25. Melihat dari Jauh

26 5 0
                                    

"Hanya diam menunggu, tak akan merubah apapun."

🌞🌞🌞

"Terus lo apain Raka?" Afika menatap Mentari penasaran.

"Ya gue ajak ke rumah Langit. Dia nangis nggak berhenti, nanti mama gue marah, apalagi kalau tahu Raka sempat ilang. Gue bisa dikeluarin dari KK."

"Untung nggak dibawa sama penculiknya, kalau iya gue bisa kerahin tempat fandom gue bantu lo. Sekalian anak fandom lain."

"Gue nggak mau deh kalau Raka sampai gitu."

Mentari tak bisa membayangkan adiknya hilang lagi. Kemarin adalah waktu paling mengerikan saat dirinya tak melihat Raka dimanapun. Seperti sebuah hal yang pernah dia rasakan dulu. Dia tak mau lagi mengulangi kesalahan yang sama.

"Pengumuman! Mohon kalian duduk, dengerin gue dengan baik." Sadam datang membawa map.

Semua anak menurutinya. Langit bersama teman-temannya memilih duduk lesehan di lantai dan mendengarkan Sadam dengan seksama.

"Sebentar lagi kita mau camping. Kelas kita dibagi jadi empat, cowok dua, cewek dua."

"Wih, camping? Kemana nih?" Langit bangkit semangat.

"Ke bukit cemara. Ini gue bagiin surat persetujuan orangtua sama barang yang wajib kalian bawa. Pembagian kelompoknya udah ada tinggal baca. Gue nggak mau soalnya kepanjangan."

"Yee, bilang aja males." Teriak anak lain.

"Biar kalian tambah literasi."

Sadam membagikannya satu persatu. Mentari menatap kertas yang baru dia dapatkan.

"Asik sama Mentari!" Afika kegirangan tahu namanya ada di kelompok yang sama dengan Mentari.

"Pokoknya dilarang bawa benda tajam yang berbahaya kecuali pisau buat masak atau gunting. Sama dilarang bawa minuman keras. Jangan lupa bawa nama baik kelas kita. Gue nggak mau tahu, siapapun yang kena dia harus bayar kas 200 ribu."

"Mahal banget, Dam. Lo mau meras?" Langit menolak keras.

"Oh, 500 ribu buat lo."

"Kok gitu? Gue anak miskin!" Langit membela dirinya sendiri.

"Soalnya bakal ada pilihan kelas terfavorit. Kita nggak boleh kalah sama kelas lain apalagi kelas 4." Sadam melihat teman-temannya serius.

"Oh jelas. Gue kali ini dukung lo Dam." Afika tak mau kalah.

"Iya juga. Gue dukung lo Dam. Dukung Sadam tiga periode." Langit berteriak keras.

Mentari tertawa, dia tahu kelas 4 adalah kelasnya Bintang. Kelas yang sangat dipuji guru sampai wali kelas mereka membandingkan diri mereka dengan kelas itu. Pantas saja untuk mereka semua tak akan mau mengalah. Tapi...

Yang jelas Mentari tak mau terlibat dengan kelas 4.

🌞🌞🌞

"Mama izinin kan?" Tanya Mentari kepada Sinta.

"Gimana ya? Bukitnya aman kan?"

"Aman!"

Mentari belum pernah kesana, tapi menurut teman lainnya. Tempat itu aman dan yang terpenting jauh dari polusi kota. Mentari butuh sesekali melihat hutan, mungkin dia akan tergerak nantinya untuk camping lagi.

"Mama bilang papa dulu."

"Lama dong, papa mana ada sinyal di laut."

Papanya tak mungkin bisa membalasnya secepat itu. Pekerjaan sebagai salah satu awak kapal mengharuskannya untuk tinggal di tengah laut lepas. Berkomunikasi saja jarang mereka lakukan, kecuali papanya yang menghubungi terlebih dahulu. Mentari tak bisa menunggu papanya. Dia ingin sekali pergi.

Toko Kaca ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang