40. Liburan Bersama

23 4 0
                                    

"Ada masanya cinta akan sangat rumit dan tidak seindah orang-orang katakan."

🌞🌞🌞

"Raka mau ikut! Hiskkk... Hiskkk..." Raka dipeluk mamanya saat mobil berjalan pergi meninggalkan rumah.

Mentari menatap ke belakang melihat adiknya yang terus menangis tanpa henti. Sejujurnya Mentari tidak tega pada adiknya, tapi mau bagaimana lagi. Dia tidak bisa menjaga adiknya 24 jam nonstop. Dia juga khawatir tentang keselamatan adiknya jika dia pergi bersama teman-temannya.

"Yakin, nggak mau diajak?" Tanya Afika.

"Kan cuma tiga hari aja. Kita juga nggak akan lama disana, nanti pulang gue beliin oleh-oleh. Dia pasti seneng lagi."

"Tapi nangis gitu! Kasian! Untung gue nggak punya adik jadi gue nggak harus jagain dia." Afika mensyukuri bahwa dia adalah anak terakhir.

"Enak jadi anak terakhir, gue perlu jagain dua adik gue tiap hari. Anak pertama itu nggak enak!" Sadam berbicara dari bagian belakang.

"Anak tunggal dong! Enak!" Bangga Langit di samping Sadam.

"Nggak seru! Nggak ada yang bisa disuruh-suruh!"

"Berarti lo kakak jahat! Lo pasti sering nyuruh-nyuruh adik lo!" Tunjuk Afika pada Sadam dibelakangnya.

"Lo nggak tahu aja sih rasanya punya adik kayak gimana? Iyakan, Tar?" Sadam meminta Mentari untuk membantunya memberikan pembelaan.

"Kadang gue sebel punya adik, tapi gue bersyukur punya adik kayak Raka. Kadang emang nyusahin, tapi kalau nggak ada dia hidup gue bakalan sepi. Nggak ada yang repotin gue, nggak ada nangis ke gue, nggak ada yang minta jajan, nggak ada yang minta ini itu, gue jadi tahu rasanya kalau punya adik itu tanggung jawabnya besar. Tapi, mau anak pertama, anak tengah, atau anak terakhir. Pasti ada aja enak atau nggak enaknya. Syukuri aja kalau punya kakak, syukuri juga kalau punya adik, syukuri juga kalau anak tunggal. Kalau anak tunggal cintanya kan nggak dibagi-bagi. Kenapa sih diributin?" Tanta Mentari pada mereka.

Entah akan dilahirkan pada keadaan seperti apa. Setiap anak memiliki posisinya masing-masing. Semuanya tidak bisa diributkan atau disamaratakan. Tidak bisa juga saling membandingkan hidup mau anak pertama, tengah, terakhir. Mereka memiliki masalah hidup mereka yang tidak bisa di adu oleh hidup orang lain. Untuk apa diributkan hanya karena dilahirkan lebih dulu atau terakhir? Hidup juga tidak ada yang berubah.

"Mentari teguh udah berkata, gue nggak bisa bantah apa-apa" Afika mengangkat kedua tangannya.

"Gue juga, gue ngaku kalah Tar!" Sadam juga menyerah.

"Apaan coba? Emang kalian mau ributin itu terus. Mendingan pikirin liburan aja, gue cepak soalnya dimarahi mama. Nilai ujian ada yang jelek." Keluh Mentari.

"Gue juga! Ibu sempat larang gue ikut ke Villa. Tapi karena lo ikut akhirnya ibu gue bolehin. Terima kasih, Mentariku yang tercinta!" Afika memeluk Mentari disampingnya.

"Itu karena ibu lo lebih percaya Mentari daripada anaknya sendiri. Nilai gue juga jelek, tapi untung nilai gue sama Mentari nggak beda tipis jadi abah nggak marahin gue." Langit tersenyum puas menatap seseorang didepannya.

"Oh iya, kalian kan rangking 11 12! Hahaha... Pasti nggak akan dimarahin kayak Afika rangking 23."

"Apa? Kenapa? Iya deh yang rangking satu!" Sindir Afika pada Sadam.

"Sepertinya kalau saya di kelas kalian, saya bakalan ketawa tiap hari." Bintang ikut angkat bicara di tempat terdepan mobil.

"Tapi Bin! Katanya guru-guru, kayaknya kita bakalan di acak kelasnya. Tahun kemarin juga begitu, pokoknya gue mau sama Mentari!" Seru Afika memenuhi mobil.

Mentari baru tahu akan hal itu. Dia dan Afika mungkin saja mendapatkan kelas lain yang berbeda. Dia tidak merasa nyaman berada di kelas lain. Dia tidak mengenal cukup baik seperti dia mengenal Afika.

"Semoga aja gue nggak satu kelas lagi sama fanatik K-Pop." Kata Sadam sembari melirik Afika.

"Idih, siapa juga yang mau sekelas sama lo."

"Gue juga nggak mau sekelas sama lo, Fik. Berisik tiap hari!" Langit ikut mendukung Sadam.

"Ya udah, gue sama Mentari aja. Lo juga kan, Bin? Lo pasti mau sekelas sama Mentari."

"Saya harapannya gitu, Fik. Semoga saja saya bisa sekelas sama Mentari. Pasti saya tidak akan bosan tiap hari." Bintang tersenyum di depan.

"Cieee... Yang nggak mau pisah! Uuyyy... Siap-siap PJ aja! Kapan mau diresmikan ini? Nunggu lama ke embat orang lho!" Tanya Afika untuk menggoda Bintang dan Mentari.

Mentari hanya diam saja, dia tidak ingin sahabatnya berulah yang tidak-tidak. Dia juga tidak akan membernarkan apa yang dikatakan Afika.

"Saya lagi berusaha buka hati dia buat saya, Fik." Ucap Bintang membuat riuh seisi mobil tidak terkecuali Pak Anto yang senyum-senyum di depan.

"Aduh, kalau gue yang digituin. Gue pasti bakalan terima aja." Sadam berkata cukup keras.

"Malah gue yang salting! Kode keras!" Afika ikut berkomentar.

"Den Bintang bisa aja!" Pak Anto tersenyum mendengar perkataan dari anak majikannya.

Mentari hanya bisa tersenyum canggung, dia menatap Bintang yang berada didepannya. Dia tidak tahu apa yang dirasakan Bintang kepadanya. Dia juga tidak tahu apakah arti dari perkataan Bintang memang betulan atau hanya candaan saja.

"Jendelanya buka dong! Gue mau hirup udara segar, nih!" Pinta Langit.

"Ganggu aja lo, Lang. Mau muntah? Itu ada plastik!" Suruh Afika.

"Siapa yang mau muntah? Gue gerah!"

"Gerah? Mobilnya dingin gini, Lang. Ini tanda-tanda, lo sakit?" Tanya Sadam melihat wajah Langit yang memerah.

"Gue sehat gini mana ada sakit! Cepat bukain pintunya! Lo aja, Tar!" Pinta Langit mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Lo sakit?" Tanya Mentari melihat Langit yang wajahnya sangat merah.

"Nggak!"

"Mana tangannya?" Pinta Mentari meminta tangan Langit.

"Ini, buat apa?"

"Kalau orang sakit atau mau muntah, biasanya di pijat di tangan. Mama sering lakuin kayak gini waktu gue kecil dulu. Lo kalau mau muntah, bilang. Sakit juga bilang. Jangan ditahan-tahan. Pak, cukup segini aja pak." Mentari memijat tangan Langit yang terulur. Semilir angin menerpa wajah Mentari. Langit menatap Mentari yang sangat serius memijat tangannya.

Langit menutup mulutnya dan tersenyum dalam diam. Dia tidak mau orang-orang tahu bahwa dia begitu kesenangan mendapatkan perhatian Mentari.

"Lang, Lang! Gini nih kalau pertama naik mobil bagus." Sindir Afika.

Sadam terdiam melihat tiga orang yang saling berjejer. Baik Langit, Bintang, atau Mentari, mereka terlihat menyimpan sesuatu di dalam hati mereka. Sadam tidak akan lagi berkomentar banyak. Mungkin hanya dia saja yang menyadari akan hal itu.

🌞🌞🌞

Salam ThunderCalp!🤗

Hanya Sadam yang tahu!

Jangan lupa like, komen, dan share!

See you...

Toko Kaca ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang