22. Rumah Binatang

37 6 0
                                    

"Cinta nggak pernah pandang apapun! Datang entah darimana dan pergi begitu saja."

🌞🌞🌞

"Serius nih?" Langit membaca pesan di handphone Afika.

"Iya, deh." Afika melongo menatap rumah di depannya.

"Kita salah jalan nggak? Gue tadi bacanya ke arah sini." Mentari lah yang membaca map.

Jika dia salah maka map lah yang lebih salah. Waktu pertama kali dia masuk ke sini, Mentari mulai curiga dengan bangunan yang ada. Awal-awal mereka sudah disuguhkan dengan perumahan kelas atas. Dibandingkan rumah mereka, rumah Bintang menjadi begitu besar bak istana. Jarak antara pagar dan rumah terlihat begitu jauh dimata mereka.

"Lo coba hubungin Arez, suruh dia keluar." Mentari meminta Afika.

"Oke-oke."

"Kalau ini sih bukan level gue." Langit kehilangan semua kepercayaan dirinya.

"Hallo! Lo bisa keluar nggak, kayaknya kami kesasar... Iya, makasih." Afika menelepon Arez. Mereka harus tahu apa mereka tersesat atau tidak.

"Kalau ini beneran rumah Bintang, gue cukup jadi pembantu disini bisa kaya sih." Langit memperhatikan dengan jelas struktur bangunan dan pagar besi mahal.

Dia tahu dari abahnya kalau masalah pertukangan. Kali ini Bintang sangat jauh layaknya Bintang di luar angkasa sana.

"Eh, lo semua kenapa nggak masuk. Sini!" Arez keluar dari pintu dan menyuruh mereka masuk.

"Beneran lagi!" Langit melongo.

"Gue takut, Tar."

"Ampun deh, lo tadi semangat kesini. Kenapa jadi loyo begini?" Langit mencoba bersikap tenang meski dia begitu ingin masuk dan melihat apa yang ada di dalam rumah.

"Gue kan tahunya rumahnya kayak kita aja, masih sebatas manusia. Ini mah beda kasta."

"Yuk lah masuk, jarang-jarang bisa ke rumah orang kaya begini." Langit membuka pagar sendiri dan memasukan motornya.

Afika menyalakan motornya dan masuk bersama Mentari.

"Selamat datang ke rumah Bintang!" Arez merentangkan tangannya.

"Lo nggak ada satpam?" Afika celingak-celinguk, biasanya di depan rumah orang kaya akan ada penjaga yang membukakan pintu.

"Oh, palingan lagi ke kamar mandi. Eh, lo tolong tutup lagi." Arez menunjuk Langit.

Langit langsung mengangguk dan menuruti perkataan Arez. Mentari terdiam tahu ini bukan kelasnya. Harusnya dia tak terlalu dekat dengan manusia bernama Bintang.

"Ayo, masuk."

"Udah lama nunggu, Rez?" Afika berjalan berdampingan dengan Arez.

"Belum, kok." Arez tersenyum lembut.

"Ayo, kenapa diam?" Langit menatap Mentari.

"Hmm, ayo."

Entahlah bagi Mentari ini bukan jalannya. Perbedaan ini sangat terlihat jelas. Apa dia bisa masuk ke rumah Bintang?

"Nggak usah dipikirin, ada Bang Langit tampan nih." Langit merangkul pundak Mentari.

"Heh, apa lagi." Mentari melepaskan dirinya.

"Iya, ada gue disisi lo. Buat apa takut?"

"Iya juga."

Mentari tersenyum melihat punggung Langit di depannya. Ada seseorang yang tak perlu mengkhawatirkan apapun. Dia harus juga bisa tak punya pikiran khawatir pada sesuatu yang belum terjadi.

Toko Kaca ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang