12. Sebelumnya dan sesudahnya

61 9 1
                                    

"Jadi lebih baik bukan untuk orang lain, tapi jadi lebih baik untuk diri sendiri."

🌞🌞🌞

"Tar!"

"Hmm?"

"Menurut lo, Arez orangnya gimana?"

Mentari berhenti mengedit sesuatu di laptopnya. Dia menatap Afika didekatnya dengan begitu paham apa yang sahabatnya pikirkan. Dia tak bisa menentukan karakter seseorang. Dia juga tidak terlalu dekat dengan Arez hanya beberapa kali pertemuan dan mereka tak bicara banyak.

"Lo ditembak Arez?"

"Hah? Baru seminggu yang lalu kenal, masak lo bilang gue ditembak."

"Tapi, pdkt kan?"

"Gimana ya? Gue sih suka, apalagi dia tipe gue banget, cuma gue nggak paham dia deketin buat jadi apa karena mau jadi temen atau pacar. Gimana, dong? Gue takut geer duluan."

"Persentase lo ngobrol sama dia?"

"Hmm, 85% lah. Kadang dia chat gue dulu, kadang gue."

"Kalau gue, ya. Daripada mengharapkan dia lebih, gue mikirnya temanan dulu. Ketika dia nggak mengarah kesana, ya udah. Temen juga nggak masalah."

"Wow, lo seminggu ini berguru sama siapa? Kata-kata lo mantap banget."

"Soalnya orang kayak lo kalau sedang jatuh cinta, kadar otaknya berkurang sampai 0%."

"Nggak tahulah, besok gue anggap dia dedek emes."

Mentari menggelengkan kepalanya, dia tahu sahabatnya tak memikirkan hal apapun terlalu berat. Berhubung dia memiliki oppa di luar negeri sana dan Afika tipe setia. Mana mungkin dia berpaling dengan idolanya semudah makan odading.

Sudah seminggu ketika terakhir dia bicara dengan Bintang. Nilai MTK nya tak cukup bagus hanya KKM. Tapi, itu cukup bagus. Besok kalau dia rajin pasti nilainya lebih baik. Dia tak mengharapkan Bintang datang membantunya. Dia masih bisa belajar sendiri.

"Tar!!!"

"Apa sih, Lang!" Afika memarahi Langit yang berteriak keras.

"Apa lo pecinta muka plastik!" Hardik Langit.

"Ehh, mereka tuh skincare, ngerawat diri. Bukannya oplas, lo aja sono. Muka gosong kayak pantat kenalpot, bangga!"

"Lo belum tahu aja gue glow up!"

"Hilih, masak."

"Tar! Gue butuh bantuan lo!" Langit tak menanggapi lagi perkataan Afika.

"Kenapa lagi?"

Mentari menopang dagunya, biasanya kalau bukan masalah PR pasti Citra. Itu sudah sering terjadi.

"Kalau buat orang marah, dikasih apa ya biar nggak marah?"

"Siapa?" Afika mendekat untuk mendengar lebih jelas.

"Kasih aja bunga atau nggak buku kayak kemarin." Seperti diharapkan dari seorang Langit.

"Tapi, Tar. Ini serius, dia tiba-tiba badmood kemarin. Gue sempat curiga dia PMS."

Mentari menutup laptopnya dan melihat Langit serius. Padahal setelah kejadian buku itu dia sudah tak mau membantu Langit. Untuk apa? Dia tak mau ikut campur terlalu dalam.

"Kenapa memangnya?" Tanya Afika sambil makan cirengnya.

"Kita jalan, terus kita nonton. Adem awal-awal, tapi akhirnya dia duluan pergi. Gue harus gimana? Kemarin gue chat nggak dibales sampai sekarang."

Toko Kaca ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang