwa apa yang lo suka benar-benar lo suka?"

"Apaan, sih? Nggak jelas lo, udah Afika lelah!"

Mentari geleng-geleng melihat Afika pergi mendahuluinya. Dia hanya mengutarakan isi pemikirannya tentang fans sekarang. Setiap fans saling ingin mendominasi, berperang melawan satu dengan lainnya demi seseorang yang bahkan dikehidupan nyata mereka berteman akrab. Kadang Mentari berpikir, apakah segitunya menyukai seseorang?

🌞🌞🌞

"Gila, Tar! Gue baru dapat info kalau ada konser. Mahal lagi tiketnya, uang gue mana cukup!"

"Ya udah, nggak usah beli."

"Apa? Ini konser pertama kali dan gue nggak beli? Nggak bisa!"

Afika mondar-mandir berpikir keras untuk mencari solusi mengenai tiket. Sekali lagi Mentari mengamati temannya dalam diam. Sudah terlalu parah kondisi kelabilan Afika jika tidak ditangani pihak dokter.

"Apa gue jual aja hp gue? Jangan-jangan! Oh, gue pinjam aja!"

"Gue kasih tahu ke lo, kalau nggak punya ya nggak usah. Daripada meng-kayakan orang lain lebih baik meng-kayakan diri dulu. Kalau punya uang baru lo beli!"

"Tar, lo nggak tahu sih rasanya jadi gue. Gue mau lihat mereka secara live!"

"Terus lo mau apa sekarang? Minta ke ortu yang ada lo diceramahi, pinjam uang apa lo bisa balikin?"

"Arghttt, gimana dong?"

"Ya nggak gimana-gimana, makanya kalau uang ditabung jangan buat beli barang nggak perlu. Apa-apa lo mau beli, kalau sekarang aja lo bingung."

"Kan lucu kipasnya, sandal, jepitan, bando, banyak pokoknya."

"Terserah, gue angkat tangan. Lo juga tahu ekonomi gue."

Mentari menepuk pundak temannya dan berlalu meninggalkan kelas menuju perpustakaan. Kupingnya sudah cukup mendengar jawaban Afika. Sebenarnya dia masih punya uang tabungan, tapi mengingat Afika bagaimana. Lebih baik memberikan pelajaran sedikit untuk tidak menghamburkan uang. Itu demi kebaikan temannya.

"Hai, Tar!"

Langit berjalan di samping Mentari. Dia melihat wajah gadis itu penuh minat. Jarang mereka bertegur sapa di sekolah terutama Mentari. Di rumah dia sudah bertemu tiap hari untuk membeli beraneka ragam hal. Tidak untuk di sekolah juga.

"Gue tebak, lo habis debat sama Afika!"

"Lang, gue lagi malas berdebat sama lo."

"Jadi benar tebakan gue, kenapa lo sewot terus sama gue?"

Mentari berhenti dan memandang Langit dengan tidak suka.

"Mau tahu? Karena lo tiap hari ganggu gue! Nggak di sini nggak di rumah."

"Haha... Namanya juga sahabat, gue akan selalu ada buat lo. Seharusnya lo bersyukur kenal sama Si Langit penguasa angkasa. Kurang apa gue, ganteng, punya toko, dermawan, apa lagi ya? Oh, pintar nggak ketulungan."

"Bodo amat!"

"Ya ampun, Tar. Pantesan lo jomblo akut, nggak kebayang gue punya istri kayak lo."

"Mending lo pergi, gue lagi pengen mukul orang!"

"Woles, Bang Langit pergi dulu. Dadah cantik!"

Langit berlari sekuat tenaga menghindari amukan Mentari. Hal itu sudah biasa terjadi setiap hari. Mungkin sudah menjadi rutinitas Mentari, pagi bertemu dan sore bertemu. Begitu sampai dia berpikir apa hidupnya ke depan hanya dipenuhi Langit dan Afika. Jangan mengganggap Mentari menyukainya, jauh dilubuk hatinya dia ingin berteriak mengubah dunianya menjadi lebih baik. Bisa mengambil sisi baik dunia bukan sisi buruk.

🌞🌞🌞

Pernah tidak berpikir bahwa pacaran itu kamuflase dari namanya cinta dadakan. Mentari mengamati adik kecilnya sedang bermain dengan seorang anak perempuan berkuncir kuda. Mereka bermain ayah bunda dengan anak seorang boneka bayi. Yang ketika ditekan bagian tertentu akan berbunyi 'Mommy!' dan 'Daddy!'.

"Bun, ayah kerja dulu! Jaga Sasa, ya."

"Iya, ayah semangat kerjanya. Ayo, Sasa!" Fifi mencium tangan Raka di depan Mentari.

Mereka melakukan kegiatan sehari-hari layaknya pasangan suami istri. Sebagai kakak satu-satunya, tugas Mentari adalah menjaga dua anak itu. Melihat interaksi mereka membuat hati Mentari teriris ribuan pisau. Menyayat jantungnya sampai berdarah-darah. Kalau sejak kecil sudah bermain ayah bunda, besarnya bisa-bisa mereka bermain hal lebih besar. Raka juga pernah bilang padanya bahwa Fifi sudah jadi pacar adiknya. Hal itu menimbulkan gelak tawa Mentari. Kecil-kecil sudah pacaran, sedangkan dirinya hanya jadi gadis mendirikan prinsip sendiri lebih enak.

"Dek, ganti mainnya. Main Domikado, yuk!"

"Raka baru main, Domido nggak seru!"

"Do-Mi-Ka-Do, Raka sama Fifi bisa tambah pinter! Ayah bunda itu ketinggalan zaman."

"Temen-temen Raka mainnya beginian."

Mentari menatap horor mereka berdua, anak zaman sekarang menjadi lebih tua daripada usia mereka seharusnya. Kalau begini dia harus membuat program Indonesa krisis permainan anak-anak.

"Iya, Kak Tari. Kak Tari nggak ikut main aja?" Fifi menarik celana Mentari.

"Kak Tari kan nggak ada suaminya, kita telusin aja. Kamu buat makanan, Raka kelja lagi."

"Oke!"

Mentari menatap adiknya sengit, dia masih sekolah untuk merasakan panggilan ayah bunda. Atau mama papa untuk lebih alay dan abi ummi untuk lebih lebay. Boleh jika sudah menikah, asalkan jangan digunakan untuk panggilan kepada pacar. Mentari tidak suka itu, dia memang jomblo tapi tidak sebodoh itu. Orang jatuh cinta bebas menambatkan hati pada siapa, siapa pun juga tak akan tahu jodoh seperti apa nantinya.

Dari segi rasional, cinta itu naif dan polos. Bisa menjadi lebih besar ke arah lebih baik atau buruk. Mentari sadar bahwa dirinya dari segelintir orang yang memilih sendiri. Kata tidak laku bukan jadi alasan kenapa banyak orang menjomblo. Untuk apa ada laki-laki dan perempuan kalau ujung-ujungnya tidak laku. Semua orang hidup berpasangan dan Mentari tahu satu hal. Pasangannya pasti sedang memikirkan hal yang sama dengannya saat ini.

"Kak Tari!!! Raka jatuh!!!"

🌞🌞🌞

Salam ThunderCalp!🙌

Siapa punya adik kayak Raka?😂

Jangan lupa like, komen, dan share!

See you...

Toko Kaca ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang