59. Masa Lalu Belum Selesai

45 3 0
                                    

"Takdir apapun yang kamu jalani, kamu akan selalu ada untukku!"

🌞🌞🌞

"Lo beda banget! Ini Langit kan?" Mentari melihat Langit seksama.

Wajah Langit berubah banyak, lebih dewasa dengan rambut-rambut halus disekitar wajah. Terutama karena kulit Langit yang semakin menghitam seperti terkena sinar matahari cukup banyak. Mentari melihat Langit yang mengusap lehernya beberapa kali.

"Gue Langit! Lo juga beda, tambah cantik aja."

"Sibuk apa? Gue nggak pernah tahu lo."

"Kerja aja, Tar. Lo pulang atau stay disini?"

"Stay dong, gue pindah ke kantor pusat jadi gue tinggal di rumah. Lo di rumah nggak sih? Gue kemarin ke rumah Abah. Katanya lo sering nggak pulang ke rumah. Sibuk banget ya? Ibu lo aja sampai sedih pas cerita lo nggak pernah pulang."

"Kerjaan gue harus nginep sih, Tar. Kadang kemana, kadang kemana. Berarti lo nggak pergi-pergi lagi kan?" Tanya Langit sangat antusias.

"Nggak. Jakarta udah jadi tempat hidup gue."

Langit tersenyum puas mendengarnya, dia tidak menyangka Mentari akan kembali pulang ke rumah setelah 10 tahun pergi tanpa kabar. Sadam menghembuskan napasnya, dia hanya jadi obat nyamuk diantara mereka saja. Bahkan dia seperti tidak dianggap oleh mereka lagi. Sadam bisa melihat tatapan Langit pada Mentari yang begitu merindukan. Kisah mereka belum benar-benar selesai.

"Gue mau pulang. Lo gimana Tar?" Tanya Sadam pada Mentari.

"Hmm... Pulang juga, deh. Gue pengen rebahan, pegel lama-lama."

"Pulang sama gue, ya!" Pinta Langit berdiri menghadang Mentari.

"Lo juga mau pulang?" Tanya Sadam.

"Ya iya, lagian kan gue searah sama Mentari. Sekalian pulang nanti dimarahin emak lagi."

"Yaudah, bareng aja. Lo bawa mobil?"

"Iya, tenang bukan mobil pickup kok!"

"Mobil pickup juga nggak apa-apa kalik! Gue suka malahan." Mentari tersenyum pada Langit.

Sadam menatap mereka berdua dan memilih pergi lebih dulu. Dia menghentikan langkahnya dan melihat Afika yang tersenyum pada seseorang disampingnya. Mereka terlihat sangat bahagia bersama. Sadam juga tersenyum, dia sudah melepaskan seseorang yang begitu berarti untuknya. Mungkin penyesalannya hanya satu, dia putus hanya karena hal sepele belaka. Sadam cukup menyesalinya tapi dia bahagia ketika Afika menemukan seseorang yang lebih baik darinya.

"Selamat, ya Fik!"

🌞🌞🌞

"Kayaknya baru, nih!" Mentari masuk ke dalam mobil Langit.

"Udah lama."

Mentari tidak mempercayainya, bahkan dibeberapa bagian masih terselimuti oleh plastik dan aroma barang baru. Ketika teman-teman kantornya membeli mobil baru, Mentari juga merasakan aroma barang seperti ini. Langit mengemudikan mobilnya keluar dari tempa acara Afika dan Bayu.

"Lo libur sekarang?" Tanya Langit.

"Gue masuk besok. Lo?"

"Libur lah! Temen nikah masa nggak libur."

Mentari mengangguk-angguk, dia juga akan datang pada pernikahan Afika meski dia tidak dipindahkan sekalipun. Afika adalah sahabat baiknya, tidak mungkin dia tidak pergi. Bayu juga kenalannya di kampus. Mentari menatap jalanan ke arah rumahnya. Jakarta menjadi sangat berbeda setelah dia tinggalkan selama 10 tahun. Ada bangunan baru yang terbangun. Mentari tersenyum mengingat-ingat masa lalu.

"Hemm... Lo sendiri?"

"Iya, gue sendirian ngga ada temen datang. Tahu gini gue bareng lo tadi."

"Bukan, maksud gue lo masih sendiri?" Langit menatap jalanan.

