"Cinta itu nggak tahu tempat, waktu, keadaan, situasi, tiba-tiba aja datang nggak diundang!"
🌞🌞🌞
"Aduh, anak bapak malah tidur. Capek makan pasti!" Langit menggendong tubuh Raka dan menepuk-nepuk punggungnya pelan agar tidak terbangun.
"Udah habis, tumben banget." Mentari membereskan sampah di kursi mereka.
"Lapar kayaknya, mau makan dimana?" Tawar Langit sebelum mereka pergi keluar.
"Mau makan? Tapi Raka tidur!"
"Nanti juga bagun, dia belum makan juga. Enaknya dimana?"
"Terserah!"
"Tar, jawaban cewek-cewek pasti sama. Gue butuh kepastian!"
Langit tidak ingin kata terserah terdengar lagi olehnya. Beberapa kali dia dekat dengan seorang perempuan pasti jawaban mereka terserah dan terserah. Saat dirinya mencoba menentukan pilihan mereka justru menolaknya. Langit benar-benar bosan mendengar kalimat itu.
"Gue makan apa juga oke. Lo maunya apa? Biasanya lo yang susah."
"Oh... Makanan pinggir jalan mau nggak?"
"Mau! Yang menurut lo enak gue ikut!"
"Okey!" Mentari mengangguk dan membawa barang mereka.
Dia tidak masalah untuk makan dimanapun asalkan enak Mentari akan memakannya dengan lahap. Mereka berjalan keluar bersama, Raka bangun beberapa kali dan tidur lagi di gendongan Langit.
"Kayaknya Raka suka digendong sama lo."
"Jelas! Aura gue aura bapak-bapak!"
"Pantes ya betah!"
"Cuma aura suami belum ada, besok gue pikirin biar ada."
"Semangat ya!"
"Kok disemangatin? Lo pengen gue jadi suami idaman ya? Tunggu tujuh tahun lagi. Gue nanti udah jadi suamiable."
"Hah... Buat apa nungguin?"
"Kalau nggak gue siapa coba yang bakalan ganteng, kaya raya, baik hati, rajin menabung, suka menolong, humoris, receh,... Kok duluan! Tar! Mentari!"
Mentari lebih dulu berjalan meninggalkan Langit yang akan menyombongkan dirinya. Kesombongan Langit tidak pernah ada habisnya!
🌞🌞🌞
"Ini apa namanya?" Tanya Mentari menunjuk makanan di hadapannya.
"Kupat tahu!"
"Kupat tahu? Pedes, Lang. Raka mau?" Tanya Mentari pada Raka yang menggeleng.
Raka memakan baksonya sembari menggoyang-goyangkan kakinya. Dia menikmati bakso panas serta es teh manis. Sedangkan Mentari dan Langit menikmati kupat tahu. Bagi Mentari ini pertama kalinya memakan makanan seperti ini. Makanan yang penuh dengan kupat dan tahu serta kerupuk, sayuran, dan kuah pedas. Mentari menyukai makanannya dan menggoyang-goyangkan kakinya seperti Raka.
"Suka nggak?" Tanya Langit pada Mentari.
"Suka."
"Gue banyak tempat makan enak, ada asinan Bogor, sate Madura, soto Banjar, bebek goreng, pokoknya makanan pinggir jalan gue tahu mana yang enak."
"Jelas tahu dong dari mantan-mantan lo kan?" Tebak Mentari.
"Tahu aja!"
"Heh, nanti beli sate Madura buat mama aja. Martabak nggak bakal habis."

KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Kaca ( END )
Teen FictionIni sebuah kisah tentang sebuah pendewasaan diri dari seorang anak yang memahami apa arti sebuah cinta.