"Jika waktu bisa berhenti, aku akan menikmati waktu ini bersamamu lebih lama."
🌞🌞🌞
"Lo semua disini?" Arez memegangi makannya melihat orang-orang dikenalnya duduk di meja yang sama.
"Anak SMP udah jadi SMA aja!" Langit melihat dari atas ke bawah baju Arez yang kebesaran. Ciri khas anak baru, baju putih bersih, seragam kebesaran, sepatu mengkilap, dan rambut tertata rapi.
"Gue duduk dong! Nggak ada tempat lagi, gue mau makan." Arez memilih duduk di samping Afika dan membuat Mentari menggeser tubuhnya paksa.
Sekarang Arez berada di antara Afika dan Mentari membuat tiga laki-laki menatap kesal padanya. Mentari memilih menjauhi Arez dan melanjutkan makanannya kembali. Dia amat lapar sampai tidak mau marah-marah tidak jelas pada anak yang tidak tahu tata krama ini.
"Hai, Fik!"
"Hai, Rez!" Afika menunduk dan memakan makanannya.
"Lo pesen bakso? Gue tadi mau juga, tapi gue pilih nasi goreng karena lapar banget. Boleh coba nggak?" Tanya Arez.
"Coba?"
"Hmm..." Arez memakan bakso kecil di tangan Afika.
"Enak! Gua harusnya pesen bakso tadi! Jadi pengen!" Arez tersenyum pada Afika yang nampak terkejut saat makanannya di makan oleh Arez.
Seseorang pertama kalinya memakan makanannya di garpu yang sama. Bahkan Mentari saja tidak pernah memakai garpu yang sama dengannya. Afika menatap garpu dalam diam.
"Lo tahu higenis nggak?" Sadam merebut garpu ditangan Afika.
"Emang kenapa?" Tanya Arez memasang wajah bodoh amat.
"Kalau makan nggak perlu pakai garpu orang lain. Ini! Belum gue pakai!" Sadam memberikan garpu yang tidak dipakainya pada Afika.
"Heh... Nggak jelas!" Arez memakan nasi gorengnya.
"Dasar bocah SMP!" Sadam menatap tajam Arez.
Afika terdiam kembali, dia menatap garpu dari Sadam. Dia melirik Sadam yang sibuk berbicara tidak jelas ketika makan. Afika memalingkan wajahnya dan melihat hal lain selain Sadam di depannya. Afika merasakan keanehan pada dirinya karena hal kecil seperti ini.
🌞🌞🌞
"Afika! Fik! Fik!" Mentari melambaikan tangannya di depan wajah Afika.
"Eh, apa?"
"Lo kenapa?"
"Nggak! Nggak kenapa-kenapa!" Afika menggelengkan kepalanya dan melihat ke arah lapangan yang penuh dengan anak-anak yang bermain.
Mentari melihat keanehan lainnya pada Afika. Temannya sering sekali melamun! Dia bahkan tidak mendengar suaranya yang telah memanggilnya beberapa kali. Mentari duduk dan menonton pertandingan hari ini. Kelas mereka saling bertanding satu sama lainnya. Karena ini hari pertama mereka bersekolah kembali, banyak jam kosong sampai membuat mereka bebas melakukan apa saja. Termasuk bermain sepak bola bersama.
Langit menendang bolanya ke arah gawang lawan sampai Sadam kewalahan menangkapnya.
"Lang! Pelan amat tendangannya!" Ejek Sadam.
"Kurang? Sini, biar lo gue tendang sekalian."
"Halah! Biasanya juga nggak bisa!" Sadam menendang jauh bolanya.
"Lo mau main sepak bola apa voli?" Ejek Langit.
Mereka mengejek satu sama lain, tidak ada yang mau mengalah sedikitpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Kaca ( END )
Ficção AdolescenteIni sebuah kisah tentang sebuah pendewasaan diri dari seorang anak yang memahami apa arti sebuah cinta.