60. Mengulang Kisah

50 5 0
                                    

"Apa yang kamu suka, apa yang kamu harapkan dan impikan, semuanya saya tahu! Karena saya yakin kamu akan sama saya!"

🌞🌞🌞

"Jalannya beda banget, kayaknya gue bakalan nyasar sih!" Mentari sangat asing dengan daerahnya sendiri. Dia sama sekali tidak tahu apa yang dilaluinya sekarang. Langit tertawa melihat Mentari yang kebingungan.

"Makanya pulang! Lo nggak pernah pulang-pulang ke rumah. Lebaran aja nggak pernah. Di Jogja seru ya?"

"Iya nih, disana gue belajar banyak hal. Seriusan lo harus ke Jogja. Lo pernah dapat proyek ke Jogja belum?"

"Belum, Solo pernah."

"Deket Lang, astaga!"

"Tapi nggak bisa nikmatin, tiap hari adanya cuma ngurusin proyek. Enaknya liburan kesana." Langit berhenti di depan sebuah tempat makan yang ramai.

Mentari keluar dan melihat kesana-kemari, dia ingat tempat ini dulu hanya sebuah tempat kecil berjualan sate dipinggir jalan. Tapi sekarang semuanya telah berubah menjadi tempat yang lebih besar lagi. Mentari mencium aroma sate yang memikat hidungnya. Dia teringat masa lalu kembali.

"Kapan gedenya?"

"Lima tahun yang lalu kayaknya, yuk masuk. Sekarang satenya bukan cuma sate ayam. Ada sate kambing, kelinci, kuda juga."

"Beneran?"

"Iya, nggak percaya? Ayo, mau coba nggak sate kelinci sama kuda?"

"Nggak deh, kelinci boleh kuda nggak usah. Di Jogja banyak kuda, masa dimakan."

"Enak tahu! Kan mantap tambah stamina!"

Mentari mengikuti Langit memesan sate untuk mereka makan malam ini. Asap yang mengepul dan bau sate yang dikabar membuat perut Mentari begitu kelaparan. Dia sangat ingin memakan sate sekarang. Terutama dengan nasi atau lontong.

"Biasa kesini?" Tanya Mentari duduk sembari memperhatikan orang-orang yang berdatangan tanpa henti.

"Sama Raka."

"Tadi gue ajak dia nggak mau. Dia kayak bukan adik gue."

"Namanya juga anak baru gede, Tar. Pasti kan berubah-ubah sifatnya. Emang sekarang anaknya cuek sama tertutup. Introvert lah kalau sekarang ini. Lo kan juga gitu dulu, sama."

"Masa sih?"

"Mirip pokoknya, dari sifat, watak, semuanya deh. Gue heran kenapa dia malah mirip lo daripada om sama Tante."

"Kayaknya gara-gara gue pergi, dia jadi kayak gitu. Gue pengen deket lagi sama Raka. Gue rasa dia belum bisa bicara sama gue, kakaknya. Salah gue juga nggak pernah pulang."

"Nah itu! Jangan pergi lagi, takutnya Raka lupa sama kakaknya sendiri."

"Nggak lah, kayaknya gue bakalan lama disini. Gue udah cukup larinya."

"Lari apa?"

"Lari dari masalah gue sendiri. Gue cukup bisa sekarang kalau lihat masa lalu. Kalau dipikir-pikir gue juga jahat sama lo. Gue minta maaf, Lang. Gue cukup egois dulu."

"Lebarannya masih lama. Lo nggak punya salah apa-apa. Tapi lucu juga dulu kalau diingat-ingat. Lo ingat nggak pas lo tahu gue ingat semuanya?"

"Ck, gue kaget tahu!"

"Gue nggak sengaja ingat tentang semuanya. Gue juga sama kayak lo. Gue juga lari dari rumah beberapa tahun ini. Gue sibuk di kampus terus gue sibuk kerja kesana-kemari."

"Tapi sekarang nggak kan?"

"Nggaklah. Orang yang gue tunggu udah pulang jadi buat apa pergi."

"Lo nggak berubah ya Lang!" Mentari tersenyum melihat Langit di depannya.

Langit tetap menjadi Langit yang dulu. Mentari teringat masa-masa saat mereka SMA. Saat dimana segala perasaan yang tersimpan keluar dari dalam hati mereka. Mungkin dia akan tertawa saat melihat masa lalu lagi. Masa lalu memang pantas untuk ditertawakan.

"Hemm... Besok, pulang jam berapa?"

"Jam 5 kalau nggak lembur."

"Gue jemput ya?"

"Boleh, tapi lo nggak sibuk?" Tanya Mentari.

"Nggak, gue habis dari Kalimantan bangun proyek disana. Gue lagi nikmatin masa-masa rehat. Beberapa hari ini gue free, bisalah jemput atau antar lo ke kantor. Lo kan juga bingung sama jalan, takutnya malah nyasar lagi."

"Kalau lo nggak keberatan boleh-boleh aja, sih."

"Hemm... Jadi besok gue antar juga ya?"

"Iya."

"Pakai pickup nggak apa-apa?"

"Kalau mau nggak apa-apa. Gue mah yang penting sampai aja disana. Nggak telat."

"Okey-okey. Nggak ada yang marah kan ya?"

"Nggak, Lang. Gue lagi nggak deket sama siapapun."

Langit menahan senyumnya dan mengepalkan tangannya penuh kemenangan. Dia sangat bersyukur Raka bisa diajak bekerja sama untuk malam ini. Akhirnya dia bisa pergi berdua dengan Mentari tanpa halangan. Memang calon adik iparnya sangat mendukung rencana agar Mentari tidak bisa pergi jauh.

"Kalau lo pergi sama gue, ada yang marah juga nggak?" Tanya Mentari.

"Hah? Nggak. Alhamdulillah nggak ada yang mau sama gue nih. Kayaknya karma dulu gue playboy, jadi gedenya nggak ada yang mau."

"Bisa, sih."

"Tapi tenang Tar, gue udah tobat lama. Susah move on sama orang itu soalnya."

"Orang itu cantik ya?"

"Banget!"

"Baik juga?"

"Baiklah makanya gue nggak bisa lupa."

"Hmm... Kasian banget! Kenapa susah move on?"

"Gimana jawabannya, dia itu paket komplit Tar. Baik, cantik, perhatian, sayang keluarga, masakannya enak apalagi ayam kecap, gue kangen ayam kecap buatannya, terus dia anaknya nggak neko-neko. Rajin ibadah, sholehah, pokoknya calon bini idaman nusa bangsa."

Mentari menahan senyum dan mengangguk-angguk mendengar penuturan Langit. Dia tahu apa yang dikatakan Langit ditujukan padanya.

"Banyak yang suka dong!"

"Hah? Kayaknya sih. Makanya gue mau pepet nih sebelum diambil orang. Dukung gue ya?"

"Nggak ah, kok minta dukungan sama gue."

"Ya udah, sama orang tuanya sabi juga lah. Adiknya juga lah kalau bisa. Minta dukung kok setengah-setengah."

"Hmm... Semangat ya Lang!"

"Hemm... Satenya kesukaan orangtuanya udah jadi, mau cobain nggak siapa tahu suka juga?"

"Iya, gue pengen juga makan kesukaan orangtuanya kayak apa."

"Mau minuman kesukaan adiknya juga nggak? Biasanya sih pesen es teh anget!"

"Boleh tuh, gue juga mau rasain es teh anget."

Langit berdiri dengan sigap menuju penjual sate. Mentari menahan tawa melihat Langit yang sangat bersemangat malam ini. Dirinya tidak salah untuk pulang ke rumah. Bertemu dengan Langit, temannya, sahabatnya, cinta pertamanya.

🌞🌞🌞

Salam ThunderCalp!🤗

Kode keras!!

Jangan lupa like, komen, dan share!

See you...

Toko Kaca ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang