"Akan ada saat dimana menatap dari jauh adalah pilihan yang tepat!"
🌞🌞🌞
"Aduh, disini gatal banget! Gue digigit nyamuk, Tar!" Afika mengeluh dan menunjukkan tangannya yang penuh dengan ruam merah.
Hembusan napas panjang keluar dari dalam mulut Mentari. Sejak mereka sampai dan membangun tenda. Afika selalu mengeluh tentang nyamuk, semut, serangga, dan apapun yang mengganggunya. Bukannya Mentari tidak suka pada Afika, tapi dia lelah hari ini menyelesaikan banyak pekerjaan. Membangun tenda, membuat parit, menabur garam, membuat tempat jemuran, membuat hal lain untuk mereka lakukan. Mentari menatap teman-teman satu tendanya. Mungkin harusnya dia melakukan ini bersama teman yang ahli atau seorang pramuka sejati. Kelompoknya hanya berisi anak-anak amatiran tanpa semangat untuk hidup di alam bebas. Begitu juga dirinya. Mentari tidak menyukai nyamuk yang terus berbunyi mengganggunya.
"Udah pake lotion?" Tanya Mentari membuat mie instan untuk mereka.
"Udah! Tapi mereka kayaknya kebal sama lotion. Mereka hidup keras di alam bebas, mana bisa lotion mempan. Gatel banget!"
"Duduk aja dekat api sini! Nanti nyamuknya hilang sendiri."
"Panas disana!"
"Hmm... Ya udah, siapin mangkuk aja. Udah mau mateng mienya!"
"Okey!"
Mentari juga mendapatkan titipan pesan dari ibu Afika. Ibu Afika meminta agar Mentari menjaga anaknya yang saat camping. Tentu saja Mentari langsung mengiyakannya tanpa berpikir panjang. Dia tahu apa yang akan dikatakan ibu Afika sebelum Ibu Afika memintanya. Dia amat paham!
"Sttt... Sttt... Cewek!" Panggil Langit pada Mentari.
"Apaan?"
"Minta lotion obat nyamuk! Lupa bawa!" Cengiran lebar keluar dari bibir Langit.
"Temen lo?"
"Nggak ada yang bawa!"
"Bodoh banget! Kenapa lupa bawa? Barang itu penting banget lho! Bisa-bisanya kalian lupa bawa! Jangan minta yang lain! Tanggung jawab sendiri kenapa lupa bawa!" Mentari membagikan mie ke mangkuk-mangkuk kecil milik temannya. Saat ini giliran dirinya yang membuat makanan untuk mereka yang berada di dalam tenda.
Aroma mie yang khas semerbak membuat semua anak keluar dari tenda. Afika lebih dulu maju dan membawa mangkuknya sendiri.
"Kenapa lo? Mau mie?" Tanya Afika sewot pada Langit.
"Gue nggak makan mie! Gue makan ayam disana."
"Sok kaya!" Sindir Afika.
"Ngapain masak kalau ada cara praktis? Lagian mie itu nggak sehat, Dedek Tari jangan makan mie banyak-banyak nanti sakit Abang Langit pasti sedih!"
"Cieee... Langit mulus banget mepet Mentari!" Semua orang cekikikan melihat Langit yang tersenyum malu bak kucing kedinginan.
"Ck... Sana pergi! Nanti gue bawain lotionnya!" Usir Mentari sudah tidak tahan dengan suara teman-temannya yang menahan tawa.
Semua ini salah Langit yang datang ke tenda miliknya. Untuk apa meminta jauh-jauh ke tendanya jika dia bisa meminta lotion pada tenda lainnya di dekat tenda Langit. Mentari tidak habis pikir dengan pemikiran Langit yang kelewat susah untuk ditebak.
"Okey, ditunggu! Jangan lupa!"
"Iya!"
🌞🌞🌞
Malam ini, malam yang Mentari benci. Dia melihat ke atas langit yang gelap. Mereka semua akan melakukan jurit malam. Dia tahu pasti akan banyak hantu jadi-jadian yang akan menakut-nakuti. Mentari berdiri paling depan dan bergerak maju diikuti teman-temannya dari belakang.
"Tar, gue takut!" Bisik Afika memeluk tangan Mentari.
"Sama!"
"Kenapa bikinnya kayak gini sih?"
"Gue merinding tiba-tiba!"
"Gue nggak mau di belakang!"
Mentari tetap fokus menyelusuri jalanan dengan senternya. Melihat banyaknya tanda yang telah dibuat untuk mereka ikuti. Pita merah artinya mereka salah jalan, pita biru artinya mereka menemukan jalan yang tepat, pita kuning artinya ada tempat pos sebentar lagi, dan pita hijau artinya tempat yang harus mereka berjalan hati-hati.
Sesekali suara aneh terdengar oleh mereka bertujuh. Ada suara burung, suara benda jatuh, suara hantu dibuat-buat, dan suara lainnya. Mentari berhenti berjalan dan menghitung semua orang.
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan!"
Delapan?
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan."
Mentari melihat wajah teman-temannya satu persatu. Dia tidak salah menghitung dan melihat. Dia menghitung sebanyak delapan orang tapi dia hanya melihat temannya tujuh orang. Kali ini Mentari ingin lari tapi semua orang akan terkejut dan menangis.
"Delapan siapa sih, Tar! Jangan, nakut-nakutin!" Afika memegang tangan Mentari.
"Oh, gue ngitung diri gue lagi. Gue lupa! Ayo jalan lagi!" Mentari mengomando di depan. Biarlah semuanya menjadi misteri untuk dirinya sendiri.
"Ini masih lama nggak sih?"
"Kapan selesainya coba?"
"Mana kita paling terakhir lagi!"
"Harusnya tim cowok! Panitianya minta dihujat!"
Sejujurnya Mentari tidak menyangka akan mendapatkan urutan terakhir. Dia kira, dia dan anggotanya akan mendapatkan urutan di tengah. Tapi semuanya telah terjadi. Mereka masih setengah jalan untuk sampai di tempat pos.
Mentari melihat pita kuning di sebuah pohon. Mereka akan segera menuju pos pertama.
"Semuanya baris! Kita udah mau sampai ke pos satu." Teriak Mentari.
Beberapa orang berjaga di pos satu. Mentari tahu beberapa orang yang asik berbincang ini. Mereka berbaris dan melihat orang-orang yang berjaga.
"Terus aja! Udah malem juga."
"Ya udah, makasih kak! Minta tanda tangannya aja!" Mentari menyodorkan kertas untuk diisi oleh setiap pos.
Yang terpenting dia tidak perlu berpikir dan menjawab pertanyaan. Mentari tidak begitu pintar menjawabnya.
"Makasih, kak!"
"Hati-hati di depan banyak hantu! Udah banyak yang pingsan."
"Jangan sampai teman kalian tambah satu!"
"Takutnya setan!"
Mentari hanya tersenyum dan bergerak maju tanpa memperdulikan lagi pembicaraan menakutkan yang akan menakut-nakuti mereka. Mentari hanya ingin tidur dan cepat menyelesaikannya. Hanya itu. Dia lelah pada kakinya dan ingin merebahkan punggungnya saja. Dia tidak peduli lagi tentang apapun selain tidur di tenda. Mungkin harusnya dia memilih untuk sakit dan tidak pergi ke acara melelahkan semacam ini. Dia bukan anak pencinta alam atau menyukai tantangan.
Mentari lelah!
🌞🌞🌞
Salam ThunderCalp!🤗
Mentari anak rumahan, gaes😂
Jangan lupa like, komen, dan share!
See you...
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Kaca ( END )
Teen FictionIni sebuah kisah tentang sebuah pendewasaan diri dari seorang anak yang memahami apa arti sebuah cinta.