"Iya. Kalau lo?"

"Sama. Sendiri juga, gue kira gue jomblo sendirian."

"Masa? Bukannya mantan lo banyak? Kok masih sendiri?" Mentari melihat Langit tidak percaya.

"Gue nggak bisa move on sama orang. Dia nggak balik-balik jadi gue nggak bisa jadian sama dia."

"Siapa?" Tanya Mentari ingin tahu.

"Ada deh, kalau lo tahu bakalan ribet. Lo kenal sama dia."

Mentari mengkrinyit dan memikirkan seseorang yang dikenalnya dulu. Dia tidak tahu siapa yang dekat dengan Langit. Dia juga tidak cukup memiliki teman di Jakarta. Semua teman-temannya berada di Jogjakarta. Langit tersenyum dan menghentikan mobilnya di depan rumah Mentari.

"Habis ini lo kemana?" Tanya Langit.

"Di rumah aja."

"Hemm... Kalau... Kalau jalan-jalan mau nggak? Lo kan nggak tahu kalau banyak jalan yang beda. Gue mau ajak lo keliling biar lo tahu nanti."

"Boleh deh, sama Raka boleh nggak?"

"Raka? Ya boleh! Gue sering pergi sama dia. Ajak aja!"

"Ya udah, sampai nanti ya, Lang! Sering-sering pulang ke rumah, kayaknya gue banyak mampir ke rumah lo." Mentari membuka pintu mobil dan keluar.

Langit terdiam dan menahan teriakannya. Dia seakan mendapatkan banyak kesempatan setelah doa-doa yang dia panjatkan selama ini. Langit tersenyum dan segera pulang kerumahnya. Dia harus memberikan kesan bagus pada Mentari!

🌞🌞🌞

"Raka? Nggak jadi?" Mentari melihat adiknya yang belum bersiap juga.

"Gue cepak. Lo aja sana!" Raka menutup pintu kamarnya.

Mentari menatap pintu adiknya yang tertutup. Sebelumnya Raka langsung mengiyakan ajakannya, katanya dia ingin menjaga kakak perempuan dari Langit. Tapi sekarang Raka justru tidak pergi dengannya. Mentari berjalan keluar dan melihat Langit yang berbincang dengan papanya.

"Gitu, om! Saya tuh sebenarnya pengen bangun di daerah itu. Tapi ya perusahaan mintanya daerah lain. Padahal prospeknya bagus, Om."

"Perusahaan kamu yang penting menghasilkan cuan. Ya nggak apa-apa sih, yang penting gajinya Lang. Mau perusahan apa turuti aja."

"Asal bos senang sih, om. Tapi capeknya minta ampun." Langit memijat pundaknya.

"Makanya cari istri biar ada yang ngurusin. Tiap hari kucel mulu."

"Lagi usaha nih, om. Doain ya, semoga cepat nikah saya." Senyuman lebar tersinggung dibibir Langit tak kala melihat Mentari yang keluar dari rumah.

"Ayo, Lang!" Ajak Mentari.

"Jangan malam-malam! Nanti bawain sate, Lang!" Pinta papa Mentari.

"Kok minta ke Langit?"

"Lha udah biasa. Langit lebih perhatian sama papa daripada kamu."

Mentari melihat papanya dan Langit bergantian. Dia menjadi tahu hubungan mereka berdua selama ini. Mentari mencium tangan papanya segera.

"Pergi, ya Pa."

"Pergi juga, om. Tenang kalau sama saya. Mentari bakalan aman!" Langit mencium tangan papa Mentari.

"Iya-iya! Jangan lupa sate!"

"Papa!" Mentari melihat papanya tidak suka.

"Nggak apa-apa, Tar. Namanya juga calon mertua pasti ada aja maunya." Langit tersenyum tapa merasa bersalah sedikitpun.

"Calon mertua?" Papa Mentari terkejut mendengarnya.

"Ya udah, om! Nanti saya beli! Ayo, Tar!" Langit menarik tangan Mentari pergi.

Kalau untuk menyenangkan calon mertua, Langit akan melakukan segalanya.

🌞🌞🌞

Salam ThunderCalp!

Pepet terus Langit!😆

Jangan lupa like, komen, dan share!

See you...

Toko Kaca ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang