"Semakin banyak alasan yang keluar semakin banyak juga kebencian untukmu."
🌞🌞🌞
"Kemarin lo kemana?" Tanya Afika melihat wajah murung Mentari pagi yang cerah ini.
"Gue kebelet, maaf ya nggak kabarin lo."
"Kebelet? Ya udah deh, lo pasti juga nggak bisa tahan. Terus lo ketemu Bintang nggak?" Tanya Afika ingin tahu.
"Hmm... Ketemu."
Mentari mengangguk kaku dan berjalan begitu lambat menuju kelasnya. Dia sama sekali tidak ingin pergi ke kelas yang sama dengan Bintang. Dia belum siap menghadapinya. Mentari menepuk dadanya dan masuk ke dalam kelas. Dia harus terbiasa dengan semua ini. Dia hanya berharap semuanya cepat selesai. Baik hatinya, keadaan, dan semuanya.
"Tar!" Bintang berdiri melihat Mentari.
"Bin? Lo udah kerjain tugas bahasa Indonesia? Pengirimannya tinggal besok, kalau bisa kirim gue hari ini biar gue bisa dijadiin satu file." Mentari duduk di tempatnya.
"Saya mau bicara soal kemarin sama kamu."
"Oh, yang tugas matematika? Gue udah kerjain, makasih ya udah ngajarin gue. Gue jadi suka matematika gara-gara lo." Mentari tersenyum simpul dan membuka bukunya untuk mengalihkan fokusnya.
Dia tidak ingin membahas apapun dengan Bintang. Tidak sama sekali. Bintang mengepalkan tangannya dan menarik tangan Mentari begitu kuat sampai Mentari merasakan sakit ditangannya.
"Bin! Tangan gue sakit!"
"Saya mau bicara sama kamu, Mentari!" Suara Bintang begitu dingin.
"Lepas! Sakit, Bin! Lo mau bicara apa?" Mentari mencoba melepaskan tangan Bintang darinya.
Tapi kekuatan Bintang tidak sebanding dengannya. Mentari hanya bisa pasrah saat dia dibawa Bintang menuju taman belakang. Dia tidak ingin membuat keributan sampai anak-anak melihat mereka. Mentari menunduk saat Bintang melepaskan tangannya.
"Dia bukan pacar saya. Dia hanya teman saya, Danille memang anggap saya begitu. Tapi saya memang bukan pacarnya. Kamu harus percaya sama saya, Tar. Saya hanya suka sama kamu!"
"Gue nggak suka sama lo, Bin. Jadi apapun penjelasan lo sama gue, nggak ada ngaruh apa-apa. Jawaban gue buat lo, gue nggak bisa jadi apa yang lo pengen. Gue nggak suka sama lo, maaf Bin."
"Bohong! Kamu suka sama saya, Tar. Saya tahu akan hal itu, kamu suka sama saya. Iya kan, Tar? Kalau kamu suka saya, saya bisa jauhin Danille. Saya hanya suka suka sama kamu!"
Plakkk...
Mentari menampar pipi Bintang agar laki-laki ini sadar atas perbuatannya. Bintang hanya mencari-cari alasan saja. Hal yang paling dibenci Mentari adalah perselingkuhan.
"Jangan buat gue tambah benci sama lo, Bin! Cukup ya! Kita emang bisanya cuma jadi temen. Apapun yang lo jelasin ke gue, gue tetap nggak bisa jadi pacar lo. Bintang, kita nggak usah bicara lagi untuk sementara waktu. Gue mau lo paham apa kesalahan lo. Lo nggak bisa kayak gini. Apa lo nggak kasian sama pacar lo? Gue emang suka sama lo, Bin. Tapi nggak gini caranya. Gue nggak mau sakitin hati orang lain. Maaf untuk gue tampar lo. Gue pergi ke kelas."
Mentari pergi dari Bintang tapi dengan cepat Bintang memeluk Mentari dari belakang. Bintang tidak ingin gadis yang disukainya pergi begitu saja darinya. Mentari juga menyukainya. Dia tidak bisa melepaskan Mentari.
"Maaf, Tar. Saya minta maaf, tapi tolong kasih saya kesempatan Tar. Saya akan putus dengan Danille. Kamu bisa jadi pacar saya, kita bisa sama-sama lagi, Tar."
"Gue jadi paham kenapa Arez sama Langit larang gue jatuh cinta sama lo. Mulai sekarang kita nggak usah bicara lagi. Gue nggak bisa temenan sama lo. Maaf, Bin!" Mentari melepaskan dirinya dan berlari sekuat tenaga menuju kelasnya.
Dia amat tidak menyukai Bintang. Mentari menahan isakan, dia tidak ingin orang lain tahu apa perasaan hancurnya sekarang. Langit melihat kedatangan Mentari yang langsung menunduk di meja. Dia melihat juga kedatangan Bintang yang diam di samping Mentari. Langit menatap mereka berdua sampai matanya melihat tubuh Mentari yang bergetar. Langit jadi paham apa yang terjadi pada Mentari.
🌞🌞🌞
"Tar! Lo nggak apa-apa?" Tanya Afika pada Mentari.
"Hiskkk... Gue nggak tahu." Mentari menggeleng dengan tangisannya yang keluar.
"Orang jatuh cinta emang ada dua Tar, satu akhirnya bahagia dan satu akhirnya sedih. Gue tahu lo suka sama Bintang, suka banget. Tapi lo juga harus ikhlas, masih banyak orang baik selain Bintang. Gue nggak tahu masalah lo sama Bintang apa. Tapi kalau emang kalian nggak bisa sama-sama. Ya mau gimana lagi. Kalau lo butuh apa-apa kabari gue. Gue bakalan dengerin lo." Afika menepuk punggung Mentari.
"Hiskkk... Dada gue sakit, Fik. Hah..."
"Its okay, Tar. Emang rasanya bakalan sakit. Tapi pelan-pelan sakitnya bakalan ilang. Lo nggak harus ilangin sekarang. Bertahap aja, Tari. Gue bakalan bantu lo."
"Iya."
"Ingat satu hal! Lo masih punya banyak hal yang bisa lo lakukan selain jatuh cinta. Maaf kalau gue yang dorong-dorong lo terus. Gue nggak paham apapun tentang sahabat gue sendiri. Lo yang paling bisa tahu banyak hal, Tar. Cinta juga bisa dipikir belakang. Bahagia juga nggak selamanya dari pacaran atau orang lain. Bahagia juga bisa dengan cara lain. Kayak dengerin lagu bagus, nonton konser, apapun yang bikin lo bahagia sendiri. Gue yakin lo lebih mampu dari gue."
"Hmm... Makasih, Fik."
"Kita itu sahabat! Kalau gue susah lo bantu, sekarang gue yang bantu lo. Nggak usah makasih sama gue, itu tugas gue!"
Mentari memeluk Afika erat, dia lupa pada apa yang ingin dia kejar. Mentari bisa melakukan hal yang lebih membuatnya bahagia daripada memikirkan tentang jatuh cinta pada orang lain. Mentari tersenyum dan mengusap pipinya. Dia akan lebih fokus pada apa yang ingin dia lakukan kedepannya.
"Makasih ya, Fik udah jadi sahabat gue."
"Makasih juga Tar, udah mau sahabatan sama gue ini. Kita harus saling ngingetin. Itu gunanya temen."
🌞🌞🌞
Salam ThunderCalp!🤗
Bintang tandain ya!😡
Jangan lupa like, komen, dan share!
See you...
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Kaca ( END )
Teen FictionIni sebuah kisah tentang sebuah pendewasaan diri dari seorang anak yang memahami apa arti sebuah cinta.